Part 7 : Home Sweet Home

23 2 0
                                    

Part 7

Jakarta

9 Februari

Aku berangkat dari Bandara Charles de Gaulle, Paris pukul 18.40 tanggal 8 Februari waktu setempat. Setelah sempat transit di Istanbul, Turki pada pukul 00.10, aku akhirnya sampai di Bandara Soekarno Hatta pada pukul 18.00 WIB tanggal 9 Februari.

Tak ada yang menjemput di bandara, karena memang aku tak bisa memberi kabar pada siapa-siapa kalau aku baru bisa kembali ke Indonesia hari ini. Setelah keluar bandara aku naik taksi untuk menuju ke rumah.

Aku sangat bersyukur bisa melihat langit Jakarta lagi. Aku teringat betul ketika di Paris situasinya antara hidup dan mati, sampai kemudian ada yang....

"Ah, Fred. Lagi-lagi Fred hadir di pikiranku."

Sudah kuusir semampuku sejak dari pesawat, tapi dia masih saja nampak bahkan saat aku memandang kota Jakarta dari balik kaca mobil taksi ini.

"Yah, paling besok juga sudah lupa setelah aku larut dengan pekerjaan dan Mas Andika," gumamku.

Tak lama kemudian taksi sudah sampai di depan rumahku. Rumah yang tak begitu besar namun sangat kurindukan. Setelah turun dari taksi kulihat ada mobil Mas Andika terparkir di teras.

"Mbak Linaaa!!"

Teriakan Asifa yang tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah. Dia berlari menuju ke arahku bak anak kecil. Kami lantas berpelukan erat.

"Mbak Alina kenapa baru pulang? Kenapa ngga bisa dihubungi dari kemarin?" tanya Sifa sambil memelukku.

"Ceritanya panjang, dek. Nanti mbak cerita"

Tak lama kemudian datang bapak, ibu, disusul kemudian Mas Dika.

Aku lantas memeluk bapak dan ibu sambil meneteskan air mata.

"Ya Alloh, Lina. Kamu nggak kenapa-kenapa kan?" tanya ibu khawatir.

"Lina nggak apa-apa, bu" jawabku sambil masih memeluk hangat ibu.

Mas Dika lantas mendekat. Mengenakan kemeja lengan panjang dan berdasi. Dia nampaknya dari kantor langsung kesini. Rambutnya klimis rapi, namun raut wajahnya memang nampak baru saja lepas dari rasa cemas.

"Kami semua khawatir kamu kenapa-kenapa," kata Mas Dika.

"Aku baik-baik aja kok, mas"

Wait, ada apa ini? Kenapa aku sehambar ini bertemu calon suamiku ini ya? Padahal dialah sosok yang selama ini selalu membantu karir dan hari-hariku, setelah orangtuaku tentunya.

Aku mengalihkan pikiran burukku tadi. Aku ajak mereka semua masuk ke rumah.

Setelah semua masuk rumah, aku minta izin untuk mandi dulu. Asifa yang masih kangen dengan kakaknya ini terus mengikutiku bahkan sampai pintu kamar mandi. Sementara Mas Dika berbincang dan bapak ibu di ruang tamu.

"Eh mbak, aku dibeliin oleh-oleh nggak ini?" tanya Asifa.

"Boro-boro, dek. Mbak bisa pulang aja udah Alhamdulillah,"

"Kok gitu?"

"Ahhh, udah-udah! Mbak mau mandi dulu nih, udah gerah banget. Tujuh belas jam di pesawat. Tau ngga?"

"Hah, tujuh belas jam?"

Aku menutup pintu kamar mandi. Asifa lantas berlalu menuju kamarku. Tak lama setelah mandi, Asifa bertanya lagi di dalam kamar.

"Mbak, tau nggak, dari kemarin Mas Dika itu kesiniii terus. Tanya-tanya siapa tahu ada info dari Mbak Lina"

"Masa?" tanyaku basa-basi.

"Ya iyalah, masa bohong. Dia tuh khawatir banget Mbak Lina kenapa-kenapa disana. Katanya dia sampai ngga nafsu makan, ngga bisa tidur"

"Lebay amat, Sif," jawabku sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer.

