Elodie Psyche Elleanor.
Violinis muda dengan nada sempurna yang berhasil menggetarkan dunia musik. Putri kedua dari Nathanael Elleanor dan Diana Daville, serta cucu kesayangan Darel Daville sebagai kepala keluarga.
Perempuan yang berhasil membawa nama Elleanor dan Daville naik hingga ke London Symphony Orchestra di usianya yang masih lima belas tahun.
Bukan sesuatu yang begitu mengagetkan sebenarnya. Karena Elodie lahir dan tumbuh di keluarga yang banyak melahirkan orang-orang hebat di bidang seni.
Kepala keluarganya saja, Darel Daville.
Adalah seorang arsitek terkemuka di London. Tidak jarang dia menggarap mansion atau kastil untuk orang-orang kalangan atas sejak usianya masih menginjak dua puluh tujuh tahun.Sedang ayahnya, Nathanael Elleanor. Adalah seorang konduktor musik, salah satu yang terbaik di Eropa tentunya. Lalu ibunya, Diana Daville, adalah seorang designer dengan nama yang sama besarnya.
Elodie sendiri adalah seorang Violinis. Dia memainkan biola sejak berusia tujuh tahun. Itu bukan suruhan atau paksaan dari keluarganya, menjadikan biola sebagai dunianya adalah pilihan Elodie sendiri. Ia sudah melewati berbagai kompetisi di beberapa negara dengan kakaknya sebagai pengiring.
Kakaknya sendiri seorang Pianis, hanya sebagai hobi, tidak sampai ikut kompetisi tunggal atau apapun semacamnya. Karena ia sendiri lebih tertarik pada seni lukis. Tapi jika hanya menjadi pengiring adiknya, dia akan melakukannya dengan senang hati.
Satu hal yang menjadi ciri khas Elodie di atas panggung. Ia lebih banyak memainkan lagu milik Chopin sebagai persembahan.
Tidak ada alasan khusus. Elodie hanya menyukai Chopin. Dan mencintai banyak sekali karyanya.
Menurut Elodie, musisi asal Polandia tersebut memiliki rasa tersendiri saat memainkan setiap not pada semua musiknya. Emosi yang ada pada setiap karyanya rasakan seolah menyebar pada diri Elodie dengan sempurna.
Elodie selalu mencintainya, bahkan saat ia tidak benar-benar memainkan lagunya dengan benar.
"Cinta Chopin benar-benar kembali."
Elodie menjauhkan bow dari biola. Matanya terbuka begitu menyadari ada orang lain di ruangan kedap suara tempatnya berdiri. Mendengarkan permainannya yang mengisi lengang entah sejak kapan.
Dia tersenyum tipis. "Berantakan sekali bukan?" Katanya, menggantung biola di dinding bersama tiga biola lain, lantas menduduki kursi piano di tengah ruangan.
Lelaki itu menggeleng pelan. "Itu cantik."
"Jangan berbohong."
Kelvin mendekatinya. Ia duduk di sisi lain kursi piano dan membuka penutup dari alat musik itu.
"Tiga hari lagi kau akan berangkat. Benar?"
Elodie bergumam. Mengamati bagaimana Kelvin mulai membalik buku note di atas piano dan mulai menekan tuts saat menemukan lagu yang dicarinya. Dua detik kemudian, lengang kembali terpecahkan.
Memperdengarkan melodi pengiring dari lagu yang baru saja Elodie mainkan.
"Apa kau mencoba menghiburku?"
Kelvin terkekeh. "Untuk apa menghibur seseorang yang tidak ingin diganggu."
Elodie tersenyum tipis.
Melodi terus mengalun, Piano yang entah kapan terakhir mengiringi biola Elodie itu akhirnya kembali dibunyikan. Oleh orang yang berbeda.
Tapi walau begitu, Elodie tetap memejamkan mata menikmati. Karena setidaknya, tidak peduli seberapa banyak pikiran yang berkecamuk mengganggu di benaknya, mereka tetap indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction"Helena, jika cinta adalah tentang kebahagiaan dan kesedihan. Lalu kenapa kita selalu memainkan bagian sedihnya?" Helena tersenyum samar mendengar pertanyaan adiknya itu, dia mencium aroma bunga peony putih di depannya lantas menjawab. "Karena untuk...