A break from someone will either make you realize how much you truly miss/love them or how much peace you have without them.
—unknown
prolusio: hujan yang tercurah dan hubungan yang belum sudah
*
KAFE dan kopi itu seperti satu-kesatuan yang saling terikat. Tapi kendati begitu, Jelita tetap menolak untuk suka kopi tak peduli kenyataan bahwa dia bahkan menyambangi sebuah kafe nyaris setiap hari.
Yah, Jelita rasa akan banyak juga segelintir kalangan yang sama dengannya. Menetap di sebuah kafe bukan berarti orang itu pecinta kopi. Bisa jadi minuman non kafein dan hidangan peneman di sana enak—seperti matcha latte dan toast spicy bulgogi kesukaan Jelita di sini. Bisa jadi juga seseorang yang terbiasa sendiri mendadak merindu akan suasana ramai—ramai bukan dalam artian sarat berisik, ramai dimana orang-orang asing berkumpul lalu berfokus pada urusan masing-masing dan kafe hanya jadi destinasi paling mudah untuk mereka tuju. Atau bisa jadi keapikan arsitektur kafe itu sendiri yang membuat pengunjung betah untuk berlama-lama.
Memang, ada banyak alasan seseorang bisa menyukai sesuatu. Sesederhana apapun itu, setiap orang pasti punya cara pandang yang berbeda.
"Kak Tata, ini pesanan americano-nya. Icenya kurang kah?"
Oke, Jelita tidak suka kopi. Tapi bukan berarti lidahnya pantang bercumbuan dengan kafein, kan?
Jelita mengulas senyum, "Cukup, kok. Mac and cheese-nya masih ada nggak, Nik?" pelayan berumur dua puluh lima tahun itu lebih muda dari Jelita. Jelita mengenal Monik lumayan lama, saking seringnya Jelita mengunjungi kafe ini.
"Toast-nya masih ready, lho... Nggak mau toast aja nih?"
"Itu dibungkus aja buat nanti. Sekarang aku mau mac and cheese."
"Oke—"
"Eh? Aku cuma nanya, kok. Bukan mau nyelak antrean. Aku bisa pesen sendiri ke kasir.."
"Nggak usah! Mumpung ada Monik di sini, sekalian Monik aja yang catet pesenan kakak."
"Monik..."
"Tunggu paling lama sepuluh menit, yo!"
Jelita mengembuskan napas samar. Percuma saja memberi tahu Monik. Dia sebenarnya bukan pelayan biasa, Monik adalah anak dari pemilik kafe bernama Jinja Jawi ini. Namun dia bisa 'menyaru' dengan seluruh karyawan di sini, katanya sih wanita itu sedang bosan jadi budak korporat di perusahaan-perusahaan besar. Lebih baik dia jadi budak di kafe milik ayahnya sendiri. Well, beruntung ayahnya tidak mempermasalahkan itu mengingat kafe ini sudah punya belasan cabang di tanah air tercinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow | In Repair
Fiksi PenggemarKenapa orang yang takut menyakiti hati orang lain malah tetap berpeluang disakiti oleh orang lain..? Juga kenapa orang yang kerap turut senang melihat kebahagiaan orang lain malah berkebalikan kerap menangisi kebahagiaannya..?