Mentik Wangi

282 14 35
                                    

Pengkhianatan cinta membuatku tidak bisa mencintai seseorang lagi. Bukan trauma, lebih tepatnya sudah muak dengan yang namanya cinta. Tanpa cinta pun aku sudah bisa mendapatkan pacar dan bisa melakukan apa saja yang aku sukai.

Suatu ketika, aku tanpa sengaja berkenalan dengan seorang wanita. Ia teman kerja teman sekolahku waktu SMP dahulu. Namanya Melati. Seperti namanya, ia berkulit putih dan selalu tercium aroma parfum yang sangat kuhafal sampai sekarang. Parfum aroma dosa, aku menyebutnya.

Beberapa tahun lalu.

Hampir satu tahun lamanya, aku selalu mencium aroma tersebut. Wajar saja bila aromanya begitu menempel dalam ingatanku. Namun sampai sekarang, aku tidak pernah tahu merek parfum tersebut.

Aku baru saja putus dari pacarku yang kesekian, aku tidak tahu tepatnya yang ke berapa, sebab aku memang sering gonta-ganti pacar setelah merasa bosan dan tidak pernah menghitungnya. Jangan berpikir aku orang yang tampan, wajahku hanya pas-pasan saja, tidak tampan juga tidak jelak. Hanya saja, aku merasa, anak nakal justru akan mudah mendapatkan seorang wanita. Mungkin di situlah pesona lelaki itu akan keluar atau memang kebanyakan wanita suka dengan lelaki nakal.

Di sebuah tongkrongan langgananku, aku duduk hanya berteman segelas minuman dan rokok lalu seorang perempuan menghampiriku. Sebenarnya perempuan itu sudah ada di sana sejak aku datang, tetapi entah mengapa baru menghampiriku setelah aku duduk di sini selama tiga puluh menit. Melihat dari wajahnya, aku pastikan perempuan itu lebih muda dariku, aku tebak usianya sekitar dua puluh atau dua puluh satu tahun.

“Boleh pinjam bolpennya, Mas?” ucap perempuan itu. Sepertinya ia memang memperhatikan aku sedari tadi hingga bolpen di saku kemejaku pun terlihat olehnya. Entah ini kebetulan atau memang sudah diatur oleh alam, biasanya tidak pernah aku membawa bolpen saat nongkrong, tetapi kali ini tanpa sengaja aku memakai kemeja yang biasanya aku pakai untuk kerja dan bolpen itu masih nyangkut di saku.

“Ini, silakan.” Lalu ia kembali ke mejanya.

Lima belas menit berlalu, perempuan itu datang untuk mengembalikan bolpenku.

“Sudah selesai?” tanyaku basa-basi.

“Sudah. Terima kasih.”

Aku tersenyum padanya.

“Sendirian saja?” tanya perempuan itu kemudian.

“Ya, seperti yang kamu lihat.”

“Aku Mentik Wangi,” ucapnya sambil menyodorkan tangan.

Aku raih tangan itu. “Aku Tri Atmodjo.”

“Boleh duduk di sini?”

“Silakan.”

Lantas ia duduk di depanku setelah sebelumnya ia sempat mengambil gelas minumannya. 

“Nama kamu unik, kayak beras,” ucapku membuka sebuah obrolan.

Ia tersenyum manis. “Terima kasih. Ayahku seorang petani. Jadi ya seperti ini, aku dinamai Mentik Wangi.”

“Kalau begitu aku tahu siapa nama saudara laki-lakimu.”

“Siapa?”

“Rojo Lele.”

Sontak ia tertawa terbahak-bahak setelah mendengar apa yang aku ucapkan. Mungkin ini sangat lucu baginya. Tetapi sebenarnya bukan niatku untuk melucu, hanya saja berpikir jika ayahnya menamai semua anaknya dengan nama beras, dan nama itu yang cocok buat anak lelaki.

“Sayangnya, aku nggak punya saudara cowok. Saudaraku cewek.” Di sela-sela ia tertawa.

“Hmmm, kalau cewek berarti namanya ...,” Aku terhenti sejenak, mengingat-ingat nama yang ada hubungannya dengan beras. “Menir?”

Gotri dan Cerita KenakalannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang