Part 3 - keajaiban itu ada

3.3K 410 12
                                    

Bulan terus berjalan, begitupun masa depan. Sedikitnya orang percaya bahwa keajaiban tergantung dengan apa yang kau kerjakan nanti ataupun sekarang. Hanya saja keajaiban akan datang di tempat dan jam yang tak bisa di deskripsikan.

Menolak lupa bahwa dirinya di diagnosa memiliki penyakit kista, Chacha tak pernah berhenti untuk selalu datang ke rumah sakit keluarga Pradana, menjalani pengobatan sana-sini. Lelah, tentu ada. Namun harus bagaimana, ini sudah menjadi keputusan awalnya sebagai menantu sulung pradana.

Bagaimana dengan keluarga Pradana? Apa yang mereka pikirkan? Lagi-lagi Triana sebagai ibu mertua hanya bisa memberi semangat mengenai hal ini. Walau sudah berkali-kali diingatkan untuk tidak melanjutkan perawatan yang cukup menyiksa menurutnya, tapi menantu tertuanya itu tetap kukuh ingin memberikan cucu juga keturunan untuk suaminya, Mares.

Dan bagaimana dengan Mares sendiri? Lelaki itu sudah hampir lelah dan melakukan banyak cara agar istrinya tak terobsesi tentang hasratnya memiliki seorang anak. Dia bahkan tak peduli jika dirinya tidak memilikinya, asal istrinya itu tetap ada bersamanya. Dia hanya ingin istrinya tak disuntik sana sini hanya agar dirinya menjadi seorang ayah.

Bahkan sudah berkali-kali pula Mares ingatkan, agar sang istri tak perlu mencemaskan ini. Dia akan selalu mencintai istrinya, walau ada atau tidak adanya anak dalam pernikahannya dan untuk keluarga ada Jero yang bisa memberikan cucu pada sang ayah dan ibu mereka.

"Dua hari yang lalu sekertaris kedua aku ketemu kamu di rumah sakit. Kamu ngapain kesana? Kamu sakit?"

Chacha yang tengah sibuk dengan majalahnya pada sofa yang sengaja di letakkan menghadap view halaman depan menyungging senyum lebarnya kala mendengar suara sang suami yang masuk ke kamarnya.

Membuatnya bangkit dari duduknya dan memeluk tubuh berjas suaminya dengan erat. Sengaja tak ingin menjawab ucapan sang suami dan asik memejamkan matanya.

"Mas lagi nanya sama kamu dek jangan ngalihin kayak gini" Mares menarik pelukan sang istri lalu di tatapnya dalam mata itu.

Lalu terdengar helaan nafas dari sana. Berjalan menuju ruangan yang berisikan banyak pakaian dirinya juga sang suami. Tau jika sang istri menghindar, Mares mengikuti si cantik yang kini tengah berdiri di hadapan lemari bajunya.

Sepertinya si cantik tengah memilih baju santai apa yang harus di pakai untuknya. Tak ingin menganggu, Mares hanya berdiri bersendakap pada pintu penghubung kamar juga ruangan itu. Memberi ruang pada sang istri untuk mau berbicara.

"Mas~ kata dokter kondisi ku udah mulai stabil. Dan suntik—

"Cha~ mas udah berapa kali bilang sama kamu? berhenti ngelukain diri kamu sendiri! Mas nggak suka liat tangan kamu banyak bekas suntikan! apalagi di tempat yang sama, mas enggak suka Chacha!"

Pergerakan tangan Chacha pada deretan baju sang suami sejenak terhenti, mendengar bentakan di setiap kata suaminya. Dia paham jika suaminya tidak memperbolehkan dirinya untuk melanjutkan pengobatan ini dan dia salah karena sudah melanggar ini setiap minggunya.

Melihat Mares yang sudah tidak lagi berdiri pada ambang pintu penghubung detik itu juga Chacha merosot terduduk pada lantai yang dingin dan menangis disana.

"—mas enggak suka Chacha!"

Seseorang yang tak sengaja mendengar bentakan dari balik pintu putih itu terkesiap saat pintu itu terbuka dan menampilkan Mares disana. Membuat keduanya saling melempar tatap dengan arti yang berbeda.

"Ekhm. Kamu mau cari mbakmu? Masuk aja pintunya engga mas kunci" Ucap sang pemilik kamar tersebut. Tak berniat menunggu jawaban si lawan bicara, Mares pergi dari sana setelah sedikit mengusuk rambut gelap milik seseorang yang ada dalam pelukan si lawan bicaranya.

"Mbak Cha? Mbak Chacha enggak papa?" Suara Jenar membuat Chacha yang masih berada di dalam ruang gantinya buru-buru menghapus air matanya dan keluar dari sana.

"Iya sebentar, Kenapa na? Eh ada siapa ini? aduh Jijinya aunty ganteng banget, habis berjemur ya heum heum?"

Bak tak terjadi apapun Chacha mengambil alih tubuh kecil Jimmy putra pertama Jero-Jenar adik iparnya, untuk ia gendong dan sekedar di ajaknya bicara.

"Mbak aku tadi denger teriakan mas Mares dari luar, maaf" Chacha mendongak saat Jenar berucap.

"Oh itu tadi dia engga mau pake baju pilihan aku makanya ngambek. Emang suka gitu masmu ngambekan kayak bayi. Padahal udah punya ponakan, yakan sayang? Aduhh jiji bangun dongg jangan bobo aja"

"Mbak jangan kayak gini, jangan bohong sama aku. Suara sama hawa mas Mares waktu keluar dari kamar dan enggak sengaja papasan sama aku itu udah ngambarin kalo apa yang mbak bilang itu bohong"

Chacha lupa jika adik iparnya itu adalah dokter psikolog yang sangat pintar.

"Gapapa Jenar beneran. Mungkin masmu lagi banyak pikiran aja makanya bentak mbak kekencengan" Jenar hanya bisa menghela nafas, jika di bandingkan dengan sang mertua, suaminya, juga kakak iparnya Mares sepertinya tingkat paling keras kepala dan susah untuk di pecahkan hanyalah kakak iparnya Chacha sejauh ini.

"Oke aku percaya. Kalo gitu aku cuma mau ngasih saran ke mbak aja siapa tau mbak mau denger. Setidaknya dengerin kemaunan mas Mares mbak, aku tau ini berat aku juga bukan mbak yang bisa ngerasain harus berprilaku seperti gimananya. Aku percaya kalo keajaiban itu ada mbak, aku juga akan terus ngedukung apapun itu keputusan mbak. Tapi aku mohon jangan sakiti diri mbak sampai segininya karena omongan orang ya?"

Chacha tersenyum dia paham apa yang ingin coba di utarakan oleh iparnya. Dengan tangan yang mengelus punggung kecil dalam dekapannya.

"Makasih ya na" Jenar tersenyum, dia tau kakak iparnya tak sekuat itu untuk menompang masalahnya sendiri.

Setelah perdebatan seminggu lalu dengan sang suami. Keadaan kembali seperti biasa menjalani aktivitas harian. Chacha sudah memikirkan kembali ucapan Jenar dan dia memutuskan untuk tidak pergi hari ini. Seharusnya hari ini adalah jadwal mingguannya untuk pengobatan.

Namun mengingat perdebatan itu Chacha lebih memilih mengurungkannya dan sepertinya hal tersebut membawa perubahan aneh dalam tubuhnya.

"Sayang kenapa lama banget di dalem kamar mandinya? Buruan, aku udah nggak tahan"

"Iya bentar"

Sebenarnya Chacha bukanlah tipe orang yang menghabiskan waktunya di kamar mandi pada saat pagi hari. Dia akan bangun lalu menuju dapur untuk segera membasahi tenggorokannya dengan segelas air. Tak mau berpikiran buruk, Mares hanya menatap lama pintu didepannya.

Hingga menampilkan wajah sembab khas bangun tidur yang sepertinya bengkak bukan hanya karena bangun tidur melainkan seperti orang baru saja menangis lama.

Membuat Mares yang tadinya cuek setengah mengantuk kini membuka matanya selebar mungkin.

"Heh kamu kenapa? Kok merah gini matanya, kamu habis nangis? Kenapa!? Jawab Cha jangan bikin mas panik!?"

"Mas Mares garisnya dua.. Adek... Adek berhasil mas hiks.."

Raut wajah Mares tak dapat lagi diartikan, begitu jari-jari panjang sang istri memberikan benda pipih berwarna putih pink dengan dua garis tanda merah.

Menyodorkan hasil test kehamilan yang menyatakan bahwa sang istri positif hamil.



Our Little StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang