Sebenarnya aku masih bertanya-tanya, ada apa denganku. Rasanya aku tidak pernah bermain pelet agar wanita tergila-gila padaku, apalagi istri orang. Dan sekali lagi, aku bukan termasuk lelaki dengan paras yang tampan dan berkulit putih. Aku hanya lelaki dengan tinggi 170 cm, berkulit sawo matang, wajah oval, dan rambut sedikit bergelombang. Namun tetap saja banyak istri orang yang menyukaiku. Bayangkan, istri orang menyukaiku. Suatu kebanggaan tersendiri untuk diriku. Ternyata tidak butuh wajah tampan untuk disukai wanita.
Ada tiga wanita bersuami yang datang padaku silih berganti. Mereka datang dengan sendirinya seperti air, mengalir begitu saja sampai akhirnya memiliki hubungan lebih dari sekadar teman biasa. Bisa dikatakan aku menjadi selingkuhan mereka semua. Sebagai bajingan dan selama itu menguntungkanku, pasti aku jalani dengan senang hati dan sembunyi-sembunyi pastinya.
Sebagai orang yang dijadikan selingkuhan, aku sangat sadar diri. Tidak perlu bermain hati. Pas buatku yang sulit jatuh cinta. Aku hanya mengikuti bagaimana permainan wanita-wanita itu. Jika mereka berani melakukan hal-hal di luar batas, aku ikuti dengan senang hati. Jika tidak, aku pun bisa menahan diri untuk tidak banyak meminta. Biarlah aku seperti kucing yang penurut saja. Diberi ikan ya dimakan, tidak diberi ya nyolong kalau ada kesempatan dan kepepet.
☆☆☆
Ini hari yang cerah buatku. Pasalnya, teman kerjaku yang bernama Iin memberi sebuah kabar gembira. Kabar itu sungguh di luar dugaan. Katanya, teman sekolahnya yang beberapa kali pernah bertemu denganku itu, meminta nomor teleponku. Ada seorang wanita meminta nomor telepon seorang lelaki, pasti sekian persennya ada perasaan lain. Jelas aku mempersilakan Iin untuk memberikan nomorku kepadanya.
“Tapi, dia udah punya suami. Belum lama nikah. Sekitar lima bulan yang lalu,” ucap Iin kemudian.
“Oh,” ucapku singkat. Padahal dalam hati aku berkata tidak peduli, lagi pula wanita itu yang meminta nomorku lebih dahulu. Semisal dia sms aku, ya pasti aku ladeni.
Benar, tidak lama setelah itu, ia mengirim sms yang isinya ingin berkenalan denganku. Aku sambut niatnya untuk berkenalan denganku. Aku memperkenalkan diri yang kurasa ia pun sudah tahu namaku dari Iin. Dari cara ia kirim sms, aku pun sudah bisa memastikan jika ia memang ada rasa kepadaku.
Seiring berjalannya waktu, komunikasi lewat sms pun semakin intens hingga ia pun menyatakan suka dan nyaman berkomunikasi denganku. Semudah itukah? Namun, sepertinya memang benar. Rasa suka bisa datang dari mana saja, salah satunya dari rasa nyaman. Rasa nyaman pun bisa datang dari mana saja, salah satunya mendengar cerita lewat sms lalu menanggapi dengan sedikit sok bijak.
Sebulan berlalu. Kini ia semakin berani untuk mengajakku bertemu meski sembunyi-sembunyi. Aku terima tawarannya untuk bertemu. Di sebuah lesehan pecel lele, kami bertemu. Tidak ada rasa canggung, seolah-olah kami sudah dekat sedari lama. Ia bercerita banyak hal yang akhirnya menuju ke persoalan rumah tangga.
Lagi dan lagi, ia juga bercerita tentang kehidupan rumah tangganya. Apakah tidak bisa hal semacam itu dirahasiakan saja? Apalagi soal ranjang yang memang sangat sensitif dan berakibat fatal.
Tidak ada tudung aling-aling, ia bercerita mengenai suaminya yang tidak seperti dulu sewaktu pacaran. Ia merasa suaminya berubah sejak menikah. Kini suaminya begitu kasar, suka marah-marah jika tidak dituruti apa maunya. Apalagi di ranjang yang permintaannya selalu aneh-aneh. Misalnya saja sebelum melakukan, suaminya selalu minta foreplay dengan mengulum miliknya. Sedangkan ia jijik harus melakukannya sebelum berhubungan badan.
Bukannya itu enak? Mentik saja suka mengulum milikku. Bahkan pernah mengulum sampai muncrat di dalam mulutnya, pikiranku yang tidak mungkin aku ucapkan kepadanya. Dari sini aku jadi paham, ternyata memang tidak semua wanita suka mengulum milik suaminya.
“Aku nyesel. Kenapa baru kenal sama kamu,” ucapnya kemudian setelah ada jeda keheningan sesaat.
“Kenapa memangnya?”
“Sepertinya kamu bukan orang yang kasar sama cewek. Aku nggak suka cowok yang kasar.”
“Tapi mau gimana lagi? Semua sudah terjadi. Kamu sudah menikah sama dia.”
“Iya, tapi ...,” ucapnya menggantung. “Ah, sudahlah. Aku sudah seneng kita bisa kayak gini. Kapan-kapan main ke pantai, yuk?”
“Kapan pun kamu mau, aku siap.”
“Ah, makin suka deh sama kamu.”
Akhirnya kami punya kesempatan untuk main ke pantai. Di bawah pohon cemara pantai yang rimbun dan paling sepi, kami duduk di bawahnya hanya beralas pasir. Aku sandarkan tubuhku ke pohon tersebut dengan posisi lutut ditekuk ke atas lalu ia yang duduk di depanku pun menyandarkan tubuhnya di dadaku. Dengan sedikit ragu, aku lingkarkan kedua tangan di perutnya. Ia tidak menolak. Aku senang meski tangan ini kutahan untuk tidak berbuat nakal.
Kali ini, tidak ada obrolan mengenai kehidupan rumah tangga maupun masalah ranjang, semua hanya tentang perasaannya saat ini denganku. Ia mengatakan bahwa dirinya sangat senang bisa duduk berdua dan bersandar di tubuhku sambil menikmati indah pantai. Kami seperti sepasang kekasih yang sedang di mabuk asmara.
Suasananya sungguh sepi, angin begitu semilir, debur ombak begitu jelas terdengar dan kami sangat menikmati momen yang sangat langka ini.
“Kamu pernah pacaran?”
“Iya, pernah,” jawabku.
“Pernah ngapain aja sama pacarmu?”
“Ya, biasa, jalan-jalan, makan, gitu lah,” jawabku seolah-olah tidak tahu maksud dari pertanyaannya.
“Bukan itu maksudku ...,” ucapnya menggantung. “Ciuman pernah?”
“Ee ... iya, pernah.”
“Kalau pegang ...,” ucapnya kembali menggantung. “Susu, pernah?”
Kali ini aku tidak menjawab dengan jujur. Mana mungkin hal itu aku katakan kepadanya. Aku tidak bisa seblak-blakan dirinya mengenai hidupku. Maka aku jawab saja kalau belum pernah melakukan itu.
“Mau pegang?” Dari nadanya, ada sedikit keraguan saat ia mengucapkannya. Entah karena malu atau takut kalau aku marah, apalagi menolaknya. Ia memang benar-benar belum mengenalku.
Aku memang punya sedikit keuntungan dalam hal ini. Jika orang yang baru mengenalku atau baru sekali bertemu, semua kenakalan yang ada di diriku ini memang tidak tampak. Aku tidak berniat untuk menipu, tetapi memang banyak orang yang tertipu oleh sifatku. Itu yang kerap aku dengar tentang kesan bertemu pertama kali denganku.
“Ee ... memangnya boleh?” Pertanyaanku pun sama ragunya. Apa ia serius menawarkan itu? Bagaimana jika itu tadi pertanyaan menjebak. Bisa tengsin jika benar.
Tanpa menjawab, ia raih tanganku yang masih melingkar di perutnya. Kemudian tanpa ragu meletakkan tanganku di bagian yang ia tanyakan tadi. Bukannya melepaskan tanganku yang sudah berada di sana, ia malah memberi kode yang membuatku suka. Aku jelas menuruti kode tersebut.
“Suka?” katanya kemudian.
Milik Mentik yang tidak sebesar ini saja aku suka, apalagi ini lebih besar. Bodoh jika aku bilang tidak suka. Aku tidak tahu betul, apakah ada lelaki yang memang tidak suka meremas milik wanita?
“Suka,” jawabku.
Entah saking enaknya atau memang tidak enak, ia menyuruhku untuk memasukkan tanganku ke dalam pakaiannya langsung. Aku makin semangat melakukannya. Kemudian memainkannya dengan puas. Ia pun mendesah, memintaku untuk lebih keras lagi meremasnya. Kali ini aku sedang menjadi anak yang menurut, maka kuturuti permintaannya. Bahkan tanganku yang satu lagi kumasukkan. Kedua tanganku pun bermain dengan kompak.
Sampai akhirnya aku mulai tidak tahan menjadi anak yang penurut. Aku memberanikan diri untuk meminta bagian bawah dan disambut baik olehnya. Ia mengizinkan. Mainkan saja sepuasmu, katanya.
Dengan nakal, jari tengahku menari-nari riang di daerah itu hingga terperosok ke lubang sempit, tetapi elastis. Jariku terus bergoyang hingga kurasakan ada sesuatu yang membasahi seluruh telapak tanganku. Ia makin mendesah keenakan.
Aku yakin tidak ada wanita yang tidak merasa keenakan jika dua bagian itu disentuh dengan lembut oleh lawan jenis. Sudah pasti tubuhnya akan merasa menggelinjang. Apalagi sempat kuciumi bagian lehernya yang kata sebuah artikel, leher menjadi salah satu bagian sensitif wanita dan bila dicium akan meningkatkan gairah.
Sungguh aku menunggu gilirannya memainkan milikku satu-satunya. Berharap tangannya segera menyelinap masuk ke dalam celanaku. Namun hingga hari sudah mulai gelap, ia tidak melakukannya. Batangku mengeras tanpa mendapat belaian apa-apa. “Kasihan kamu, Nak. Kali ini nggak dapet jatah,” ucapku dalam hati.
Kami kembali ke kota dengan tujuan rumah sakit yang berada tidak jauh dari titik Nol Kilometer. Sebab di sanalah motor miliknya diparkirkan. Tidak mungkin kami pergi membawa motor masing-masing sampai tujuan atau sungguh tidak mungkin lagi jika aku menjemputnya. Maka terpilihlah sebuah rumah sakit untuk menitipkan motor miliknya lalu kami berboncengan.
☆☆☆
Mungkin bosan atau sudah menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu salah, sehingga aku merasa ia pelan-pelan menjauh dan menghindar dengan beribu alasan ketika aku mengajaknya ke pantai. Dan kini ia menghilang bersama nomor telepon yang sudah tidak bisa dihubungi lagi.
Meski aku sadar aku hanya selingkuhannya yang sesaat, tetapi sungguh apa yang ia lakukan ini mampu menyiksaku. Kini aku hanya bisa membayangkan tubuhnya sebelum tidur.
Seiring berjalannya waktu, seperti orang putus, aku mulai terima kenyataan ini. Mungkin ini terbaik untuknya kembali ke jalan yang benar. Dan sepertinya aku harus mencari pacar agar hasratku bisa terlampiaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotri dan Cerita Kenakalannya
Teen FictionGotri adalah anak nakal dan kenakalannya sudah dimulai sejak ia duduk di bangku kelas tiga SD. Dari sebuah penasaran, kenakalan itu terjadi hingga keterusan sampai dewasa. Hampir semua kenakalan pernah ia lakukan. Baginya, kenakalan paling puncak...