6. Your Throne

71 12 2
                                    

Seperti Athena yang menunjukkan cintanya dengan mengutuk Medusa, tuhan pun memberimu anugrah ini karena dia sangat menyayangimu.
~Kelvin Daville

Kelvin, tidakkah kau melupakan sesuatu? Aku bukan Medusa dan dia bukan Athena.
~Elodie Psyche Elleanor

***

Membunuh adalah dosa, itu hukum tuhan. Tapi jika itu tidak di sengaja, antara hukuman dan kutukan, mana yang akan diterima sebagai balasan?

Jika mata dibalas mata, hati dibalas hati, dan nyawa dibalas nyawa. Apakah hati yang mati cukup setimpal untuk membayar nyawa yang telah hilang?

"Luka akan sembuh seiring berjalannya waktu."

Benarkah? Bukankah itu hanya omong kosong? Orang yang bisa mengucapkan kalimat itu adalah orang-orang yang belum pernah terluka sedemikian rupa sebelumnya.

Karena pada dasarnya, hukuman paling berat bagi manusia adalah waktu.

Untuk pertama kalinya, Elodie merasa hampa ketika membuka pintu dari satu-satunya ruangan bertema ivory di kediamana Daville. Perasaan antusias ketika melihat ruangan kedap suara itu berubah kosong dalam satu malam.

Kakinya tetap berada di ambang pintu, ekor matanya menyapu seluruh ruangan yang sudah akrab dengan hidupnya secara seksama.

Piano berwarna hitam dengan corak emas berada tepat di tengah-tengah ruangan menjadi objek pertama yang dilihatnya. Diikuti dengan lima biola yang berjejer rapi di dinding sebelah kanan, dan beberapa gitar tergantung di sebelahnya. Satu harpa di sisi ruangan lain berdiri sempurna dengan cello di sisinya.

Lalu satu rak buku dengan tiga tingkat di sudut ruangan yang cukup tersembunyi berisi buku-buku not.

Perlahan, rasa sakit itu mulai menguasainya. Lagi.

Masih dengan gaun panjang hitam polosnya, Elodie memasuki ruangan itu. Berjalan menuju piano kesayangannya di tengah ruangan, menyentuhkan tangannya pada permukaan piano yang terasa dingin. Mengusapnya perlahan lalu duduk tegap dan menginjak satu pedal di bawah kakinya.

Denging samar yang sejak tadi bersemayam di telinganya mendadak terdengar lebih keras. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya mulai mengabur. Mencoba mengabaikan semua itu, Elodie menarik napas panjang dan memejamkan mata sejenak.

Perempuan berusia lima belas tahun di sana mulai menekan tuts piano dengan hati-hati, mencoba memainkan satu bait lagu yang sudah ia hafal di luar kepala.

Selanjutnya, dentingan demi dentingan yang ada mulai memecah lengang.

Masih tiga puluh detik bermain, telinganya berdenging lebih keras, dia meringis merasakan sakit tapi tidak menghentikan tarian jarinya di atas piano.

Di atas semua melodi yang mengalun, dengingan itu semakin menggila. Terlampau gila hingga mulai menimbun segala suara yang ada, bahkan suara indah dentingan piano yang perlahan terdengar samar.

Apa-apaan? Apa piano ini rusak? Tapi kenapa telingaku sakit sekali?

Elodie melirik tangannya yang jelas-jelas masih menekan tuts, merasakan bagaimana dengingan di telinganya mereda sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya semua gangguan itu hilang, bersamaan dengan lengang yang telah menggantikan semua suara kehidupan yang ada di sekitarnya.

Dada Elodie berdegup kencang. Ruang musik kebanggaannya itu mendadak sunyi dan pengap.

Perempuan itu panik, dia mulai ketakutan. Napasnya tidak teratur bersamaan dengan tangannya yang mulai bergetar. Elodie segera menghentikan permainannya dan menjauh dari piano.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang