“Masa depanmu terlahir dari masa lalumu.”
Tidak ada kebiasaan di dunia ini yang terjadi secara tiba-tiba. Apalagi kebiasaan buruk. Semua pasti ada awalnya. Kebiasaan buruk yang aku alami tidak lepas dari kebiasaanku saat kecil. Memang begitu dahsyatnya masa kecil dalam mempengaruhi masa depan. Setidaknya itu yang aku alami sendiri.
Berawal dari tanpa sengaja. Saat aku ingin mengambil penggaris yang dipinjam oleh kakak pertamaku, di kamarnya aku menemukan sebuah buku dengan sampul berwarna merah polos yang tergeletak di tempat tidur. Aku penasaran. Aku ambil dan melihat apa isinya. Betapa terkejutnya aku setelah melihat gambar demi gambar di setiap halamannya. Aku bergegas menaruh buku itu seperti semula karena takut ketahuan kakakku.
Aku keluar dengan perasaan aneh. Perasaan aneh yang akhirnya bermutasi menjadi rasa penasaran. Penasaran dengan isi buku itu yang sejauh aku lihat tadi, hanyalah gambar-gambar saja.
Di lain hari, aku kembali ke kamar kakakku. Aku sempat kecewa karena tidak mendapati buku itu. Namun aku tidak menyerah begitu saja. Aku mulai mencarinya dan menemukan buku itu berada di bawah bantal. Di bibir tempat tidur, aku duduk dan membuka buku itu. Dengan khusuk melihat satu per satu gambar yang ada di setiap halamannya. Meski gambarnya hanya hitam-putih hasil fotokopi, tetapi masih bisa aku lihat dengan jelas setiap bagian tubuh telanjang itu. Bahkan gambar itu membuatku merasakan hal aneh sedang terjadi di dalam celanaku. Di dalam sana kurasakan ada yang mengembang dan mengeras.
Keesokan harinya, saat istirahat, aku menceritakan tentang buku itu kepada dua sahabatku. Namun tidak disangka-sangka, hal itu justru membuat mereka juga ingin melihat gambar itu.
“Ayolah, Tri, aku mau lihat,” rengek Kancil.
“Iya, Tri. Ayo,” lanjut Kodok.
“Tapi aku nggak berani bawa bukunya.”
“Nanti aku kasih duit jajanku,” tawar Kancil.
“Iya, Tri. Nanti dikasih duit jajan Kancil,” ucap Kodok.
“Asu. Duit jajanmu juga dong, masak duit jajanku aja,” kata Kancil kepada Kodok.
“Iya, deh. Duit jajanku juga,” ucap Kodok pasrah.
“Gimana, Tri. Duit jajan kami berdua buat kamu,”
“Hmm ... baiklah. Tapi satu lembar saja, ya?” jawabku.
“Dua lembar lah, kan duitnya juga dua.”
“Iya, Tri. Dua lembar lah.”
“Baik. Tapi inget, duit jajan kalian buat aku. Awas kalau bohong, aku hajar.”
Sepulang sekolah, aku lancarkan aksi mencuri dua lembar dari buku itu. Kebetulan jadwal pulang anak SMA masih lama. Jadi aku bisa leluasa masuk ke kamar kakakku. Tidak susah menemukan buku itu. Buku yang selalu berada di bawah bantal kakakku. Tanpa pikir panjang, aku pilih dua lembar yang memiliki gambar paling bagus menurutku. Yang jelas gambar kelamin wanita dan pria itu terlihat.
Setelah kedua gambar itu di tangan, aku langsung pergi meninggalkan kamar dan menuju ke markas untuk menemui Kodok dan Kancil yang sudah menunggu. Aku tiba di sana dengan melambai-lambaikan kertas yang kulipat itu. Wajah mereka pun sudah tampak semringah.
“Mana uang kalian?” ucapku lalu Kodok dan Kancil menyodorkan uang mereka masing-masing. Setelah uang berada di tanganku, aku sodorkan juga kertas yang memiliki efek dahsyat bagi sesuatu yang bersemayam dalam celana.
Mereka menyambarnya lalu membuka kertas yang kulipat itu. Mereka saling bergantian melihat kertas bergambar manusia tanpa pakaian sehelai pun. Sungguh lucu wajah mereka saat melihat kertas itu. Matanya seolah-olah tidak berkedip saking fokusnya.
“Dok, ini liat, anunya masuk,” ucap Kancil dengan wajah yang sangat gembira.
“Wow ...,” kagum Kodok.
Melihat mereka yang masih asyik, pikiran jahilku muncul. Kudekati mereka. Setelah kurasa sampai untuk menggapainya, seketika kupegang pisang mas milik mereka. “Wah! Ngaceng kabeh,” ucapku langsung berlari menjauh dari mereka.
“Asu koe, Tri.” Suara itu terdengar dari kejauhan.
Aku tertawa puas sambil meninggalkan mereka. Entah setelah itu mereka berbuat apa berdua.
Sebenarnya tanpa dorongan uang jajan mereka, aku tetap melakukannya. Apalagi sudah sejak lama, bisa dibilang aku sudah gemar mencuri. Bukan perkara sulit memang mencuri sesuatu dari dalam rumahku sendiri.
Seharusnya menurut buku cerita, si Kancil yang pandai mencuri, tetapi kenyataannya tidak. Julukan Kancil hanyalah karena Supri itu gesit dan lincah. Bahkan Kancil tidak mau mencuri jika tanpa aku. Sungguh aku anak pembawa keburukan. Itu aku akui. Namun mereka tidak protes.
Sudah banyak barang yang aku curi, tetapi ada satu barang yang tidak pernah aku curi. Aku tidak berani untuk mencurinya meski benda itu sangat mudah aku curi jika mau. Pikiranku mungkin sudah terdoktrin oleh berita bahwa yang mencuri uang akan dibakar warga. Jika bernasib sedikit baik mungkin hanya dibuat babak belur oleh warga lalu dipenjara. Maka dari itu aku hanya mencuri barang atau mainan saja.
Pernah suatu ketika, saat aku, Kancil dan Kodok bermain di halaman kantor kecamatan. Aku melihat mangga yang begitu ranum dan menggoda. Timbul hasratku untuk memakannya.
“Makan mangga, yuk?” ajakku kepada kedua sahabatku.
“Memangnya kamu punya mangga?” tanya Kancil.
“Iya, di rumah kamu ada mangga?” lanjut Kodok.
“Nggak.”
“Lah, terus?”
“Iya, terus?”
“Itu ada mangga.” Aku menunjuk pohon mangga yang berada di dalam sekolahan.
Jadi seperti ini. Kebetulan kantor kecamatan dan sekolahan kami itu bersebelahan, hanya dibatasi oleh tembok. Jadi aku masih bisa melihat mangga-mangga itu menggantung di pohonnya yang berada di area sekolahan.
Sejak kecil, sepertinya aku memang sudah pandai menjadi provokator. Bagai mana tidak, setiap ajakan, akhirnya tidak ada yang mampu menolaknya. Khususnya bagi Kancil dan Kodok. Bisa jadi mereka takut karena pernah aku jotos saat menolak ajakanku.
“Terus caranya, gimana?” tanya Kancil.
“Iya, gimana? Pohonnya kan tinggi, aku takut kalau harus manjat,” ucap Kodok.
Aku ajak mereka untuk mencari amunisi di sekitar halaman kecamatan. Setelah terkumpul, aku lancarkan aksi tersebut. Kebetulan Minggu, jadi kecamatan mau pun sekolahan sedang tidak ada orang. Tidak ada penghalang lagi bagi kami untuk melakukan pencurian mangga.
Aku menjadi orang pertama yang melakukannya. Batu pertama aku lempar setelah menargetkan satu mangga yang terlihat paling dekat.
Batu pertama meleset dari sasaran. Mengenai batang dan hanya membuat mangga itu bergoyang-goyang saja seperti mengejekku.
Kini batu kedua. Setelah mengambil posisi dan mata yang aku sipitkan sebagai tanda konsentrasi pada satu titik sasaran, sekuat tenaga aku melemparkan batu sembari mengucap kata dalam hati, “Bismillah! Semoga kena.”
Batu itu melesat dengan cepat, begitu lurus dengan mangga yang aku tuju. Dalam hati aku terus mengucap kata-kata, “Kena, kena, kena!”
Dan memang benar, batu itu mengenai mangga yang aku incar. Mangga itu pun jatuh.
“Asik, kena!” sorakku kegirangan. “Sekarang giliran kalian. Mau siapa dulu?”
“Aku dulu,” ucap Kancil.
Batu pertama ia lempar. Kancil memang sangat jitu, sekali lempar langsung mengenai mangga yang diincarnya. Namun sepertinya lemparan batu itu begitu lemah hingga tidak mampu membuat mangga tersebut jatuh. Hanya bergoyang-goyang saja.
“Lemparnya kurang bertenaga, Cil,” ucapku.
“Iya, Cil,” timpal Kodok.
Kancil mengulanginya lagi. Dengan sekuat tenaga, ia melempar batu itu. Lemparannya bersamaan dengan kata “Bismillah!” yang terdengar sangat keras. Batu itu melesat dengan cepat, tapi jauh dari sasaran.
Pyar!
Suara kaca pecah itu terdengar keras dan membuat kami bertiga hanya saling pandang. Tidak lama setelah itu, kami pun berlari untuk bersembunyi, takut jika ada seseorang yang tahu.
Keesokan harinya satu sekolah heboh karena pecahnya kaca kantor kepala sekolah beserta batu yang tergeletak di lantai. Saat upacara bendera, sang pemimpin upacara pun membahas masalah tersebut dalam pidatonya. Kami bertiga pun saling pandang dan pura-pura tidak tahu. Dan tidak ada satu pun yang tahu bahwa kamilah pelaku yang mengakibatkan kaca itu pecah.☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Terima kasih telah membaca sampai sejauh ini.
Memang tidak mudah untuk menulis sampai bab 10 ini, tapi dukungan dari kalian yang mampu mumbuatku terus menulis tentang Gotri yang nakal.
Tetap bijak dalam membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotri dan Cerita Kenakalannya
Teen FictionGotri adalah anak nakal dan kenakalannya sudah dimulai sejak ia duduk di bangku kelas tiga SD. Dari sebuah penasaran, kenakalan itu terjadi hingga keterusan sampai dewasa. Hampir semua kenakalan pernah ia lakukan. Baginya, kenakalan paling puncak...