Part 1 Sahabat Setia

58 2 1
                                    

Part 1

Jakarta,

10 April

"Dulu jaman kita sekolah, kalau kamu udah minta ketemuan disini, pasti kamu lagi ada masalah besar. Iya kan, Alina?"

Aku terdiam. Aku hanya memberi kode anggukan kecil atas tebakan sahabatku si Yuki ini. Suasana di kafe malam itu kebetulan juga sepi, tak seramai biasanya. Jadi aku tak perlu menjawab pertanyaan tadi dengan berlebihan juga, terlepas dari sedang labilnya suasana hatiku saat ini.

"Terakhir kita ngobrol disini udah lama banget deh kayaknya. Kalau nggak salah, hampir lima tahunan, bener? Yang waktu kamu baru kenalan sama Andika. Ya, kan?" imbuhnya.

Aku kaget mendengar kalimat Yuki kali ini. Entah kebetulan atau memang saking pintarnya dia menebak isi hatiku, karena memang hal yang mau aku utarakan ada hubungannya juga dengan Andika.

"Iya, bener. Kok kamu masih inget ya?" balasku.

"Ya masihlah, seorang Yuki masa lupa sama kejadian-kejadian begitu."

"Tapi ngomong-ngomong, anak kamu nggak rewel ibunya keluar malem-malem begini?" tanyaku.

"Enggak, kebetulan ayahnya pulang cepet. Terus aku bilang mau ketemu sama Lina, ya udah beres." jawab Yuki sambil meneguk juice lemon favoritnya.

"Eh gimana persiapan pernikahanmu? Tinggal tiga hari loh... kok kamu malah cemberut begitu?" tanya Yuki lagi.

"Itu dia yang mau aku obrolin sama kamu..."

Pandanganku kosong seketika, layaknya orang tak punya harapan.

"Waduh, kayaknya ada yang nggak beres nih. Aku udah hafal gelagat-gelagatmu, Lin! Oke, sekarang aku siap ndengerin semua ceritamu."

Aku menyandarkan punggungku ke kursi, lalu menghela nafas panjang.

"Maaf kalau aku selama ini nggak cerita sama kamu tentang masalah ini. Hampir satu bulan aku simpan masalah ini sendiri, atau, lebih tepatnya berdua."

"Berdua sama Andika kan pastinya?"

"Bukan..." jawabku singkat.

"Berarti sama Asifa adikmu?"

"Bukan juga"

"Lah, terus siapa Lina? Aku kok jadi cemas dengernya." kata Yuki dengan wajah yang memang memucat itu.

"Begini, aku mulai cerita dari awal, biar kamu gampang ngikuti alurnya ya" pintaku.

Yuki mengangguk serius.

Aku mengambil nafas panjang. Kisah yang akan kuceritakan ini cukup berat kusampaikan sebenarnya. Tapi aku tak mau memendamnya lagi, terlalu berat kutanggung sendirian.

"Dua bulan lalu aku dapet tugas ke Paris untuk mengurus berkas-berkas penting perusahaanku. Tugasnya sepele, jam satu dinihari aku cukup terbang kesana, sampai disana kemudian langsung ke kantor cabang Paris, terus langsung aku harus terbang balik ke Jakarta. Teorinya begitu." kataku mengawali sesi curhatku.

"Udah sampai Paris dan cuma gitu aja? Nggak jalan-jalan dulu? Hebat!" ejek Yuki.

"Mauku begitu, tapi bos bilang berkas itu harus ada di Jakarta dalam tempo tiga hari"

"Enggak dipaket aja sih? Ribet amat"

"Heh, bosku itu mending kehilangan uang buat anak buahnya terbang ke ujung dunia untuk ngambil berkas, daripada nyuruh berkas-berkas pentingnya di paket. Dia pernah sekali kejadian, berkas pentingnya dipaket, dan ternyata hilang. So, dia trauma"

"Oke, oke... lanjut" pinta Yuki.

"Jadi, begitu turun dari pesawat di Paris, aku dapat kabar bahwa aku harus mengubah rute. Bukan ke kantor Paris, tapi ke Marseille yang jaraknya sekitar tujuh jam kalau naik mobil."

"Nah itu, kamu jadi bisa sekalian jalan-jalan kan?"

"Tidak seindah itu, Yuki... Waktu aku jalan di kerumunan orang di bandara, tas kecilku jatuh entah dimana. Dan sialnya, handphoneku tadi kutaruh di dalam tas kecilku itu."

"Dan isi tas kecilmu itu ada dompet, handphone dan..." tebak Yuki.

"Selain HP dan dompet, di tasku itu ada ATM, KTP, bahkan uang kutaruh semua disitu"

"Hah? Jadi gembel dong kamu?"

"Nyaris!" jawabku mantap.

HATIKU MASIH DI PARISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang