8 Februari
Sayup-sayup aku mendengar ada suara ketukan pintu. Pelan-pelan kubuka mata yang masih rapat ini. Badan yang masih terasa kelelahan kucoba paksa untuk bangkit. Dari celah cahaya kulihat balkon sudah terang benderang.
"Astaga, jam berapa ini?"
Reflek kulihat arlojiku.
"Yak ampun! Sudah jam sembilan lebih!"
Ketukan pintu itu masih berlanjut, aku berlari menuju pintu kamar.
"Bu Devi?" tanyaku setengah kaget.
"Kamu kelelahan ya? Turunlah dulu, sudah kusiapkan sarapan," kata Bu Devi lembut.
"Oh, eh, ba, baik Bu Devi. Terima kasih sekali. Saya ke kamar mandi dulu sebentar."
Aku mengambil air wudhu, meski sudah terlalu siang namun shalat Subuh tetap harus aku jalankan. Setelah selesai sholat, aku turun ke bawah.
Disitu Bu Devi sudah menunggu di meja makan. Kulihat beberapa makanan sudah siap tersaji.
"Silakan duduk, makanlah seadanya" kata Bu Devi.
"Waduh ibu, maaf jadi merepotkan," kataku sambil duduk tepat di depannya.
"Ahh, tidak. Justru aku senang pagi-pagi ada wanita yang makan masakan ibu. Maklum anak ibu cuma Fred seorang"
"Oh iya, ngomong-ngomong dimana Fred, bu?" tanyaku sambil menyantap masakan Bu Devi yang memang kurasa enak ini.
"Biasa, dia jam delapan tadi dia sudah berangkat. Oh iya, tadi dia menitipkan ini," kata Bu Devi sambil menyerahkan sebuah amplop berukuran agak besar.
"Apa ini, bu?"
"Ibu tidak tahu persis apa isinya, tapi kalau tidak salah Fred bilang salah satu isinya tiket kereta ke Marseille."
"Hah?"
Langsung kubuka amplop itu, dan benar, ada tiket kereta pulang pergi ke Marseille-Paris. Kemudian, ada benda yang agak menonjol di dalam amplop ini.
Dengan perasaan tidak karuan aku coba merogoh amplop itu lebih dalam.
"Hah!? Alhamdulillah! Dompetkuuu!!!"
Aku berteriak bak anak kecil yang tiba-tiba menemukan es krim di kulkasnya, atau bahkan mungkin melebihi itu!
"I, inii.... Bagaimana Fred bisa menemukan dompet saya?"
"Fred itu kenalannya banyak, mulai dari polisi sampai preman. Tadi dia bilang kalau semenjak tadi malam ia berusaha menghubungi teman-temannya yang ada di bandara, dan ternyata ada yang menemukan itu tadi pagi, dan langsung diantar kesini," terang Bu Devi.
"Alhamdulillah... terima kasih sekali ibu... Dengan adanya dompet ini, setidaknya saya bisa pulang ke Indonesia" kataku dengan wajah berbinar.
"Aku ikut senang, Alina. Tapi tadi Fred bilang tidak bisa menemukan handphone milikmu."
"Tidak apa-apa bu, ini saja saya sudah bersyukur sekali."
Aku reflek bangkit dan berjalan memeluk ibu Devi yang masih duduk itu. Entah kenapa, kehangatan yang ia berikan membuatku merasa nyaman di sisinya.
Bu Devi ikut mengelus rambutku, ia juga seperti ikut larut dalam rasa syukurku.
"Sudah, selesaikan makanmu. Kamu seharusnya ikut kereta yang jam delapan tadi. Tapi saat Fred tahu kamu belum keluar kamar, ia membelikanmu tiket yang jam sepuluh."
Fred, entah kata apa lagi yang layak untuk keberikan padamu atas kebaikanmu ini.
Aku menyelesaikan makanku sesegera mungkin, kemudian aku mandi dan membereskan barang-barangku yang masih ada di kamar. Setelah itu aku berpamitan pada Bu Devi.
"Sayang sekali, sebenarnya saya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung pada Fred. Mungkin ibu punya nomor handphone Fred?"
"Maafkan ibu, ibu tidak hafal nomornya dan tidak pernah mencatatnya. Biasanya Fred yang menelepon ibu"
"Oh begitu ya, sayang sekali. Kalau begitu, sampaikan ucapan terima kasih dari saya yang tak terhingga untuknya."
"Iya, nanti akan ibu sampaikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
HATIKU MASIH DI PARIS
General FictionAlina nyaris menjadi gelandangan saat bertugas di Paris beberapa bulan lalu. Dompet dan tasnya raib tiba-tiba di bandara Paris. Beruntung dia ditolong oleh seorang lelaki baik hati bernama Fred. Setelah semua urusan beres di Perancis, ia pulang untu...