Part 2 : Bandara Charles de Gaulle

44 3 9
                                    

Part 2

Bandara Charles de Gaulle, Paris

7 Februari

Aku coba mengatur nafas supaya tidak panik gara-gara dompet kecilku yang hilang itu. Aku lalu duduk di kursi bandara. Kebetulan dari sekian banyak orang yang duduk disitu, ada satu kursi kosong. Kubuka tas besarku sekali lagi, siapa tahu dompet kecilku masih ada. Namun tetap saja nihil.

Aku putus asa. Kulihat ke segala penjuru bandara Charles de Gaulle itu. Dari sekian banyak orang yang ada disini, jelas tak ada yang kukenal sama sekali untuk sekedar menolongku. Aku juga merasa sangat lelah, hampir tujuh belas jam ada di pesawat, jetlag. Kusandarkan leherku di kursi sambil memejamkan mata.

Sesekali aku menampar pipiku sendiri, hanya untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Ya, siapa sangka, dalam hitungan detik aku sudah menjadi calon gelandangan di kota Paris! Oh God.

Ibu pasti bakal khawatir sekali padaku. Belum lagi adikku Asifa, meskipun kami sering berantem, aku tahu dia adik yang sayang dengan kakaknya.

Andika? Oh tidak, bisa-bisa dia bakal nekat menyusulku kesini. Yah, dia memang calon suami yang baik, I know it.

"Baik. Besok akan kukabari lagi." kata orang disebelahku menggunakan Bahasa Indonesia.

Aku kaget mendengarnya. Lamunanku tadi ambyar seketika.

Kutengok lelaki itu. Ia umurnya masih muda, kemungkinan beberapa tahun dibawahku. Wajahnya blasteran, hidungnya mancung, parasnya terbilang cukup menawan. Ia mengenakan jaket tebal, penutup kepala, dan sepertinya dia orang baik-baik.

"Ma, maaf. Anda orang Indonesia?" tanyaku memberanikan diri, setelah kulihat dia selesai menelepon.

"Bukan. Saya orang Perancis." jawabnya dingin.

"Tapi, Bahasa Indonesia Anda lancar sekali"

"Ibu saya orang Indonesia"

"Oh, benarkah?"

"Iya."

Awalnya aku ingin meminjam teleponnya untuk menelepon teman kantorku. Tapi sepertinya ia tidak bersahabat, jadi kuurungkan niatku.

"Nona baru datang dari Indonesia?" tiba-tiba ia balik bertanya, dan menghancurkan semua persepsi burukku tentang orang ini tadi.

"Iya, dan saya baru bernasib sial. Tas kecil saya hilang, entah dicopet atau jatuh. Dompet, uang, handphone, dan kartu-kartu penting saya semua ada disitu." kataku memelas.

Entah kenapa aku reflek menceritakan kejadian naasku padanya. Padahal ia bisa saja penjahat. Meskipun jika dilihat dari tampangnya yang cute itu sepertinya tidak mungkin.

"Ini, silakan kalau mau meminjam handphone saya"

Eh, ternyata baik juga orang ini, pikirku. Awalnya kukira ia sombong dan angkuh. Syukurlah, yang penting aku harus segera menghubungi Andika, Asifa, atau teman kantorku dan memberitahukan apa yang terjadi.

Namun lagi-lagi sialnya, saat aku sudah memegang handphone lelaki itu, aku lupa dengan nomor teman-temanku. Lalu kucoba hubungi Andika, satu-satunya nomor yang aku hafal, dan ternyata tidak aktif.

"Lagi ngapain sih, tumben banget dia ngga aktif," gerutuku dalam hati.

"Oh iya, coba nomor kantor!" aku langsung menekan nomor kantorku.

HATIKU MASIH DI PARISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang