"Ini adalah hal paling bodoh yang pernah kudengar."
Elodie mengerjapkan mata. Memutus pengamatan pada ruang mewah di depannya hanya untuk menatap seseorang yang tengah berdiri di sebelah sofa ruang tamu.
Lelaki itu menyenderkan pinggang ke punggung sofa setelah meletakkan koper Elodie di dekat sana.
"Nona Elodie Elleanor memutuskan hidup di Indonesia?"
Elodie membawa langkahnya memasuki ruang tamu. Kembali menyusuri bagaimana tempat pilihan kakeknya yang akan ia tinggali selama satu tahun ini.
"Benar. Biasakan mengucapkan selamat pagi untuk sapaan mulai besok," jawabnya ringan. Melewati tubuh saudaranya untuk melihat ruang tengah yang terlihat jauh lebih mewah.
"Untuk kekonyolanmu itu? Tidak mau."
Elodie terkekeh. Dia yakin Jerico akan menjadi orang yang kesekian kalinya berkata panjang lebar soal nama barunya. Dan seperti yang sebelum-sebelumnya, ia hanya akan menanggapi dengan tawa.
"Kenapa melakukan itu?"
"Apa?"
"Meninggalkan manor."
Elodie membalikkan badan. Menangkat dua sudut bibirnya samar mendapati bagaimana wajah Jerico yang seolah menginginkan Elodie menjawab persis seperti apa yang ada di kepalanya sekarang. "Pastikan dulu kau percaya padaku sebelum menanyakan itu."
Jerico mendengus. "Aku bukan Kelvin," katanya.
Elodie terkekeh lagi. Kembali membawa langkahnya menyusuri rumah lebih dalam.
Dia berseru kagum begitu netranya menangkap dinding kaca besar terpampang di ruang tengah. Membuatnya bisa melihat pemandangan entah malam atau siang dari berbagai sudut ruang tengah dan meja makan. Lengkap dengan interior yang didominasi oleh warna putih dan pastel.
"Griya tawang ini tidak buruk."
"Tentu saja. Itu karena kakek dan ayah memilih langsung tempat ini untuk tuan putri kita tinggal," sahut Jerico, setengah mengejek.
Elodie tertawa. "Minta pada kakek jika kau iri padaku."
Lelaki itu mendecih. Memilih untuk tidak lagi mendebat dan hanya mengamati Elodie di sudut ruangan.
Jerico Agathias Daville.
Satu lagi anggota keluarga yang berada di usia sama dengan Elodie. Jarak kelahiran mereka hanya terpaut dua minggu dengan Jerico yang lebih tua.
Berbeda dengan keluarganya yang lain. Jerico dan kedua orang tuanya memilih untuk keluar dari kediaman Daville dan tinggal di Indonesia saat mereka masih berusia empat tahun. Sean— ayah Jerico yang seharusnya menjadi penerus keluarga Daville karena ia merupakan anak pertama, rela melepaskan posisi tersebut untuk hidup terpisah dari keluarga besarnya dan memilih tinggal menyendiri di negri asing.
Jerico memiliki satu kakak laki-laki dengan usia terpaut lima tahun. Dia menetap di London bersama keluarga besarnya sejak enam tahun lalu untuk menempuh perguruan tinggi. Tapi karena ia adalah cucu pertama dari Darel Daville. Lelaki itu jelas ditunjuk langsung oleh kepala keluarga untuk menjadi penerusnya suati hari nanti. Menggantikan ayahnya.
Yang entah bagaimana, dia hanya mengangguk setuju tanpa bicara banyak. Mungkin sejak awal keberangkatannya ke Britania Raya ia sudah tau, tanggung jawab besar itu akan menjadi miliknya. Dan mungkin, itu memang passion yang ia tekuni sejak awal.
Jonathan Daville. Pewaris sah keluarga Daville saat ini, yang tengah menempuh S2 di tanah kelahiran pria itu.
Elodie pernah mengunjungi negara ini untuk berlibur. Sekitar lima tahun yang lalu. Hanya untuk sekedar menikmati kota yang jauh lebih sibuk dari London untuk satu minggu bersama dua saudaranya yang lain. Mungkin karena ini juga, Darel Daville dan Nathanael Elleanor dengan mudah mengizinkan Elodie kembali ke tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction"Helena, jika cinta adalah tentang kebahagiaan dan kesedihan. Lalu kenapa kita selalu memainkan bagian sedihnya?" Helena tersenyum samar mendengar pertanyaan adiknya itu, dia mencium aroma bunga peony putih di depannya lantas menjawab. "Karena untuk...