Daun Yang Lain

285 18 36
                                    



Makin dewasa, ternyata rasa penasaran itu tidak kunjung surut, malah makin menjadi dan berani mencoba sesuatu hal yang lebih parah lagi. Ada rasa nanggung jika aku hanya merokok dari daun tembakau saja. Akhirnya aku mengenal rokok yang terbuat dari daun cimeng. Jelas aku mengenalnya dari teman kerjaku. Nama panggilannya Kalong. Mungkin karena ia jarang tidur atau tidurnya selalu larut.

Hari pertama aku masuk kerja di salah satu perusahaan yang berada di Bantul, aku berjumpa dengannya. Kukira ia adalah karyawan lama, tetapi ternyata ia juga baru masuk. Jadilah kami berteman karena merasa seperjuangan. Apalagi lambat laun aku tahu jika ia bukan anak baik-baik. Dalam artian ia anak nakal sepertiku. Makin aku merasa sefrekuensi saja dengannya. Pergaulan kenakalanku makin meluas ketika ia mengenalkanku dengan yang namanya cimeng.

“Wes tau nyimeng durung koe, Dab?” tanya Kalong suatu malam yang dingin di kontrakannya.

Asu. Pertanyaan Kalong membuatku seakan mati kutu. Ia memang sudah tahu jika aku sama sepertinya, nakal. Namun kenapa juga harus bertanya seperti itu. Jika saja ia langsung mengajakku nyimeng tanpa bertanya, sudah pasti aku mau.

“Durung,” jawabku singkat. Meski ia tidak bermaksud mempermalukan aku, tetapi aku merasa tertampar karenanya. Aku merasa belum ada apa-apanya dibanding Kalong. Nakalku jauh tertinggal darinya.

“Wah, jian. Lotse wae mempeng, tapi nyimeng durung tau,” ucapnya yang membuatku hanya tersenyum. “Arep jajal, ra?”

“Siap, mangkat, Dab,” jawabku penuh semangat. Pengalaman ini akan membuatku semakin keren saja.

“Sesok pas prei ndene meneh,” ucap Kalong yang aku jawab dengan anggukan kepala.

Di sebuah kontrakan saat libur kerja, aku, Kalong, Gudel, Jembrik, dan Toni akan mengadakan pesta cimeng. Kalong kebagian membeli barangnya karena ia sudah biasa soal beli membeli barang ini. Aku pun diajak untuk menemaninya.

Aku dan Kalong berboncengan mengendarai motor menuju lokasi. Di sebuah lorong gang sempit kami menunggu. Tidak lama setelah itu, seorang lelaki menghampiri kami. Badannya tinggi dan kurus, kedua tangannya penuh tato, rambutnya disemir warna biru yang kini sudah memudar.

“Ini siapa, Bro? Aman, kan?” ucap lelaki itu.

“Santai, Bro. Aman. Temen kerja,” jawab Kalong. Lalu kulihat ia berbisik di telinga lelaki itu. Entah apa yang Kalong katakan.

“Asu, mesti ngrasani aku,” ucapku dalam hati.

Lantas lelaki itu menyuruh kami untuk mengikutinya. Di sebuah bangunan yang sepertinya mangkrak pengerjaannya, si situ kami dibawa masuk. “Tunggu di sini,” ucapnya lalu meninggalkan kami.

Tidak lama setelah itu, ia kembali dengan bungkusan koran di tangannya. Tanpa babibu ia menyerahkan bungkusan itu kepada Kalong dan Kalong menyerahkan sejumlah uang yang sudah disiapkan sedari tadi.

“Mau nyoba sebat dulu, nggak? Ini ada yang sudah jadi,” tanya lelaki penuh tato yang tidak aku ketahui namanya.

“Nggak usah, Bro. Aku langsungan aja. Udah ditunggu sama anak-anak,” jawab Kalong lalu berpamitan.

Dalam perjalanan pulang, aku sempat bertanya kepada Kalong perihal orang tadi yang melihatku dengan mata mecicil. Sebenarnya aku ingin balas memandangnya dengan tatapan sama, tetapi teringat bahwa aku dan Kalong ingin membeli cimeng darinya.

“Biasa, Dab. Koe dikiro spion. Maklum nek ono cah anyar tuku barang mesti ngunu kui,” jawab Kalong yang membuatku hanya tertawa mendengar alasan itu.

Aku pikir-pikir memang wajar jika lelaki itu menaruh curiga kepadaku, sebab barang yang ia jual bisa membuatnya masuk bui jika tidak hati-hati.

Setelah sampai di kontrakan Kalong yang dijadikan tempat pesta, kami langsung meraciknya bersama. Daun cimeng itu dicampur bersama tembakau dari rokok yang dibongkar lalu dilinting kembali. Entah memang begitu atau ada maksud lain, yaitu biar irit.

Setiap anak sudah membawa satu batang lintingan cimeng. Satu per satu mulai membakarnya, termasuk aku. Seketika aku teringat masa kecilku.

“Bro, aku ditembak dong,” ucap Kalong kepada lelaki yang di tangannya menempel sebuah tato naga, yaitu Jembrik.

Kata-kata itu sempat menjadi sebuah pertanyaan di kepalaku. Apa temanku ini sudah tinggi dan ngawur. Aku masih tidak mengerti hingga beberapa menit kemudian aku mulai paham apa arti kata tembak.

Wajar saja kalau aku tidak mengerti jika itu hanyalah sebuah istilah saja. Sumpah, meski aku sudah merokok sejak kecil dan sering mabok di waktu SMA, baru kali ini aku masuk di dunia cimeng. Bahkan sebelum ini, aku pikir rokok cimeng itu seratus persen terbuat dari daun cimeng.

Kalong menyodorkan rokok cimeng kepada Jembrik lalu ia masukkan ke dalam mulut dengan posisi ujung yang terbakar berada di dalam. Kalong mendekatkan lubang hidungnya ke ujung rokok yang berada di luar mulut Jembrik. Kulihat kedua pipi Jembrik mengembang tanda ia sedang meniup layaknya trompet. Otomatis asap akan keluar dari ujung rokok tadi dan Kalong menghirupnya dengan satu lubang hidung yang tidak ditutup jari.

Ada lagi satu temanku yang mulutnya sedikit mrongos, yaitu Toni. ia menghisap cimeng dan menyembulkan asapnya ke dalam plastik. Beberapa saat kemudian ia hirup kembali asap yang berada di plastik tersebut. Dan temanku yang terakhir, Gudel, menikmati cimeng sambil berkata-kata tidak jelas. Sepertinya ia memang sudah kena ciu dari sebelum pesta ini dimulai.  

“Kamu ngapain, Trek? Cuma liatin aja? Jangan dianggurin tuh asep. Sayang terbuang percuma,” kata Jembrik. “Mau aku tembakin?”

“Gotrek ... Gotrek ...” ucap Kalong dengan nada menyindir.

“Udah nggak usah. Aku gini aja.” Dan akhirnya aku menikmati cimeng ini dengan bergaya seolah-olah pernah memakai sebelumnya. Aku hisap dalam-dalam rokok cimeng lalu menyembulkannya, setelah itu cepat-cepat aku hirup kembali dengan hidung. Ah, ada kenikmatan yang mulai kurasakan. Sungguh berbeda dengan rokok daun tembakau yang kerap kuhisap sedari kecil.

Meskipun begitu, ada asap yang belum pernah aku coba sampai sekarang, yaitu asap yang berasal dari cairan. Bukan karena rasa penasaranku sudah hilang, melainkan ada janji pada diriku sendiri yang harus aku pegang. Misal saja rokok jenis ini muncul belasan tahun lalu, pasti aku sudah mencicipinya.

Belum genap setahun berteman dengan Kalong, bahkan pesta cimeng baru beberapa kali, aku harus kehilangannya. Kalong, teman sepercimenganku memutuskan untuk pulang kampung ke Solo. Katanya disuruh membantu kakaknya yang memiliki usaha di bidang mebel.

“Nek neng Jogja, kabar-kabar, Dab. Tak traktir cimeng wes,” ucapku sebelum ia berangkat.

“Siap, Dab,” balasnya.

Meski pertemanan ini sungguh singkat, tetapi Kalong memberikan pengalaman yang luar biasa padaku. Aku merasa kenakalanku naik satu tingkat dibandingkan dengan teman kecilku. Sayang aku sudah tidak bisa mengajak mereka berpesta cimeng. Bahkan sekadar nongkrong dan merokok biasa saja sudah susah.

Waktu yang berputar mampu mengubah segalanya, termasuk kedua sahabat kecilku, Kodok dan Kancil. Kodok menjadi ustaz dan mengajar di sebuah pondok. Mana mungkin mau aku ajak nyimeng. Bisa-bisa ceramah panjang mengalir dari mulutnya untuk menasihatiku. Sebenarnya aku dan Kodok masih sering bertemu saat ia pulang di hari libur. Di situ ia kerap menceramahiku tentang agama yang kudengarkan lewat kuping kiri keluar kuping kanan. Sedangkan Kancil, menjadi supervisor bengkel di sebuah dealer mobil yang berada di Jakarta. Dan yang keterusan menjadi anak nakal hanyalah aku saja.

Meski sudah terpisah sejak lama dan menjalani hidup masing-masing, hubunganku dengan Kodok dan Kancil tetaplah baik. Setiap lebaran tiba, kami selalu menyempatkan untuk kumpul bertiga. Nostalgia menceritakan masa kecil dulu.

Biasanya dari cerita-cerita pengalaman mereka, aku selalu mengambil pelajarannya. Bukankah setiap cerita terselip sebuah pelajaran tentang hidup? Bahkan dari cimeng pun ada. Ada pelajaran yang kupetik dari sana. Yang berharga harus dijaga dan dinikmati semaksimal mungkin. Dulu aku pernah mencintai seseorang begitu dalam, tetapi dengan mudahnya ia menghianatiku. Dan akhirnya aku putuskan untuk selalu menyimpan rasa cinta ini. Cinta itu sungguh berharga dan harus aku jaga. Kini pacaran buatku tidak perlu lagi berdasarkan cinta, cukup dengan nafsu saja.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Untuk bahasa jawa, bisa tanya melalui komen untuk artinya.

Gotri dan Cerita KenakalannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang