MUSIM hujan sebelas tahun yang lalu, Jelita kedatangan tetangga baru.
Rumah yang telah dikosongi sejak delapan bulan silam itu, akhirnya punya penghuni.
Rumah dua tingkat yang luasnya sedikit lebih besar dari rumah Jelita sendiri—rumah yang sering diirikan Mama karena halamannya lebih asri. Penghuni lama memutuskan menjual rumah bergaya bohemian penuh warna tersebut sebab telah memilih untuk menetap di kampung halaman. Dan Mama, yang menjalin hubungan akrab dengan si pemilik rumah lama pun sempat dititipkan sesuatu olehnya. Beliau meminta Mama merawat halaman yang hanya tersisa beberapa tanaman dari jumlah keseluruhan semula (karena setengahnya telah diangkuti ke kediaman baru si empunya), sampai rumah itu bertuan. Pemikiran yang bagus mengingat sebagus apapun rumah, kalau halamannya dirambati rerumputan liar panjang dan dihujani daun kering pasti jatuhnya akan seperti tempat berkumpulnya paguyuban makhluk halus yang tak akan menarik mata pembeli.
Kala itu, Mama tak punya alasan untuk tidak menerima penawaran tersebut. Mama suka tanaman. Tapi Mama tidak pernah bisa menyisakan barang sedikit space saja halaman rumah mereka hanya untuk membuat kebun kecil impiannya. Ayah itu seorang pemabuk. Bisa dibilang, kadar kecanduannya terdahap alkohol cukup parah. Setiap Ayah pulang mengendarai mobil di pagi buta, Ayah kerap menabrak asal seisi halaman mereka—tidak ada becus-becusnya memarkirkan kendaraan roda empat hasil dicicil bertahun-tahun miliknya tersebut.
Mama pernah mencoba menanam tiga pot suplir dan empat pot kuping gajah, diletakkan di pojok sekali—berharap tanaman percobaannya tersebut tak kena cium bagian depan mobil Ayah. Tapi, perasaan harap-harap cemas Mama betulan terjadi. Paginya, Ayah membentak Mama sebab pot berbahan tanah liat milik tanaman Mama itu sungguhan tertabrak mobil Ayah. Bagian depan mobil Ayah lecet, juga tanaman-tanaman Mama tak mampu terselamatkan. Jelita ada di ruang tamu ketika Ayah nyaris menjambak rambut Mama yang kekeh kalau itu bukan salahnya—jelas pernyataan Mama tidak salah sama sekali, sayangnya semakin keras Mama mempertahankan argumennya, Ayah tak hanya akan bertindak lewat mulut melainkan tangannya akan mulai ikut beraksi.
Sejak itu, Mama tidak berani lagi menanam apapun di rumah mereka. Bukan karena Mama takut pada Ayah, tapi karena Jelita yang terus memohon pada Mama. Memohon untuk setidaknya tak melakukan hal-hal yang rawan memancing amarah Ayah. Sebagai anak tunggal belum berumur legal, Jelita tak bisa banyak berupaya untuk membela Mama dari perlakuan kasar Ayah yang notabenenya pria dewasa dengan tenaga lebih besar darinya. Makanya Jelita rasa, memohon dalam bentuk air mata sudah cukup membuat Mama menuruti keinginannya.
Mama dipesankan untuk merawat halaman berukuran enam kali dua belas meter itu tak secara cuma-cuma. Mama diberi upah yang lumayan—sesuatu yang Jelita baru tahu ketika setiap tanggal 1 Mama selalu mengajak Jelita makan ayam woku dan membelikan Jelita satu kardus mogu-mogu sebagai persediaan di kulkas. Mama jadi lebih ceria dengan kegiatan berkebunnya. Jelita turut senang melihat Mama yang tak begitu punya banyak teman itu seolah punya seribu teman dalam berupa tanaman-tanaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow | In Repair
FanfictionKenapa orang yang takut menyakiti hati orang lain malah tetap berpeluang disakiti oleh orang lain..? Juga kenapa orang yang kerap turut senang melihat kebahagiaan orang lain malah berkebalikan kerap menangisi kebahagiaannya..?