2020
Virus korona menyebar sangat cepat hampir ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dan kini, virus korona pun sudah mampir ke kota di mana aku tinggal. Selain memakan banyak korban jiwa, pengangguran pun kian marak terjadi. Banyak karyawan yang dirumahkan karena pendapatan di mana mereka bekerja merosot drastis. Apalagi di sektor pariwisata, hotel dan restoran tentunya.
Terjadi Lock Down di mana-mana dengan banyaknya jalan-jalan yang ditutup dan warga dihimbau untuk tidak bepergian, menghindari kerumunan, dan tetap berdiam diri di rumah. Keadaan seperti itu justru menimbulkan kegabutan yang hakiki, seperti itu istilah anak zaman sekarang.
Sepertinya memang sudah dari dahulu jika sebuah larangan itu dibuat hanya untuk dilanggar. Apalagi bagi mereka-mereka yang sifatnya ngeyel. Salah satunya adalah aku. Bagaimana tidak, jika berhari-hari hanya berdiam diri, hanya melakukan aktivitas yang itu-itu saja di dalam rumah, lama-lama timbul kebosanan juga. Dengan sifat ngeyel itu, aku membunuh kebosanan dengan melakukan rutinitas baru di setiap sore.
Nongkrong bersama tetanggaku yang bernama pak Wahyu di sebuah angkringan. Angkringan tersebut terletak di sisi pinggir lapangan Minggiran. Tepatnya di depan rumahku. Jadi tinggal buka pintu pagar, jalan beberapa meter dengan menyeberang jalan, sudah sampai. Untung saja pemilik angkringan itu juga punya sifat ngeyel yang tetap membuka angkringannya dengan alasan untuk menghidupi keluarga di rumah. Simbiosis mutualisme pun terjadi antara aku dan pemilik angkringan itu.
Dan ternyata rutinitas pak Wahyu nongkrong di angkringan pak Bejo pun dimulai saat pandemi ini. Sebelumnya, hanya sesekali saja jika sempat, katanya.
Rutinitas ini membawa kami pada perbincangan soal korona itu sendiri dan cerita-cerita pendukung lainnya. Tidak jarang juga saling tukar pendapat dan saran yang sepertinya belum pernah kami lakukan selama ini. Sebelum ini, memang kami hanya sekadar kenal dan tahu saja. Hanya saling sapa jika kebetulan bertemu.
Sore ini, bukan kami saja pengunjung angkringan pak Bejo, ada sepasang remaja yang ikut mengunjungi setelah kami datang. Jika dilihat, aku menebak mereka masih usia anak SMA.
Semenjak aku sering ke sini, belum pernah kulihat wajah-wajah mereka. Mungkin pelanggan baru atau malah pelanggan lama sebelum rutinitasku datang ke sini. Yang jelas, mereka bukan warga sekitar sini.
"Pak, es teh kaleh," ucap si cowok itu.
Setelah itu kulihat mereka saling mengambil gorengan yang berada di depannya, tidak luput juga beberapa cabai pun ikut disikat dengan tangan kirinya.
"Pak, enten rokok?" ucap si cewek kemudian dengan santainya.
Pak Bejo pun menyodorkan sebuah stoples plastik yang berisi beberapa bungkus rokok lalu si cewek mengambil yang berwarna putih berlogo huruf A dan meloloskan satu batang. Rokok tersebut kemudian ia nyalakan dan dihisap bergantian dengan si cowok. Mungkin karena uang mereka pas-pasan atau bisa jadi itulah cara menikmati rokok yang paling nikmat bagi mereka. Joinan rokok sebatang seperti masa mudaku dahulu.
Ada hal yang aku banggakan hidup di kota ini, yaitu melihat masih banyak anak muda yang ngajeni dengan menggunakan bahasa kromo kepada orang yang lebih tua, sekalipun mereka penuh tato atau bajingan.
Kini obrolan kami tidak lagi seru karena kalah serunya dengan obrolan mereka yang terdengar lebih keras dari kami. Sesekali mataku dan kulihat pak Wahyu juga, mencuri pandang ke arah mereka. Dua mulut serasa menjadi lima yang saling bersahutan cerita.
Kini aku lihat pak Wahyu geleng-geleng kepala setelah beberapa menit mereka pergi. Dan aku paham betul apa maksud dari bahasa tubuh itu dan isi kepala pak Wahyu. Ada rasa heran yang tengah menyerang dirinya.
"Anak zaman sekarang tingkah lakunya sangat memprihatinkan, berbeda dengan anak-anak zaman dulu," tutur pak Wahyu.
Meski aku bertetangga cukup lama dengan pak Wahyu, sekitar enam tahun, namun aku tidak pernah tahu bagaimana pak Wahyu di masa muda. Mungkin saja pak Wahyu hidupnya memang lempeng-lempeng saja atau bisa jadi pak Wahyu anak rumahan yang saban harinya hanya sekolah, pulang, mengerjakan PR, tidur, lalu seperti itu lagi di hari-hari berikutnya. Sehingga di matanya, anak zaman dahulu dipandang lebih baik dari pada anak-anak di zaman sekarang. Padahal menurutku yang pernah nakal, jelas tidak seperti itu.
Menurutku, perkembangan zaman dan teknologi saat ini begitu pesat sehingga membuat hal-hal buruk mudah mencuat dan muncul ke permukaan. Misalnya saja, kita jadi mudah melihat foto-foto syur, video mesum para artis, bullying antar pelajar atau anak di bawah umur, dan tindak kejahatan lainnya, yang seolah-olah itu hanya terjadi di zaman sekarang, tetapi pada kenyataannya, hal seperti itu pun sudah banyak terjadi di zaman aku muda. Hanya saja, tidak pernah terlihat karena memang minimnya teknologi. Apalagi ponsel berkamera yang berperan penting sebagai perekam dan penyebar hal-hal buruk memang belum tersedia. Jadi yang tahu hanya mereka-mereka para pelaku atau saksi langsung. Setelah itu seakan lenyap seolah-olah ditelan bumi.
"Lihat tadi, omongannya tidak bisa dijaga sama sekali, tidak bisa direm. Seisi kebun binatang keluar semua. Apa orang tuanya tidak ngajarin, ya? Sebab selain guru, peran orang tua itu sangat penting bagi perkembangan anak. Belum lagi yang perempuan juga ngerokok." Lanjut pak Wahyu sambil geleng-geleng kepala.
Aku hanya senyum-senyum saja. Justru aku merasa heran kepada pak Wahyu yang begitu heran dengan tingkah laku anak zaman sekarang itu. Ke mana saja pak Wahyu di masa mudanya. Dan mungkin memang benar tebakanku soal masa muda pak Wahyu.
Berawal dari obrolan tentang sepasang remaja tadi, satu hari nanti bisa jadi obrol bersama pak Wahyu di angkringan ini menyuruhku untuk bercerita tentang masa mudaku. Di mana hampir segala macam kenakalan pernah aku lakukan. Dan jika sampai itu terjadi, aku menceritakannya, aku yakin pak Wahyu tidak akan percaya. Sebab pak Wahyu mengenalku ketika aku sudah, kata anak-anak zaman sekarang adalah hijrah, tetapi aku lebih suka menyebutnya dengan tobat.
Aku dan pak Wahyu memang bukan asli warga Minggiran. Aku pindah ke daerah sini setelah aku menikah delapan tahun lalu. Dan pak Wahyu dua tahun setelahnya. Wajar saja kalau tidak saling tahu menahu kehidupan masa lalu. Sebab kenakalanku memang terjadi sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar hingga usia di mana aku sudah cukup dewasa untuk memilih keluar dari dunia hitamku.
"Makanya saya begitu menjaga Nisa dan Yusuf. Sebagai orang tua, saya berkewajiban memantau mereka berdua. Saya tidak mau mereka salah dalam bergaul. Ikut-ikutan dan nyoba-nyoba hal yang tidak seharusnya," ucap pak Wahyu setelah menyeruput teh panasnya.
Kali ini aku sangat setuju dengan pemikiran pak Wahyu yang baru saja diucapkan. Memang begitulah seharusnya orang tua dalam menjaga anak-anaknya, tidak sepertiku saat kecil dahulu.
Mungkin aku salah satu dari ribuan orang tua di dunia ini yang tidak menginginkan seorang anak itu mengikuti jejak hitam bapaknya. Aku tidak ingin apa yang terjadi dalam hidupku, terjadi juga pada anakku. Sudah cukup bapaknya saja yang nakal, anakku jangan. Harapanku.
Mungkin doa dan harapan orang tuaku dahulu pun sama seperti itu. Tetapi jalan hidup siapa yang tahu. Dan akhirnya memang aku menjadi pribadi yang jauh dari harapan orang tuaku.
Setidaknya, aku akan belajar dari pengalaman hidupku. Bukankah kata bijak mengatakan, pengalaman adalah guru yang terbaik.Translate:
1. "Pak, es teh dua,"
2. "Pak, ada rokok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotri dan Cerita Kenakalannya
Teen FictionGotri adalah anak nakal dan kenakalannya sudah dimulai sejak ia duduk di bangku kelas tiga SD. Dari sebuah penasaran, kenakalan itu terjadi hingga keterusan sampai dewasa. Hampir semua kenakalan pernah ia lakukan. Baginya, kenakalan paling puncak...