"Heh, kok mbak gitu sih ngomongnya? Ya wajarlah kalau dia sampai begitu. Mas Dika itu sayang banget sama mbak. Lagian mbak kenapa nggak bisa dihubungi sih?"

"Nanti deh mbak cerita semua sekalian ke bapak ibu, biar nggak dua kali cerita. Panjang banget soalnya"

"Oya mbak, mulai besok pagi aku magang di kantor bonafit lho"

"Oh ya? Kantor mana?"

"Aku lupa namanya, tapi kantor besarlah pokoknya. Aku aja kaget bisa dapet magang di kantor segede itu."

"Syukurlah, berarti bakal dapet pengalaman banyak kamu nanti. Berapa lama magangnya?"

"Tiga bulan, sampai April"

"Oh ya udah, kamu yang semangat magangnya, jangan sampe telat berangkat. Jangan lupa mandi"

"Idiihhh, masa iya mau ke kantor aku nggak mandi"

"Laah, bukannya kamu kalo ke kampus juga jarang mandi kan? Hayoo," ledekku.

"Ahh, udah ah. Kok malah jadi mbahas aku sih, kan harusnya mbak yang cerita waktu di Perancis. Ya udah yuk, mbak ceritanya sekarang aja. Mumpung Mas Dika masih disini," ajak Asifa.

Aku mengangguk. Kami berdua keluar kamar.

Aku duduk di sebelah Mas Dika.

"Nah, Alina. Sekarang kamu cerita apa yang sebenarnya terjadi. Kami penasaran ada apa disana, karena kami semua khawatir soalnya," kata bapak memulai perbincangan.

Aku mengambil nafas panjang. Aku melirik ke arah Mas Andika sejenak. Kemudian aku menceritakan satu per satu kisahku selama di Paris. Mulai dari turun di bandara sampai...

Eh tunggu.

Ada baiknya aku ngga cerita tentang Fred. Aku takut nanti Mas Dika cemburu atau berpikir macam-macam dan merusak rencana pernikahan kita. Aku tahu, Mas Dika ini orangnya pencemburu berat. Jadi kuputuskan untuk mengubah si Fred ini menjadi seorang wanita bernama Frederica. Toh kita nggak akan ketemu lagi, jadi kusamarkan saja cerita kita.

Setelah panjang lebar aku bercerita, akhirnya mereka memahami kenapa aku susah sekali dihubungi dan pulang terlambat tanpa kabar. Segera setelah itu, Mas Dika izin pamit pulang, dan aku kemudian mengantarnya sampai depan mobilnya.

"Makasih ya, mas."

"Makasih apa?" tanya Mas Dika sambil membuka pintu mobilnya.

"Yaa, makasih udah khawatir sama aku," kataku malu-malu.

Mas Dika berjalan mendekat lagi.

"Alina, kamu itu udah jadi bagian dari diriku. Kalau kamu kenapa-kenapa, ibarat ada bagian dari diriku yang hilang juga."

Ah, here we go again.

Kalimat Mas Dika ini entah kenapa biasa aja terdengar di telingaku. Padahal biasanya dulu aku klepek-klepek tiap Mas Dika gombalin aku kaya gini.

Harus kuselidiki kenapa ini. Ah, mungkin karena jetlag. Anggap saja begitu, aku tak mau ambil pusing.

Mas Andika kemudian pergi.

Sejak saat itu, hari-hariku berjalan seperti biasa. Sangat biasa. Esok paginya aku berangkat kantor, juga seperti biasa. Mungkin yang tidak biasa adalah aku harus cerita lagi dan lagi tentang kisahku di Paris setiap bertemu orang-orang terdekat, dengan tetap menyembunyikan nama Fred supaya tak menjadi masalah nantinya.

Seiring berjalan waktu, aku mulai bisa melupakan Fred. Apalagi Mas Dika juga hampir setiap hari hadir di dunia nyataku, meski hanya lewat telepon atau chat.

HATIKU MASIH DI PARISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang