"Asli jelek banget tu muka. Ngapa?"
"Diem, jangan ganggu gue!"
Lingga memberikan selembar tisu yang mana langsung digunakan Bianca untuk menghapus air matanya.
"Bersih kan ini?" Bianca malah baru bertanya setelah selesai memakainya.
"Dapet dari toilet sih." Lingga tertawa keras sekali setelah melihat bagaimana reaksi Bianca. Cowok gondrong itu tidak sepenuhnya berbohong, tissu tersebut memang dia dapatkan dari toilet bar.
"Tenang, lu pake tisu bekas juga tetep cantik, Ca."
"Tai emang lo!"
"Sepagi ini udah kerasukan. Kenapa?" Lingga merendahkan suaranya, bertanya pelan seraya ikut duduk di atas trotoar di samping Bianca. Sejujurnya Lingga tidak menyangka mendapati cewek itu menangis sendirian di pinggir jalan begini. "Kek orang patah hati aja lo."
"Emang lagi patah hati," ucap Bianca memelas. Dia mengambil ponsel di saku dan melihat pantulan wajahnya di layar. Eyeliner dan mascara-nya sudah luntur tidak beraturan. Matanya menghitam, rambutnya acak-acakan, aroma tubuhnya juga sudah bercampur dengan alkohol. Benar-benar jauh dari kata baik.
"Arden?" Lingga menebak dan paham kalau tebakannya itu pasti benar. "Kenapa tu anak?"
"Tadi gue peluk tapi dia dorong gue sampe jatoh di lantai," ujar Bianca seolah mengadu. Agak sedikit hiperbola memang. Padahal dia tidak benar-benar nyungsep ke lantai.
"Masih aja lo," kata Lingga berkomentar santai seraya menyalakan pemantik dan mengambil sebatang rokok dari saku celana.
"Kok reaksi lo gitu doang?"
"Mau gimana?" tanya Lingga terheran, dia memberikan sebatang sisa rokoknya pada Bianca. "Mau ganti gue peluk gitu?"
"Iya lah."
Lingga tertawa kemudian maju memeluk Bianca. Menuruti permintaan cewek itu. Padahal awalnya Lingga hanya bercanda. Ya, selagi ada kesempatan kenapa engga dipake ya kan?
Lingga mengusap pelan surai kecokelatan milik Bianca, wajahnya sudah sempurna terbenam di cekuk leher cewek itu. Menghirup aroma vanilla bercampur dengan alkohol. Bibirnya sempat beberapa kali mengecup pelan. "Anjir lo bau sampah, Ca!"
Bianca yang hampir saja terbuai sontak memukul bahu Lingga keras sekali hingga menghasilkan bunyi. "Bangsat lo, Ga!"
Lingga tertawa keras sekali, tangannya digunakan untuk mengusap punggung Bianca dengan lembut. "Kenapa enggak nyerah aja sih, Ca?" tanya Lingga dengan nada serius, dia tetap bertanya meski tahu apa yang akan Bianca katakan.
Bianca menggeleng seraya mengurai pelukannya. Dia berkata tegas dan penuh tekanan, "Gak akan pernah!"
"Sakit emang lo, Ca." Lingga tertawa di akhir kalimatnya. Terkesan memaksakan. Kalimat Lingga sungguh bukan untuk candaan. Bertahun-tahun mengenal Bianca membuat Lingga tahu seperti apa cewek ber-dress maroon di depannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adshilla, Pacar dari Masa Depan
Fiksi Remaja[Sudah Selesai ▪︎ pindah ke Fizzo dengan judul yang sama] ❝Aku Shilla, pacar kamu dari masa depan.❞ Arden dikejutkan oleh kedatangan tiba-tiba seorang gadis bernama Shilla dalam hidupnya. Shilla mengatakan kalau ia datang ke masa lalu sengaja untuk...