Hari pertama sekolah.
Tepat pada pukul tujuh lewat empat puluh menit Elodie melangkahkan kakinya pada ruang kelas yang mungkin akan ia tempati selama beberapa waktu.
Tidak ada yang begitu istimewa. Hanya decak dan gumam kagum yang Elodie dengar begitu ia memperkenalkan diri dan mengatakan dari mana ia berasal.
Well, seseorang dari tempat berbeda cenderung menarik perhatian bukan?
Elodie memilih duduk di kursi paling belakang dekat jendela yang menghubungkan ke halaman sekolah. Menyambut satu persatu anggota kelas yang mulai mengajaknya bicara setelah menyebut nama mereka masing-masing.
Hanya sebentar, sebelum guru bahasa Indonesia di dekat papan tulis menginterupsi untuk kembali fokus pada pelajaran. Elodie tersenyum tipis. Sepertinya guru berkemeja biru muda itu kesal jam pelajarannya terganggu oleh kedatangannya.
SMA Wismagama.
Salah satu sekolah paling favorit di Jakarta, sekolah dengan empat tingkat yang didominasi oleh warna merah bata. Lengkap dengan dua lapangan basket dan taman yang luar biasa luas. Sekolah dengan fasilitas yang lengkap.
Elodie membutuhkan sebuah tes dan proses cukup panjang untuk bisa pindah ke sekolah ini. Mengambil jurusan bahasa setelah ia mati-matian belajar sistem pendidikan di negara tempatnya kini tinggal.
Setidaknya, dia bisa mengerti sebagian besar dari apa yang guru jelaskan di papan tulis tanpa melihat kamus atau google translate di ponselnya.
"Bagaimana hari pertamamu?"
Elodie mengempaskan tubuhnya ke sofa ruang tengah. Memilih untuk bersantai dengan satu botol aqua dingin alih-alih mengganti baju dan membersihkan diri terlebih dulu.
Sistem full day di sekolah itu belum membuatnya terbiasa. Ditambah dengan udara panas asing yang menyiram kulitnya sepanjang hari.
"Hanya begitu. Memang apa yang kau harapkan," jawabnya.
Jerico mendudukkan dirinya di sofa seberang Elodie. "Sesuatu seperti teman baru?"
Elodie meliriknya. "Tidak ada yang seperti itu."
Jerico mendesah berat. "Kau ini anti sosial atau bagaimana."
"Memangnya kau punya teman?"
"Tentu saja aku punya!"
Elodie memilih abai. Matanya terasa berat. Dia lupa semalam tidur pukul berapa setelah menggesek biolanya sejak pukul sepuluh malam. Jerico tidak tau, itu jelas. Karena jika ia tau, lelaki itu pasti akan mengoceh panjang lebar dan mengancam akan mengadu pada Kelvin atau kakeknya.
Untuk bagian ini, Elodie hafal di luar kepala.
"Kau tidak masalah menggunakan kendaraan umum ke sekolah? Mau bersamaku mulai besok?"
Elodie terdiam sebentar. "Tidak perlu, aku cukup menikmati perjalanan menggunakan kendaraan umum."
Jerico hanya mengangguk. Sebenarnya, mengingat Elodie yang diperlakukan bak tuan putri di manor. Dia cukup kaget bahwa adiknya ini tidak melayangkan protes soal kendaraan umum.
"Mau kemana?" Tanya Jerico saat Elodie mendadak bangun dan membawa tasnya kembali ke pundak.
"Tidur."
Jerico hanya mengangguk singkat sebagai balasan.
"Tolong bangunkan aku jam sembilan nanti, hubungi saja kalau kau di luar. Terima kasih," pinta Elodie.
"Mau kemana lagi?"
"Latihan."
Jerico terdiam mengamati punggung Elodie yang mulai menjauh. Entah kenapa dadanya terasa sesak saat Elodie mengatakan dia ingin latihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction"Helena, jika cinta adalah tentang kebahagiaan dan kesedihan. Lalu kenapa kita selalu memainkan bagian sedihnya?" Helena tersenyum samar mendengar pertanyaan adiknya itu, dia mencium aroma bunga peony putih di depannya lantas menjawab. "Karena untuk...