5. Her Identity

71 12 4
                                    

Elodie melonggarkan dasi di leher. Satu tangannya bergerak aktif dengan tempo cepat. Sedang kakinya terus berlari tanpa peduli peluh mulai membasahi punggungnya. Rahangnya mengeras dengan mata yang terus menyorot tajam.

Ini sudah jam ketiga tapi moodnya benar-benar buruk sejak berangkat sekolah. Dia bersyukur karena sekarang para guru sedang rapat, atau ia akan menghadapi segala rumus matematika selama dua jam dan membuat suasana hatinya semakin berantakan.

Saat di jalan tadi, ada anak kecil yang menumpahkan cake coklat di rok dan sepatunya, membuat seragamnya kotor bahkan sebelum sampai di sekolah. Sebenarnya itu bukan masalah besar, dia bisa membersihkannya nanti.

Tapi yang membuatnya kesal setengah mati adalah, saat ibu dari anak kecil itu memarahinya karena cake coklat anaknya tumpah, dia menuduh Elodie sengaja menumpahkan cake itu karena ingin.
Orang di sekitarnya berusaha menjelaskan apa yang terjadi, tapi ibu-ibu itu tetap kukuh dengan pendiriannya seolah tuli, dan tuduhannya terhadap Elodie semakin menjadi-jadi tidak peduli dimana mereka berada.

Mungkin sudah sekitar lima menit orang itu terus berteriak membuat Elodie lebih berusaha menahan dirinya agar tidak menapar orang ini tiba-tiba. Sampai akhirnya anak kecil tadi menangis dan ibu itu berhenti bicara. Mungkin dia malu karena Elodie tidak menjawab perkataannya sedikitpun dan hanya menatap orang itu dengan malas sepanjang ocehannya.

Padahal sejak beberapa hari lalu, Elodie sudah berniat berangkat sekolah menggunakan kendaraan umum agar bisa mengunjungi banyak tempat di Jakarta sepulang sekolah. Tapi karena kejadian tadi, sudah dipastikan rencananya tidak akan terlaksana.

BRAKK!!!

Elodie melempar bola kearah ring sekuat tenaga, menciptakan suara keras dobrakan antara bola dan ring hingga benda bundar itu terpental jauh dan masuk ke daerah lawan. Dia diam di tempat, napasnya memburu tapi emosinya belum juga mereda.

Sudah lima belas menit dia bermain basket sendirian untuk melampiaskan amarah. Hingga ruangan yang awalnya terasa dingin itu lembap oleh emosinya sendiri.

"Kalau ring itu roboh, aku yakin kamu pelakunya."

Elodie menoleh. Mencari tau siapa yang baru saja mengganggunya dari arah pintu masuk lapangan indoor.

Matanya menyorot tajam. Tapi begitu menyadari siapa pemilik suara serak tadi, pandangannya perubah. Dia berusaha bersikap normal agar tidak melampiaskan emosinya pada orang yang bahkan tidak ia kenal.

"Sedang apa di sini?" Suara serak itu kembali terdengar.

"Main basket."

"Sudah izin?"

"Harus?"

Lelaki yang sudah berdiri di depan Elodie itu tidak mengatakan apapun. Dia menatap lekat dua netra Elodie cukup lama. Di depannya, Elodie melakukan hal yang sama.

Iris berwarna cokelat hangat, dengan kelopak mata ganda dan alis yang tebal. Bentuk wajah khas orang Asia Tenggara yang tidak lagi asing di mata Elodie.

Lelaki itu terlihat menahan napas. Dia bisa melihat mata hitam pekat milik Elodie memancar angkuh. Menatapnya seolah apapun yang ia lakukan setelah ini, pekat itu bisa menghadapi semuanya.

Sejenak, ia tertegun. Mata ini indah, tapi entah kenapa terkesan dingin dan kosong.

"Aku kapten basketnya, kalo mau main, kamu harusnya izin dulu," katanya.

"Akan kulakukan lain kali."

Lelaki itu gelagapan. Pandangannya beralih pada jas almamater Elodie yang terikat di pinggang.

"Itu almamater kenapa di pinggang?"

"Untuk memudahkanku bermain, tentu saja."

Lelaki itu menganggukkan kepalanya beberapa kali, mengerti akan maksud Elodie barusan. Perempuan itu mengantisipasi agar pahanya tidak terekspos lebih banyak saat berlari dan melompat. Mengingat sependek apa rok sekolah mereka yang berada tepat di atas lutut.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang