━━━━━━࿐ ࿔*:・゚
Cakrawala terhanyut hangat dalam belaian lembayung laut jingga. Seluruh sorot mata disemibutakan warna hangat, tak lepas jua dari pemuda bersuasana antitesis yang terduduk tenang disorot fokus oleh cercah jingga diam-diam.
Figurnya terjerat fokus pada untaian kalimat dalam buku genggamannya. Tak sekalipun atensinya tercuri oleh suasana pelita senja atau apapun, hanya berinteraksi bersama novel misteri dalam temaram senja.
"Hm?"
Tak berselang lama, selaput telinga mendengar alunan simfoni piano nan halus. Tanpa sengaja atensi terenggut penuh, sorot nayanika menarjang hamparan sudut ruangan, terbesit inisiatif memastikan gerangan tanpa nama yang memainkan laras dawai tatkala swastamita melaut.
Awak beranjak, ucapkan sampai jumpa pada singgah dan novel misteri. Langkah santainya menderap pelan di atas keramik cokelat menuju pada sumber suara.
Atas landas intuisi dan indera pendengar, pemuda mengetahui sumber suara ini dari ruang musik dan bukan dari suara ponsel. Kini raganya tertengger tenang dekat dengan celah pintu ruang musik yang sedikit terbuka, pantas saja sampai terdengar sampai ruangan lain.
Memang kurang sopan kesannya, pemuda pemilik mahkota biru tua ini memantau klandestin dari jauh figur sang pianis. Sorot mata fokus mencari gerangan, dan dia dapati sosok visual berbalut seribu keelokan cakra semesta.
Figur yang nampak indah dalam sorot swastamita, bersama dengan simfoni elok yang dimainkan. Selayaknya visualnya tengah menari tatkala matahari tenggelam. Namun daripada itu, atensinya masih terletak fokus pada nada dawai piano.
Tak ada kata lain, hanya indah.
Simfoni itu bagai melaut bersama sang sandhya. Serasa hendak melahap halus tatanan bumi termasuk dengan pemuda bernuansa gelap ini.
Tak sadar waktu, laut nada mulai surut. Tak terdengar sedikitpun frekuensi atau suara dari tuts piano yang sama seperti sebelumnya, tandanya dia harus pergi.
Sosoknya berbalik bersedia kembali pada tempat semula. Belum menderap selangkah, sorot mata menghadap pada titik semula.
"Saihara-kun?"
Atensi tercuri, visual yang berhasil mencuri sorot sang surya memanggil namanya. Gadis belia dengan paras elok, namanya Akamatsu Kaede.
Sejenak seluruh tubuh pemuda dengan nama 'Saihara' membeku, namun bertolak belakang dengan detak dadanya yang berpacu menantang nada decak dari jarum jam dinding. Di tengah landa gugup, ribuan pertanyaan dan kerisauan terpatri jelas dalam benaknya. Salah satunya pertanyaan 'Apa dia menyadari keberadaanku sejak tadi?'.
Otaknya menjajarkan berbagai pilihan jawaban supaya tak dianggap penguntit atau hal buruk lain dari gadis di depannya.
"Saihara-kun? Kau mendengarku?"
Sadar terlalu jeruh menggali pikiran dalam diam, ia membuka mulut. Menjawab pertanyaan gadis bernama Akamatsu yang ada di hadapannya dengan gelagapan, "Ah, iya. Maaf, aku mendengarmu."
Akamatsu menyimpulkan kurva, melanjutkan konversasi ringan, "Sudah menjelang malam, apa kau tidak kembali ke rumah?" tanyanya.
"Iya aku akan pulang setelah ini."
Akamatsu mengangguk paham, "Omong-omong, apa kau mendengarku memainkan piano tadi?"
Skakmat.
Kikuk. Reflek mulut Saihara mengucap sembarang kata berstereotip alasan, "Aku mendengarnya sekilas tadi."
Kurva sang gadis membentuk parabola, semakin melebar mencipta mimik harsa berjangka infiniti. "Kalau begitu, bagaimana pendapatmu tentangnya?" tanya Akamatsu dengan antusias.
"Indah. Sangat indah, Akamatsu-san!" jawabnya reflek untuk kedua kalinya.
Akamatsu mengerjap berkali-kali, tak berselang lama mimiknya yang menggambarkan harsa infiniti berubah. Bereaksi layaknya penonton yang keluar dari ruang sinema selepas ditampar teori pada akhir tayangan. Tepatnya, mimik gumun yang dicampur dengan kejut.
"Begitu, ya. Terima kasih, Saihara-kun!" dia tertawa.
Saihara mengangguk, kemudian berpamitan pada Akamatsu untuk kembali pada ruangan semula. Akamatsu melebarkan kurva, melambaikan tangannya pada sang empu sebagai tanda perpisahan dan pengharapan semoga sampai pada tujuan.
Kini punggung sang jaka perlahan menembus laut jingga, meninggalkan suara tapak uwabaki pada alas lantai. Tatkala itu sang gadis memanggil namanya untuk kesekian kalinya.
"Kalau kau tak keberatan, bolehkah besok kamu menemani aku latihan piano? Di sini?"
Sang empu tersenyum, mengiakan permintaan sederhana dari gadis kemudian menghilang dalam bayang senja yang mulai memudar.
━━━━━━࿐ ࿔*:・゚
"Indah, ya."
"Apa hanya indah? Mengapa aku tak merasakan hawa lain dari dawai itu?" ucap monolog Saihara menatap hamparan pelosok bumantara yang sudah bersemibuta warna jingga pekat.
Pandangannya tak lagi memandang kontras warna lain, hanya tersisa warna hangat yang menyerbu titel suramnya dalam benak sendiri. Tak banyak manusia yang berlalu-lalang melewati visualnya di tengah deretan rumah.
Derap kaki semakin melambat, sorot matanya menerima pandangan familier yang menjadi alas dan atapnya bernaung bertahun-tahun. Satu persatu pintu yang menjadi batas akses ke dalam rumah terbuka, hingga figurnya sampai pada tempat ternyamannya.
Namun pertanyaan itu masih terpatri jelas di kepalanya.
"Mengapa nada itu terasa monokrom dan kosong bagiku?"
━━━━━━࿐ ࿔*:・゚
KAMU SEDANG MEMBACA
𖥔 𝐈𝐑𝐈𝐃𝐄𝐒𝐂𝐄𝐍𝐓 ۪ ⊹ ˑ 𝘀𝗮𝗶𝗺𝗮𝘁𝘀𝘂
Fanfiction─┄ 𝐏ungut 𝐏roject 𝐏resent ࣪ ˖ 「 𝓔 」 ❝ Sejak awal, impresi ini yang salah. ❞ This book was written entirely by @R-EVERIE, all character are belongs to Kazuichi Kodaka. ✶ art cr: 苏小汐汐呀 from gracg.com