Elodie dan Jerico lolos tahap pertama.
Dari enam peserta yang telah memasuki final. Nama Elodie ada pada urutan kelima.
Perempuan itu memejamkan mata, tangannya mencengkeram biola sedikit erat.
Sejak awal, permainannya memang terlalu kosong.
Jerico di sampingnya melirik sekilas. "Puas dengan ini?"
"Mana mungkin."
Saat dua iris hitam itu kembali tampak, Jerico tau, sesuatu dalam diri saudarinya tengah memanas. Dia marah.
Jerico tidak lagi mengeluarkan kata. Laki-laki itu tidak tau apakah ia harus khawatir atau justru senang melihat Elodie tengah menatap tajam papan pengumuman yang berisikan namanya.
Sejak awal Elodie bergabung dalam dunia musik dan mengikuti kompetisi, namanya selalu berada pada urutan tiga teratas. Tapi kini, melihat hasil yang berbeda, Jerico tidak yakin bagaimana menyebutnya, tapi sepertinya Elodie merasa harga dirinya telah memiliki retakan.
Memutuskan untuk berhenti menatap papan pengumuman, Elodie memutar badan masih dengan perasaan gusar.
"Kita pulang."
***
"Kamu mau ring itu roboh?"
Bola yang semula memantul dengan ritme cepat melalui lantai dan tangan Elodie mendadak berhenti ketika suara yang mulai akrab itu menyapa. Dia mengalihkan pandangan dan menatap Gara yang berjalan menghampirinya dati arah pintu masuk.
Laki-laki itu datang dan meletakkan buku yang ia bawa di kursi tunggu para pemain, mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan untuk dikirimkan pada seseorang.
Selesai dengan ponselnya, Gara meletakkan benda pipih itu di atas buku tadi, tangannya bergerak melepas jas almamater dan menyampirkannya ke kursi, menyisakan kemeja putih dengan dasi yang terikat longgar di lehernya.
Elodie terus mengawasi gerak-gerik tersebut tanpa mengatakan apapun. Hingga laki-laki itu menghampirinya dan mengulurkan satu tangan. Meminta bola yang tengah ia pegang.
"Apa?" Tanya Elodie.
"Nantang main," ujar Gara lalu mengambil bola yang ada di tangan Elodie.
Gara berjalan menjauh, dia mulai memantulkan bola ke lantai beberapa kali, melakukan hal yang sama dengan yang si perempuan lakukan tadi.
"Main basket itu lebih seru kalau ada lawannya, kamu tidak tau?"
Elodie tetap geming.
Merasa tidak ada jawaban, Gara menatap Elodie lagi. Laki-laki itu mendadak melempar bola sedikit keras ke arah perempuan itu, menciptakan reflek dari tangan Elodie untuk melindungi perutnya yang hampir terkena bola.
"Kenapa? Takut?" Tanya Gara meremehkan.
Elodie menyeringai.
Dia pikir dia siapa?
Selanjutnya, tanpa mengatakan apapun lagi, tangan Elodie kembali bergerak memainkan bola dan menggiringnya ke ring.
Tapi belum sempat ia melempar bola, Gara lebih dulu merebut bola itu dan membawanya ke arah lawan. Elodie yang kaget segera memutar badan.
Tapi terlambat, Gara mencetak satu poin lebih dulu.
Darah Elodie mulai mendidih saat menyadari Gara tengah menatapnya remeh. Emosi yang tengah ia pendam sejak semalam mendadak muncul ke permukaan. Tubuhnya benar-benar terasa panas.
Saat ingin mencetak satu poin lagi, bola berpindah tangan, Elodie membawanya ke arah ring dan mencetak poin. Persis seperti yang si laki-laki lakukan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction"Helena, jika cinta adalah tentang kebahagiaan dan kesedihan. Lalu kenapa kita selalu memainkan bagian sedihnya?" Helena tersenyum samar mendengar pertanyaan adiknya itu, dia mencium aroma bunga peony putih di depannya lantas menjawab. "Karena untuk...