Tolpit

110 15 47
                                    


Pernah suatu ketika aku berbuat ulah yang membuat ibuku kalang kabut. Saat itu aku menerima hukuman yang menurutku paling berat. Hampir saja aku dipindahkan ke sebuah pondok agar sifat nakalku hilang, pikirnya. Untung saja tidak jadi.

Selain membuka warung kelontong, ibuku kerap menerima pesanan membuat berbagai macam panganan tradisional untuk berbagai macam acara. Waktu itu ibuku mendapat pesanan, kebetulan makanan itu merupakan kesukaanku. Namanya tolpit, akronim dari kontol kejepit. Terlalu vulgar memang, tetapi entah dari mana dan sejak kapan warga Bantul selatan menyebutnya dengan nama itu. Sebenarnya ada nama lain yang jauh dari kata porno, yaitu adrem. Tolpit atau adrem ini terbuat dari bahan utama tepung beras dan gula jawa lalu digoreng. Jadi jelas rasanya manis.

Aku yang hendak buang air kencing melintasi dapur dan melihat beberapa tampah yang terisi penuh dengan tolpit. Aku comot satu sambil terus menuju kamar mandi. Sehabis dari kamar mandi, kulihat ada plastik keresek tergeletak tak jauh dari tampah-tampah tadi lantas tanpa pikir panjang aku mengambil tolpit dan membungkusnya dengan keresek tersebut.

Meski aku anak nakal, aku selalu ingat dan selalu berbagi dengan kedua temanku, apalagi makanan hasil curian. Namun, bukan karena aku baik hati, melainkan aku pernah mendengar bahwa hasil curian jika dibagi-bagi sama saja membagi dosa kepada yang diberi. Entah benar atau tidak, yang jelas saat ini aku mencari Kancil dan Kodok untuk aku ajak makan tolpit sekeresek ini. 

Di bawah pohon mangga di pinggir lapangan, aku menemukan mereka. “Cil, Dok, sini. Aku punya makan, nih.” Langsung kusodorkan kepada mereka tanda mempersilakan untuk mengambilnya. Mereka mengambilnya tanpa ragu, tanpa bertanya.

“Hmm, enak, Tri!” ucap Kancil dengan mulut masih mengunyah tolpit tersebut hingga remah-remah pun berhamburan keluar dari mulutnya. Sedangkan Kodok terlalu lahap menyantap hingga tak menyisakan rongga untuk mengeluarkan suara. Ia hanya mangguk-mangguk saja untuk memberi persetujuan bahwa tolpit yang dimakannya enak.

Tidak sampai di sini, aku yang merasa kurang pun pulang ke rumah berniat mengambil sekeresek lagi. Namun, kenyataan memang terkadang tak seindah harapan. Kupingku menjadi sasaran empuk kemarahan ibuku setelah melihat aku mengambil tolpit itu. “Oh, ternyata kamu yang ambil pesanan itu. Kamu tahu, itu pesanan Bu RT untuk arisan nanti malam.”
Aku tahu, setiap kali Ibu membuat pesanan, selalu saja melanjari beberapa saja, tetapi aku mengambilnya melebihi lanjaran itu. Tidak heran jika Ibu semurka itu kepadaku.

Kebiasaan mencuriku sejak kecil terbawa hingga dewasa. Bahkan ketika dewasa aku sudah mulai berani mencuri benda yang aku takuti. Sungguh walaupun aku anak nakal dan suka mencuri, aku paling takut mencuri uang yang bukan hakku hingga akhirnya pada suatu hari aku melakukannya tanpa sengaja.

Saat itu aku hendak membeli Topi Miring. Di jalan aku menemukan sebuah dompet yang setelah aku lihat, terdapat beberapa lembar uang dan lengkap identitas pemiliknya. Aku yang sedari kecil tak pernah mau mengambil uang yang bukan hakku pun berniat akan mengembalikannya nanti. Sayang sungguh sayang, sesampainya di tempat tujuan, ternyata aku lupa membawa uang. Alhasil, uang yang ada di dompet tersebut aku pakai dahulu untuk membeli minuman tersebut. Besok rencananya akan kuganti dan kukembalikan.

Keesokan harinya aku akan mengembalikan kepada sang pemilik dompet mumpung hari Minggu. Pasti sang pemilik ada di rumah. Setelah rapi, aku tidak menemukan dompet itu di kamarku. Aku periksa di saku celana pun tidak ada. Aku benar-benar tidak ingat karena semalam aku mabuk berat, bahkan pagi ini sebenarnya kepalaku masih ngancing. Akhirnya aku tidak pernah mengganti dan mengembalikan dompet itu.

Entah bagaimana bisa, rasa takut yang menjagaku agar tidak mencuri uang sedari kecil itu seakan-akan luntur hingga hilang tak berbekas. Tidak terjadi apa-apa setelah aku tidak mengembalikan uang beserta dompet itu. Dari situ aku mulai mencoba untuk mencuri uang.

Setahun selepas SMA, aku bekerja di sebuah pabrik kerajinan di Kasongan. Di sana aku sering mencuri uang karyawan lain. Pernah saat gajian, aku berhasil mencuri amplop yang berisi uang gaji selama seminggu. Lumayan buat pesta miras nanti malam, pikirku. Tidak ada rasa takut lagi saat melakukannya, bahkan aku tidak takut saat ada pengumuman bahwa kasus ini akan diserahkan pihak berwajib. Ancaman itu tidak berpengaruh sama sekali kepadaku. Berbeda sekali denganku saat kecil. Diancam sedikit langsung ketakutan, barang yang aku curi seketika aku kembalikan.

Waktu itu kelas 4. Aku mencuri rautan pensil milik Sulastri. Rautan itu barang kesayangan bagi Sulastri. Jelas, rautannya bukan rautan biasa yang bentuknya bulat dan ada cermin di satu sisinya. Aku mencurinya ketika pelajaran olah raga sedang berlangsung. “Pak, saya ijin ke toilet dulu ya,” ucapku. Jelas itu hanya alibi. Sebenarnya ketika itu aku menyusup ke dalam kelas dan mengambil rautan tersebut.

Akan aku ceritakan sedikit tentang Sulastri. Ia anak orang kaya. Setiap ada barang baru, ia selalu memamerkannya kepada kami semua. Ia selalu sombong dengan barang-barang barunya. Sulastri mirip sekali dengan tokoh Suneo dalam film Doraemon, tetapi ini versi perempuan. Aku benci melihat Sulastri, apalagi ketika membanggakan barang-barangnya. Anak itu harus aku beri pelajaran, pikirku.

Seperti biasa, pak Sholeh tiba-tiba memberi kotbah di depan kelas yang ujung-ujungnya meminta dengan halus kepada siapa pun yang mencuri rautan milik Sulastri, untuk segera dikembalikan. Seisi kelas hanya diam. Aku ikut diam. Melihat tanda-tanda tak ada yang maju ke depan untuk mengembalikan rautan tersebut, pak Sholeh angkat bicara kembali. Kali ini bukan kotbah. Aku sebagai pencuri rautan itu pun tak bisa berkutik lagi.

“Kalau kalian mengembalikan rautan itu sekarang, kalian tidak akan kena hukuman, hanya perlu minta maaf saja kepada Sulastri, tapi kalau diminta secara baik-baik begini tidak ada yang mengaku, terpaksa saya menggunakan cara lain. Cara yang bisa membuat kalian malu. Saya akan mengambil segelas air putih, lalu akan saya bacakan ayat-ayat Al-quran dan kalian harus meminumnya satu per satu. Bagi siapa yang mencurinya, dia tanpa sadar akan berjalan menuju halaman sekolah sembari berjoget,” ucap pak Sholeh dan membuatku mulai berdebar.

Aku semakin ketakutan ketika segelas air putih sudah berada di tangan pak Sholeh. Dengan berat, aku mengaku. Lebih baik sedikit malu dilihat satu kelas dari pada harus malu dilihat satu sekolahan karena joget-joget di halaman sekolah.

Cara itu benar-benar ampuh. Bahkan belum diminum pun aku sudah mengaku.

Setelah dewasa, aku menyadari bahwa itu hanyalah salah satu trik gertakan saja. Aku tidak yakin ada segelas air putih yang dibacakan ayat-ayat Al-quran, entah ayat apa, bisa mengungkap pencurian. Jika benar bisa, menga0a tidak digunakan oleh pihak kepolisian dalam mengungkap semua kasus pencurian. Atau berikan saja kepada para Wakil Rakyat agar tahu siapa saja yang mencuri uang rakyat.

○○○

Benar kata orang,  jangan pernah melihat siapa yang bicara, namun apa yang dibicarakan. Dan memang benar, sebuah kata-kata itu lebih tajam dari pedang. Buktinya hatiku tersayat-sayat oleh perkataan seseorang hingga membuat aku sadar.

Kejadian ini terjadi saat berada di rumah Bantul. Suatu hari, saat aku sedang nongkrong di pos ronda dengan teman-teman, ada seseorang yang menghampiri kami. Tanpa permisi, orang tersebut ngoceh sana-sini tanpa henti sambil sesekali ia tertawa.

“... kalian tahu? Haha... pasti tidak tahu. Sama aku juga,” ucapnya. Namun, sedetik kemudian, raut wajahnya berubah serius. “Coba lihat, pencuri itu tidak akan tenang, akan selalu miskin. Hahaha... Punya rokok, gak? Aku minta. Nanti kita oye bareng.”

Tono mengeluarkan sebatang rokok dan memberikannya kepada orang itu, tetapi orang itu menolak saat Tono memberikan korek kepadanya. “Ini sudah nyala kok,” ucapnya. Orang tersebut terus menghisap rokok tersebut hingga kedua pipinya kempot, lalu seolah-olah menyembulkan asapnya.

Kali ini orang itu berhenti ngoceh, hanya bernyanyi dengan gerak jempol yang diputar-putar sembari berlalu begitu saja.

Pencuri itu tidak akan tenang, akan selalu miskin. Entah kenapa kata-kata itu menancap di hatiku. Apa mungkin karena dua minggu ini aku dihantui pertanyaan mengapa uang gajiku, ditambah uang-uang curian tak pernah cukup menghidupi aku yang masih sendiri. Selalu saja kurang. Bertahun-tahun bekerja, aku tak pernah punya uang tabungan. Hanya tabungan utang di warung-warung.

Tahun 2005, menjadi tahun yang begitu berat bagiku. Aku harus berperang dengan diriku sendiri. Memerangi kebiasaan yang sudah terlahir sejak aku kecil.

Berhenti mencuri ternyata tidaklah segampang yang aku kira. Banyak sekali godaan-godaan dan cobaannya. Yang paling berat adalah kejadian di hari minggu. Kejadiannya sama persis dengan kejadian di mana aku mulai mencuri uang. Di situ aku berperang dengan diriku sendiri. Akhirnya dompet itu aku tinggalkan begitu saja. Biarlah orang lain yang menemukannya, mungkin akan dikembalikan atau akan diambilnya.
Di umurku yang kedua puluh lima, aku sudah berhenti dari kenakalanku yang satu ini. Aku tak lagi mencuri barang atau uang milik orang lain.

Ada yang kurasakan dalam hidupku setelah kutinggalkan kebiasaan itu. Keuanganku pun berubah. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa menyisihkan uang untuk ditabung. Bahkan barang-barang yang kumiliki, sekarang begitu awet, tak seperti dulu waktu masih membeli barang dengan uang haram, barangku mudah rusak atau pun hilang. Sungguh besar perbedaan yang aku.

Terima kasih Tuhan telah menyadarkan aku lewat orang stres itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gotri dan Cerita KenakalannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang