7 / 7

23 8 4
                                    

Hari ke 365,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ke 365,

Selamat hari berpulang! 365 hari sudah usai. Ya. 365 hari. Aku tidak ingin percaya bahwa sudah setahun kepergianmu. Terima kasih untuk pesan terakhirnya! Namun, aku belum bisa membacanya hari ini.

- Kenanga, 13 September 2021



Kamar Pasien, 13 September 2020

Terkadang, ada momen dimana satu detik terasa begitu lama, ada juga momen dimana satu menit terasa begitu cepat.

Dan ini adalah kedua momen itu.

Pada 59 detik terakhir, aku mengungkapkan segalanya. Betapa aku tidak ingin kau pergi, mengatakan semua apa yang kuinginkan di masa depan:

Untuk tinggal dengan mu.
Untuk mengasihi mu.
Untuk bersama denganmu.

Kamu tersenyum dengan mata yang berair.

Kau memegang tanganku sekali lagi.
Kau memanggil namaku sekali lagi.
Kau katakan terima kasih sekali lagi.

Lalu,

tujuh menit telah berakhir.



Jakarta, 13 September 2021

Selamat hari ke-365.

Aku tahu, ibumu menyuruhku untuk membuka amplop itu hari ini. Tapi aku tidak siap. Tidak akan pernah siap.

Mungkin kita bisa bertemu tahun depan.

"Mungkin setelah lima atau delapan tahun, kita bisa bertemu lagi. Ketika duka sudah tidak tersisa dan kita akhirnya hidup sesuai angan-angan selama ini."

Sally tersenyum. Ia membawa sebuah koper, kami berada di Soekarno-Hatta, merelakan kepergiannya ke Sydney.

"Yang benar saja, Sal. Mungkin salah satu dari kita sudah mati saat itu." Aku tertawa.

"Yah, tidak juga sih, kita masih muda. Aku masih muda. Tapi, mungkin kita sudah akan lupa satu sama lain saat itu." Lanjutku.

"Ya, mungkin." ulangnya dengan sarkas.

"Mungkin kamu akan sukses, mungkin aku jadi pengangguran akhirnya. Mungkin kamu jadi pengangguran, mungkin aku akan sukses. Kei, kamu tidak bisa memulai apa-apa jika selalu didasari kata 'mungkin'."

"Terserah kamu saja Sal."

Malam itu kami sepakat untuk bernostalgia mengenang memori lama di salah satu tempat penuh cerita manusia, Jakarta.

Ketika orang-orang membicarakan tentang indahnya Ibu Pertiwi, pastilah yang dimaksud daerah pesisir; Bali; Pangandaran; Anyer; Belitung; dan bidadari laut lainnya.

Yakin aku, tidak ada yang menyiratkan kota kelahiranku, Jakarta.

Walaupun begitu, Jakarta yang dipenuhi kesesakan dan kerusuhan ini adalah rumahku, tempatku dan orang-orang tersayang berbagi kisah kasih kami.

Apakah aku mencintainya? Tentu.

Apakah aku menyukainya?

Aku dan Sally kini berada di Soekarno-Hatta.

Tempat ini tidak pernah gagal memisahkan dua jiwa, ataupun menyatukannya.

Kami duduk berdampingan di sebuah resto cepat saji. Sally dan aku banyak bercerita tentang masa-masa SMA.

Tapi, tidak pernah sekalipun namamu disinggung. Lagi.

"Kei, kamu juga nyusul dong!"

"Pasti, Sal, pasti."

"Gimana, kuliah? Bagaimana mama mu?"

"Bunda baik-baik aja. Yah, aku beneran lanjut sekolah musik. Karena kalau dipikir lagi, aku ga bisa kemana-mana lagi selain musik. Cuma musik pilihan jalanku, Sal."

"Begitu.."

"Yah. Begitu."

"Lalu, apa rencana kamu?"

"Konservatori Moskow. Almamaternya Sergei Rachmaninoff. Lalu dosennya Rachmaninoff, ya Tchaikovsky." Kataku.

"Pasti aku bisa kesana, Sal."

Pasti bisa.

cherished loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang