Arden berjalan dengan langkah yang hampir terseok-seok. Tujuannya hanya berjarak kurang dari dua meter di depannya. Tapi langkahnya terasa sangat berat dan lamban. Selain karena perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja, pula karena setelah setahun lebih akhirnya Arden memiliki keberanian untuk menghadap Mamanya.
Membaca nisan bertulisan Aninda yang kini ada di hadapan membuat Arden tersungkur dan ia meringkuk seolah ingin mendekap bayangan Mama yang selama ini dirindukan. Rasanya seperti kembali ke masa paling menyakitkan dalam hidupnya. Arden punya dua sosok wanita paling membahagiakan dalam hidupnya dulu. Pertama Mamanya. Kedua pacar pertamanya, Bianca. Tapi keduanya terenggut secara bersamaan dalam hidupnya.
"Maa." Arden mulai menemukan suaranya dan mencoba berbicara di hadapan nisan Mama, walau dengan nada suara terbata Arden mampu mengungkap betapa rasa bersalah telah menggerogoti dirinya selama ini. "Maafin Arden karena baru nengok Mama. Aku tau Mama pasti sedih banget, Mama kesepian jauh dari aku, dari kita semua."
Berbicara tentang Papanya, alasan Arden ada di Bandung hari ini bahkan tanpa menjelaskan kepada Shilla lantaran ajakan Papa yang mengatakan ingin ke makam Mama. Ia tentu saja setuju karena sejak kejadian setahun silam itu, ia sudah berusaha menyiapkan diri untuk ke makam Mama, ia juga sudah berusaha untuk menerima yang terjadi. Tanpa ada embel-embel kata seharusnya atau andai saja.
Seharusnya begini, seharusnya begitu, andai saja begini, andai saja begitu. Arden sudah muak berandai-andai, seolah dia belum siap ditikam oleh kenyataan. Nyatanya memang kehidupan tidak berjalan sesuai keinginannya, seberusaha apapun Arden berandai-andai tetap tidak akan mengubah apapun. Mama tetap pergi dan kepercayaannya pada Bianca juga telah hancur lebur.
"Maaf karena aku yang minta Papa buat makamin Mama di sini. Jauh dari kita semua. Aku-aku, minta maaf, Ma." Arden kesulitan berbicara di akhir kalimat, bahkan tangan Arden sudah mengepal sempurna, mengingat bagaimana ia sendiri yang meminta pada Papa untuk menjauhkan makam Mama, alih-alih ingin dekat Arden malah ingin jauh supaya tidak teringat bayangan menemukan Mama dalam keadaan tidak berdaya. Kilas balik itu masih terus menghantui di sepanjang tidurnya.
Tiba-tiba saja Arden teringat. Memori mengerikan itu pernah tidak datang dalam tidurnya hanya sekali. Yaitu kemarin malam ketika Arden tidak sengaja tertidur di pundak Shilla pada saat ia mengajak cewek itu ke rumah lamanya. Padahal sudah setahun lebih Arden mencoba tertidur nyenyak tanpa ada gangguan, nyatanya selalu tidak bisa tanpa adanya bantuan dari minuma-minuman di Starlight. Pada dasarnya Arden tidak suka mabuk, dia tidak suka perasaan berdebar dan tidak sadarkan diri setelah minum ditambah rasa pening di kepala saat terbangun. Tapi dia seolah tidak punya pilihan lain.
"Ma, setahun tanpa Mama itu rasanya luar biasa banget. Maaf soal ketidakberdayaan aku setahun lalu. Kehilangan Mama bukanlah sesuatu yang bisa aku terima dengan mudah," gumam Arden pelan, suaranya hampir tenggelam akibat menahan agar air matanya tidak tumpah ruah. "Papa masih sama kayak dulu, Ma. Memprioritaskan pekerjaan di atas segalanya. Bahkan di atas anak-anaknya. Andai ada Mama, pasti Papa ada yang redam. Andai ada Mama, pasti keadaan kita bertiga nggak akan kayak sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adshilla, Pacar dari Masa Depan
Teen Fiction[Sudah Selesai ▪︎ pindah ke Fizzo dengan judul yang sama] ❝Aku Shilla, pacar kamu dari masa depan.❞ Arden dikejutkan oleh kedatangan tiba-tiba seorang gadis bernama Shilla dalam hidupnya. Shilla mengatakan kalau ia datang ke masa lalu sengaja untuk...