Berawal saat aku masih bocah, rasa itu muncul ketika melihat sekumpulan remaja yang tengah asik merokok sambil berbincang di pos ronda. Mereka terlihat keren, menurutku. Apalagi salah satu di antara mereka ada yang memainkan asap rokok dengan membentuk lingkaran. Ah, sungguh mengasikan kelihatannya.Dari rasa penasaran itu, semua ini terjadi. Tepatnya saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar kelas tiga. Seusia itu, mungkin wajar saja bila aku memiliki rasa penasaran akan hal-hal yang kuanggap keren seperti orang-orang dewasa sering lakukan. Aku juga ingin keren, maka aku harus ikut-ikutan melakukannya.
Aku tidak sendiri dalam melakukan hal keren itu. Ada dua temanku yang sependapat denganku. Baik, aku perkenalkan mereka terlebih dahulu. Agar dengan mudah membayangkan seperti apa mereka atau setidaknya mempermudah dalam mengikuti cerita ini.
Dimulai dari temanku yang paling kecil, namanya Supri, tetapi lebih sering dipanggil Kancil. Oh iya, yang aku maksud paling kecil di sini bukan usianya, melainkan postur tubuhnya. Ia kecil, gesit, lincah, dan larinya paling cepat di antara kami. Kulitnya juga paling gelap di antara kami. Selain itu, rambutnya pun paling berbeda, keriting.
Kedua, namanya Eko, lebih sering dipanggil Kodok. Ia memiliki postur tubuh paling tinggi di antara kami, kulitnya paling putih, matanya agak sipit, tetapi dia seratus persen keturunan Jawa asli, tepatnya Jogjakarta. Makanya ia diberi nama Eko Wardoyo Putro, adiknya bernama Dwi Anggraeni Lestari. Mungkin kelak jika memiliki adik lagi, akan diberi nama Tri, seperti namaku. Dan jika masih punya adik, mungkin namanya Catur, begitu seterusnya.
Begitulah kebanyakan orang tua zaman dahulu dalam menamai anaknya. Tanpa harus ribet dan jauh-jauh ambil dari negeri orang, mereka memberi nama anaknya dengan angka sesuai urutan lahir, nama bulan, atau weton.
Baiklah, kembali ke perkenalan tadi.
Selanjutnya aku sendiri. Namaku Gotri, seperti itu teman-teman memanggilku. Aku anak nakal, kata orang-orang. Sudah cukup itu saja perkenalanku. Nanti juga akan kenal lebih jauh jika saja terus membaca cerita ini sampai habis.
Aku beri catatan penting sebelum melanjutkan membaca ceritaku. Ambillah yang perlu diambil, petiklah pelajaran yang memang bisa dipetik. Buang dan lupakan yang sekiranya tidak perlu. Tidak usah terlalu dipikirkan mengapa aku begini, apalagi meniru kenakalanku.
Baik aku lanjut kembali.
Melihat orang-orang dewasa merokok sambil duduk jegang di teras rumah, merokok sambil main kartu gaple di pos ronda atau merokok sesudah makan, sepertinya begitu nikmat dilakukan. Dan itu keren menurut kami yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Rasa penasaran yang membuat akhirnya kami ingin mencobanya.
Namun seusia kami, mendapatkan sebatang rokok tidaklah mudah. Beli tidak mungkin, minta lebih tidak mungkin. Satu-satunya cara agar kami bisa merokok adalah dengan cara memungut puntung-puntung rokok di mana saja.
Kami bertiga melancarkan aksi dengan berjalan menyusuri jalan-jalan.
Aku bersama kedua temanku mulai mencari puntung rokok yang bersebaran di mana saja. Terutama di jalanan.
Kesadaran masyarakat sepertinya masih kurang, terlihat dari puntung rokok yang begitu banyak berserakan di jalanan. Bayangkan jika kesialan sedang menimpa, kebakaran bisa saja terjadi hanya dari puntung rokok yang dibuang sembarangan. Apalagi di desaku masih begitu asri dengan banyaknya pepohonan yang membuat daun dan ranting kering berserakan di mana-mana.
Semua puntung rokok temuan, kami bawa ke tempat di mana kami biasa bermain. Lokasinya berada di sekolahan. Kami memang sering main di sana karena rumah kami dekat dengan sekolahan, bahkan tempat itu sudah kami anggap sebagai markas besar kami bertiga. Tempatnya ada di sebuah lorong antara tembok pembatas dengan tembok kelas. Di sana juga ada tumpukan beberapa meja dan kursi yang tidak terpakai.
Masing-masing dari kami sudah memilih puntung rokok yang paling panjang. Semua sudah siap untuk mencobanya. Namun ada hal yang mengganjal dan membuat kami seperti anak-anak bodoh. Kami lupa bawa korek.
Ngomong-omong soal rokok dan korek, perokok zaman sekarang memiliki guyonan blubut untuk menyangkal peringatan pemerintah yang mengatakan, rokok dapat membunuhmu. Guyonan blubut itu adalah rokok tidak akan bisa membunuh jika tidak ada korek. Jadi yang berbahaya dan dapat membunuh adalah korek, bukan rokok.
“Kamu ambil korek dulu sana, Cil!” ucapku.
“Iya sana! Kan, rumahmu paling dekat,” lanjut Kodok.
Kancil tidak bisa melawan. Dengan gesit ia berlari untuk mengambil korek di rumahnya. Tidak sampai lima menit, Kancil sudah kembali dengan nafas yang terengah-engah.
“Akhirnya datang juga,” ucapku.
“Iya, datang juga,” lanjut Kodok.
“Mana koreknya?” tanyaku.
“Iya, mana, Cil?” lanjut Kodok.
“Nggak jadi ambil korek,” jawab Kancil.
“Loh, piye to?” ucapku.
“Iya nih. Kan, tadi disuruh ambil korek?” lanjut Kodok.
“Lah nggak boleh sama Simbok,” jawab Kancil.
“Emangnya tadi gimana kok sampai nggak dibolehin sama Simbokmu?” tanyaku.
“Iya, gimana, Cil?” lanjut Kodok lagi.
“Simbok kan lagi gegenen legen di dapur, terus aku bilang mau pinjem koreknya. Terus Simbok tanya, mau buat apa? Ya, aku jawab buat mainan. Terus Simbok malah marah-marah. Ya, aku langsung kabur.”
Aku menepuk jidat yang diikuti oleh Kodok.
“Terus ini nyalahin rokoknya pakai apa?” ucapku.
“Gantian kamu yang ambil ke rumahmu, Tri,” ucap Kancil.
“Iya, Tri,” lanjut Kodok.
Akhirnya si Kodok lah yang pulang untuk mengambil korek karena jarak rumahnya lebih dekat ketimbang rumahku.
Sepuluh menit berlalu. Seharusnya Kodok sudah sampai di tempat kami menunggu. Lima belas menit pun Kodok belum terlihat batang hidungnya. Terpaksa aku dan Kancil menyusul ke rumahnya. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya.
“Jangan-jangan Kodok ...,” ucapku. Lalu kami berjalan menuju rumah Kodok.
“Eko! Eko!” panggilku dan Kancil kompak seperti paduan suara saat upacara. Oh iya, aku lupa. Jangan sekali-kali berani memanggil Eko dengan sebutan Kodok di rumahnya jika tidak ingin kena marah. Pernah suatu hari kami tanpa sadar memanggil nama Kodok, alhasil bapaknya yang keluar dengan wajah garang lalu ngomel-ngomel tidak jelas. Kami pun lari tunggang-langgang karenanya.
Panggilan ketiga akhirnya Kodok keluar. Di depan pintu ia berkata, “Maaf teman-teman, bapakku ternyata ada di rumah, terus aku nggak boleh keluar lagi. Aku disuruh tidur siang.”
Aku dan Kancil hanya bisa menepuk jidat masing-masing. Apa yang aku pikirkan tadi memang benar. Dan begitulah teman kami yang satu ini. Jika ada bapaknya, Kodok harus selalu tidur siang. Itu tidak bisa terbantahkan. Kalau bapaknya sudah berkata A besar, ya harus A besar. Bahkan ditawar menjadi a kecil saja tidak bisa, apalagi membantahnya.
“Terus gimana ini?” ucapku.
“Besok saja sepulang sekolah,” jawab Kodok.
Akhirnya kami menunda acara penting itu sampai keesokan harinya. Puntung rokok pun sudah kami simpan baik-baik di markas. Jadi keesokan harinya kami tinggal bawa korek lalu berpesta asap. Seperti pesta asap dari kebakaran hutan yang kerap terjadi di negara ini dan disebabkan oleh para oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Mungkin memang Tuhan tidak ingin kami melakukan hal-hal yang seharusnya belum boleh kami lakukan, hingga Dia mengatur sedemikian rupa. Menempatkan ibunya Kancil di dapur dan menempatkan bapaknya Kodok di rumah.
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
*jegang = duduk dengan salah satu kaki ditekuk dengan posisi lutut mengarah ke atas.
*"Loh, piye, to?" = "Loh, gimana, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotri dan Cerita Kenakalannya
Teen FictionGotri adalah anak nakal dan kenakalannya sudah dimulai sejak ia duduk di bangku kelas tiga SD. Dari sebuah penasaran, kenakalan itu terjadi hingga keterusan sampai dewasa. Hampir semua kenakalan pernah ia lakukan. Baginya, kenakalan paling puncak...