Part 8 - Badai sebenarnya

2.8K 303 22
                                    

"Maaf dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa kami harus segera mangangkat bayi yang ada di dalam kandungan Nyonya Mares"

Bagai mendengar suara petir tanpa badai. Tubuh Mares limbung begitu saja jika Jero tidak lebih dulu menahan mungkin calon ayah itu akan terjatuh.

"Kau gila! Usia kandungannya masih 5 bulan! Kau akan mengeluarkan bayi itu atau membunuhnya? Hah!" luapan emosi campur aduk Triana keluar begitu saja. Sudah cukup dirinya bersabar akan beberapa jam yang lalu, kali ini dia benar-benar tak bisa menahan semua perasaan campur aduknya ini.

Melihat sang istri emosi, Jefran mendekat, dia juga sama terkejutnya seperti sang istri. Bahkan rasanya Jefran benar-benar ingin memukul, memaki dan melakukan apapun agar dokter di depannya ini tak bicara omong kosong buruk lainnya.

Namun, dirinya harus menurunkan emosional ini untuk sementara waktu, selain dia harus menenangkan sang istri yang sudah mulai kacau. Jefran juga harus memutuskan tindakan berikutnya, melihat kondisi Mares yang tidak bisa diandalkan untuk saat ini. Anak itu sudah lebih dulu mematung dengan Jero yang menopang badannya.

"Lakukan apapun yang menurut kalian benar. Aku akan membayar berapapun untuk itu. Dan ingat satu hal. Aku tidak akan pernah memaafkan mu jika hal buruk keluar dari mulutmu. Kau camkan itu" Begitu Jefran selesai berbicara pada sang dokter dengan penuh penekanan. Lelaki itu merengkuh tubuh sang istri yang entah sejak kapan sudah terduduk di lantai.

Dengan hati-hati Jefran membawa tubuh kacau sang istri pada tempat duduk. Triana benar-benar tak bisa lagi menahan tangisannya. Ketakutan selama beberapa jam lalu benar terjadi. Jika Triana begitu kacau menerima kenyataan pahit ini bagaimana dengan Mares.

Bukankah lelaki itu juga tak kalah kacaunya, mengingat yang ada di dalam sana adalah cintanya— tidak tapi hidupnya.

Mares menatap pintu di depannya yang kembali menutup. Dirinya masih terdiam mencerna apa yang terjadi di persekian detik lalu. Menggeleng bahwa barusan yang terjadi hanyalah ilusinya.

Namun, ketika suara tangisan sang ibu semakin kencang juga histeris Mares pun tersadar bahwa yang ia alami atau dengar adalah nyata. Dibantu Jero berdiri. Pandangan mata Mares sudah tak ada isinya sekarang, Jero hanya melihat pandangan kosong juga rapuhnya disana.

"Mas Mares seneng enggak kalo kita bakal punya baby?"

"Mas Mares jangan khawatir Chacha tuh udah sembuh sekarang. Udah kuat buktinya baby baik-baik aja kan?"

"Mas Mares mau anak cowok atau cewek? Kalo adek pengen cewek biar bisa di dandani"

"Mas kalo nanti baby udah lahir bakal mirip siapa ya kira-kira? Semoga aku. Kalo kamu jelek ga suka kaku"

Mata Mares memejam suara istrinya berputar-putar pada kepalanya. Mengingat betapa bahagianya si cantik menyambut buah hati mereka. Membuat Mares hanya bisa mendesah memikirkan apakah keputusan ini benar. Banyak bagaimana dalam pikirannya.

"Jer" Suara serak Mares memenuhi telinga Jero membuat sang adik berkesiap. Sudah ada dua jam lebih mereka menunggu di depan ruang operasi dan belum ada tanda-tanda sama sekali.

Bahkan sang ibu juga ayah mereka sudah lebih dulu pergi untuk melihat perkembangan Jimmy. Walau hanya sebagai alibi, setidaknya ibunya mau menuruti sang ayah agar beristirahat di kamar VVIP milik sang cucu.

"Iya Mas butuh sesuatu?" Jero berjalan menghampiri sang kakak. Namun, sebelum sempat mendekat lelaki yang lebih tua sudah lebih dulu berdiri menatap pintu yang masih setia tertutup di depan sana.

"Titip mereka ya? Mas mau keluar sebentar" Bukannya menjawab sang adik akan kemana. Mares sudah lebih dulu pergi dari sana dengan langkah angkuhnya.

Meninggalkan Jero yang hanya bisa menghela nafas kemudian berbalik menatap pintu putih yang sempat di tatap kakaknya.

"Mbak, cuma mbak chacha yang bisa ngembaliin senyum mas dan cuma mbak satu-satunya orang yang bisa kembaliin mas Mares kayak dulu. Aku mohon mbak.. kembali sama kita"

Tetesan air mata Jero mengakhiri doanya. Lelaki itu kembali terduduk pada kursi tunggu. Mengusap wajahnya dengan gusar, berfikir jika saja Chacha tidak menyelamatkan Jimmy saat itu ini mungkin tidak akan terjadi. Tangis Jero tumpah begitu saja memecah keheningan yang tercipta pada lorong gelap tempatnya berada.

Dilain tempat seseorang sedang memandang kosong pada patung salib didepannya. Tak ada ucapan apapun. Lelaki itu hanya diam seperti menyalurkan keinginannya melalui pandangan itu.

Sedikit demi sedikit mata merah itu juga terus mengeluarkan air mata bagai sumber mata air yang tak ada habisnya.

"Mas Mares nanti kalo adek enggak berhasil didik baby gimana?"

"Mas kenapa sih suka sama aku? Cewek diluar sana kan banyak yang lebih cantik dari pada aku"

"Mas kenapa enggak tinggalin aku lebih dulu? Padahal akukan cuma wanita yang hoki aja bisa hamil"

Jika saja, jika saja Mares bisa menghentikan itu sendari awal. Mungkin hal ini tidak akan menjadi sulit seperti sekarang. Banyak kata seharusnya yang Mares sesali.

Tangisan yang memenuhi gereja sunyi itu kian terdengar menyakitkan. Tubuh Mares benar-benar tak kuat lagi untuk di berdirikan. Dia hanya ingin menunjukkan pada Tuhan bahwa dia sudah rapuh dan menyerah dengan takdirnya.

Drtt.. Drttt.. Drtt.. Drttt

Disela-sela tangisannya mata merah Mares terbuka menatap kearah depan sebentar dengan tangan merogoh saku celananya.

"Mas Mares ada dimana? Mbak Chacha udah boleh di pindahin ke ruang inapnya"

Genggaman pada ponselnya mengerat begitu mendengar kabar yang di nantikannya selama berjam-jam. Lalu mata merahnya dialihkan kedepan sejenak setelah dimatikannya ponsel itu. Dan dengan sisa tenaganya Mares berlari begitu saja setelah berucap terimakasih pada patung salib disana.

"Tidak perlu ada yang dicemaskan. Nyonya Mares sudah melalui masa kritisnya, sekarang kita hanya tinggal menunggu sampai Nyonya Mares sadar dan menunggu apa yang dirasakannya"

Semua orang yang ada di dalam Ruangan serba putih itu menghela lega. Mares yang sudah lebih dulu duduk di samping sang istri juga melakukan hal yang sama. Bahkan tangan mereka sudah saling terkait, takut jika istrinya akan pergi lagi.

"T-tapi ba-bagaimana dengan cucuku? Apa dia—"

Semua orang terdiam. Bahkan tangan sibuk Mares yang mengelus pipi putih sang istri juga ikut berhenti. Tak dapat dipungkiri dirinya juga sangat ingin tau kabar ini namun ego mengalahkan segalanya.

"Oh iya. Untuk bayinya kami berhasil menyelamatkannya, jenis kelaminya perempuan. Selamat Tuan dan Nyonya Mares. Mengingat ini adalah kelahiran prematur bayi itu harus ditepatkan di inkubator dan jika ada dari keluarga ingin menengok hanya boleh dilihat dari balik kaca pembatas ruang bayi"

Tidak ada kabar yang lebih membahagiakan dari ini. Bahkan calon ayah itu melebarkan matanya begitu mendengar hal ini. Bagaimana bisa? Apakah ini mimpi jika ia dirinya benar-benar tak ingin bangun untuk kali ini.



Pagi guys.
Gimana masih nyambung nggak sih?
Apa malah jelek alurnya wkwkwkwkk
Tunggu uptudean selanjutnya ya
Nanti siang

Our Little StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang