Merokok

282 16 12
                                    



Lonceng sekolah berbunyi. Artinya sekolah telah selesai. Kami bertiga bergegas pulang untuk ganti pakaian lalu berkumpul di dekat rumah Kodok. Namun sebelumnya kami sempat berdiskusi siapa yang harus membawa korek. Akhirnya akulah yang bertugas untuk membawa korek setelah hari sebelumnya Kodok dan Kancil gagal mengambil korek.

“Kamu nggak lupa bawa koreknya kan, Tri?” ucap Kancil.

“Iya nggak lupa, kan?” lanjut Kodok.

“Iya, aku bawa,” jawabku sambil menunjukkan korek jres tersebut.

“Sip!” ucap Kancil sambil mengacungkan jempolnya ke arahku.

“Hooh, sip!” Kodok mengikuti sambil nyengir kuda.

Kami bertiga lalu berlari menuju markas. Betapa beruntungnya kami sebab puntung rokok itu masih tersimpan rapi di sana. Ah, acara penting itu bisa segera kami mulai. Masing-masing dari kami mengapit puntung rokok dan siap untuk dinyalakan bak gaya orang-orang dewasa lakukan.

Dimulai dari Kancil. Dengan kedua tangan, Kancil menyalakan korek jres lalu ia dekatkan ke mulut hingga api membakar ujung rokok yang sudah diapit oleh bibirnya. Terlihat kedua pipinya menyusut, artinya Kancil sedang menyedot rokok tersebut. Tidak sampai sepuluh detik, terdengar suara batuk keluar dari mulut Kancil bercampur asap putih.

Aku dan Kodok pun tertawa melihatnya.

Selanjutnya giliranku. Sama seperti Kancil, aku nyalakan korek jres lalu aku dekatkan ke ujung rokok. Ada rasa deg-degan di dada ketika aku melakukan itu. Makin dekat api itu pada ujung rokok, makin kencang rasa deg-degan itu. Bahkan saat api tersebut sudah membakar ujung rokok sembari aku sedot, rasanya sudah semakin kacau. Aku rasakan asap itu mulai memenuhi rongga di mulutku, tidak tahu harus aku apakan asap tersebut hingga akhirnya asap itu seakan mendobrak mulutku, saat itulah kontraksi hebat aku rasakan dan seketika sama seperti Kancil, aku terbatuk-batuk bercampur asap putih yang berhamburan keluar.

Aku lihat Kancil dan Kodok menertawakanku.

Terakhir giliran Kodok yang melakukannya. Dengan gaya sok sudah berpengalaman, Kodok mulai menyalakan korek jres itu lalu mendekatkan ke ujung rokok. Tidak perlu waktu lama, Kodok pun mengalami seperti yang aku dan Kancil alami.

Kami bertiga pun saling tertawa menertawakan kegagalan pengalaman pertama ini.

Ternyata merokok itu tidak gampang, apalagi bagi kami yang belum berpengalaman dan ditambah lagi kami hanyalah bocah. Namun bukan kami namanya jika menyerah. Kami mencobanya kembali hingga percobaan yang kesekian, akhirnya kami berhasil juga.

Ternyata yang dibutuhkan saat mengalami kegagalan hanyalah bangkit kembali, lalu semangat untuk mencoba kembali lalu sabar. Ini bukan hanya soal kegagalan dalam belajar merokok aja, tetapi bisa diterapkan di semua kegagalan apa pun.

Entah bagaimana Kancil dan Kodok bisa melakukan itu, merokok tanpa batuk lagi seperti sebelumnya. Mungkin sama sepertiku saat lama kelamaan bisa dengan sendirinya mengatur asap yang masuk ke rongga mulut dengan nafas yang harus dikeluarkan.

Di tengah keasyikan kami dalam berpesta asap, sepertinya Tuhan kembali menegur kami dengan cara menghadirkan ibuku di ujung lorong. Aku yakin ini memang ada campur tangan dari Tuhan. Karena seharusnya ibuku tidak pernah tahu tempat ini. Selama ini belum pernah sekalipun ia mencariku sampai ke sini.

Kami lalu lari terbirit-birit lewat satu sisi lainnya seperti sedang melihat hantu. Namun bukan maksudku untuk menyamakan ibuku dengan hantu. Rasa takutlah yang membuat seolah-olah seperti itu. Mungkin bagi Kancil dan Kodok, rumah adalah tempat persembunyian paling aman yang bisa meredam rasa takut, tetapi bagiku, tidak. Ke mana aku harus bersembunyi? Pulang ke rumah sama saja tidak meredam rasa takut, malah menambah rasa takut ini makin besar, lalu menjadi momok bagiku. Tidak pulang, sama saja membuatku takut. Sungguh dilema aku harus ke mana. Dengan gontai, aku berjalan menuju rumah sambil mencari apa yang harus aku katakan kepada ibuku soal rokok tersebut.

Jarak rumah sudah makin dekat, kata-kata itu tak juga muncul dalam pikiranku, malah gambaran tentang kemarahan dan hukuman yang tergambar jelas di pikiranku saat ini.

Pasrah, hanya itu yang aku bisa lakukan. Kadang kita memang harus pasrah pada keadaan yang memang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi atau tidak bisa dihindari lagi.

Seperti cacing kepanasan, aku begitu tidak tenang berada di dalam kamar sendiri. Apalagi ibuku tidak kunjung pulang yang membuat rasa gelisah dan rasa takut ini tidak segera hilang.

Aku dengar pintu rumah terbuka. Suara derap langkah yang makin jelas membuat degup jantungku pun makin jelas pula. Dalam keadaan berbaring memeluk guling, aku pura-pura tidur sambil terus berdoa kepada Tuhan. Hingga tahu-tahu aku tertidur lalu terbangun oleh suara adzan magrib yang menggema.

Sebenarnya aku tidak ingin keluar kamar dan ingin kembali tidur saja untuk menghindari bertemu dengan ibuku. Namun rasa kebelet kencing ini tidak bisa aku tahan lagi. Terpaksa aku keluar dengan cara mengendap-endap agar tidak ketahuan oleh ibuku. Sialnya, ternyata ibuku berada di dapur. Sepertinya Ia belum selesai menyeduh kopi buat bapakku. Suatu rutinitas sebagai istri bapakku di waktu magrib tiba.

“Baru bangun, Le?” tanya ibuku.

Di tengah debar jantung seperti genderang mau perang, aku menjawab dengan singkat, “Iya.”

“Ya sudah, makan dulu sana,” lanjut ibuku.

“Iya, nanti.” Aku melanjutkan perjalanan ke kamar mandi.

Rasa takut yang sedari tadi hinggap, bahkan sedari Ibu melihatku berada di markas, seketika berubah menjadi sebuah pertanyaan. Mengapa ibuku tidak bicara soal rokok itu?

Otakku mulai berpikir dan kembali ke kejadian tadi. Aku berpikir sambil kencing. Ketemu. Ah, seperti ini ternyata, ketika ibuku melihat ke arah di mana aku, Kodok dan Kancil duduk, ibuku hanya melihat kepala kami, tetapi tidak melihat apa yang kami pegang karena terhalang oleh tumpukan meja-kursi. Jadi aku yakin dengan pasti, ibuku tidak mengetahui apa yang sedang kami lakukan. Aku merasa lega, selega aku mengeluarkan semua air kencing ini sampai tuntas.

Ternyata melakukan tindakan salah mampu menjadikan otakku terserang rasa takut berlebihan. Ini sama halnya ketika aku mengendarai motor lalu di pinggir jalan banyak polisi berdiri, secara otomatis aku yang tidak memiliki surat izin mengemudi akan merasakan deg-degan lalu mlipir putar balik.

Semenjak kejadian itu, bukanya aku kapok tetapi malah membuatku makin penasaran. Hingga keterusan. Bahkan di kelas enam aku sudah berani merokok dari hasil membeli dengan uang saku, bukan lagi hasil mencari puntung rokok. Kami sudah mulai bergaya layaknya orang-orang dewasa.

Kami bertiga mulai belajar mengeluarkan asap dari lubang hidung seperti yang kami lihat pada orang-orang dewasa lakukan. Selain itu, ada juga yang mengeluarkan asap dengan membentuk lingkaran. Kami sering memperhatikannya, merekam mimik bibir mereka saat melakukannya.

Betapa senangnya kami saat bisa melakukannya, mengeluarkan asap dari lubang hidung. Tetapi untuk asap yang membentuk lingkaran, kami selalu gagal melakukannya. Entah trik apa yang membuat mereka dengan mudah melakukannya.

Saat aku sudah duduk di bangku SMP, trik itu berhasil aku kuasai. Aku berhasil melakukannya. Memainkan asap rokok menjadi sebuah lingkaran. Ah, keren rasanya lalu menganggap diriku sudah dewasa.

Semenjak SMP, aku sudah menjadi perokok aktif. Bahkan makin beranjak dewasa, aku mulai mengenal rokok bukan hanya yang terbuat dari daun tembakau saja, ada daun yang lain juga.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

*Jres, sebutan untuk korek dari kayu.
*Le, panggilan jawa untuk anak laki-laki.

Dasar Gotri, masih kecil sudah berani coba-coba merokok.

Hmm, kalian pasti tahu daun apa yang dimaksud oleh Gotri. Jika belum, yuk simak kelanjutannya.

Dan jangan lupa, bantu beri bintang dan komen.

Terima kasih.

Gotri dan Cerita KenakalannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang