16

47 9 0
                                    

Setelah mendengar kabar kepergian Ibunya, Aidan memutuskan untuk tidak kembali ke dorm nya. Ia meminta Hanan untuk meninggalkannya disini. Hanan yang sudah mengetahui perihal kabar duka tersebut pun memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia paham bahwa Aidan butuh waktu untuk sendiri, dealing with his grieve.

Hanan meminta tolong kenalannya yang kebetulan berkuliah di ICL untuk meminjamkan kamarnya untuk Aidan, dan kenalan Hanan pun tidak keberatan setelah mengetahui permasalahannya. Ia dengan senang hati mengungsi ke kamar temannya untuk meminjamkan kamarnya kepada Aidan.

Terhitung sudah 2 hari Aidan berdiam diri di dalam kamarnya. Bahkan ponselnya pun tak ia sentuh sejak kemarin. Telepon dari Alister juga tak kunjung ia angkat. Tak terhitung sudah berapa missed call yang masuk ke ponselnya.

Aidan hasn't cried since that time. He grieved, a lot. But tears has never come out of his eyes since then. He's just sad, and he tried to find his own way to cope with his sadness.

His mom was just too precious for him. Even though since his father's death, his relationship with his mom was never -maybe you can say- in a good term. There's always some little miscommunications between them. They never really talked to each other, like real deep talk. He never really talked about his feelings after his father's death, he just dealt with it. Even Alister couldn't make him say a word.

Aidan was so busy dealing with his grieve that he never realized that time is too precious to be wasted on his own. He regrets that he never really had a good memory with his mom. He's just practically being her son, without being what a son supposed to be.

Aidan menarik napasnya kasar. Ia pun akhirnya merogoh ponselnya untuk mengecek ponselnya. Ia merasa ia tidak bisa lebih lama lagi berada disini, namun ia juga belum ingin kembali ke dorm nya. Bukannya ia menghindari untuk bertemu orang lain, hanya saja ia belum siap untuk melihat tatapan prihatin dan belas kasihan dari wajah Hanan.

Tangannya tiba-tiba tergerak untuk membuka aplikasi travel. Entah mendapat dukungan dari mana, ia memilih one way trip to Edinburgh siang ini. Ia bahkan tidak punya tujuan disana. He just randomly picked a place because it's on the top list.

Aidan terlonjak saat menyadari bahwa perjalanan tersebut adalah jam 11 siang ini dan saat ini sudah pukul 10.10. Aidan langsung bangkit dari kasurnya dan mengambil tas ranselnya yang hanya berisi laptop dan buku kuliahnya dan langsung bergegas keluar. Ia memesan uber dan langsung menuju King's Cross Station, stasiun tempat keberangkatannya.

Sialnya, Aidan sempat terjebak macet tak jauh dari stasiun. Ia baru benar-benar turun dari Uber pukul 10.55. Ia berlari sekuat tenaga menuju peron tempat keretanya. Untungnya masih tersisa 2 menit saat ia akhirnya mendaratkan kaki di dalam kereta.

Ia mencari kursinya, dan kursinya ternyata berada pada gerbong terakhir. Ia menyusuri gerbong-gerbong lain. Tak terlalu ramai, pikirnya. Bahkan cenderung banyak kursi kosong. Ia memiliki ekspektasi tinggi bahwa kursinya juga hanya akan ditempati olehnya.

Aidan akhirnya menemukan kursinya. Ia mendaratkan pantatnya dengan manis diatas kursi. Ia menyandarkan punggungnya kemudian memejamkan matanya. Napasnya masih terengah-engah karena tadi ia harus berlari sekuat tenaga dari depan stasiun hingga ke dalam kereta.

Saat membuka matanya, ia melihat ada seorang gadis duduk di hadapannya, tengah menatap lurus kearahnya. Gadis berambut coklat dengan highlight pirang ini menjadi terlalu familiar untuk Aidan. Rasanya seperti ia pernah melihatnya beberapa kali namun lupa kapan dan dimana.

Aidan menatapnya balik. Mereka bertatapan selama beberapa detik with awkward silence sebelum akhirnya Aidan memecah keheningan.

"Did i bother you?" tanya Aidan pada akhirnya.

Gadis itu menggeleng, "Nope."

"Then why-"

Gadis itu mengangkat bahunya dan membuat Aidan tidak melanjutkan pertanyaannya. Namun Aidan tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut pada gadis itu. Mereka memutuskan untuk diam beberapa saat. Namun entah mengapa di dalam diri Aidan, ia masih ingin berinteraksi dengan gadis ini.

"Straight to Edinburgh?" tanya Aidan lagi.

Gadis itu mengernyitkan dahinya, "Where else will this train go?" tanyanya.

Aidan tertawa garing, mission failed, pikirnya.

"Okay, I'm just tryna build a convo." ujar Aidan. Gadis itu hanya mengangkat kedua alisnya sebagai bentuk respon.

"From ICL?" kali ini gadis itu yang bertanya balik. Thank God she didn't really think he's a freak.

Aidan menggeleng, "Cambridge."

Gadis itu terlihat bingung dan mengernyitkan alisnya, "But you departed from King's Cross." ujarnya.

Aidan tersenyum, "Long story." jawabnya. "So, ICL huh? What major?"

"Biomedical sciences." jawab gadis itu. "and you?"

"Cool." jawabnya. "Mine's Architecture." ujar Aidan.

Gadis itu membelalakkan matanya, "Wow you must be a smart ass." ujar Luna. Aidan sedikit terkejut mendengar kosa kata pilihan gadis ini, yang notabene baru saja pertama kali bertemu dengannya.

"Sorry, my bad." ujar gadis itu menyadari bahwa kata-katanya barusan berhasil mengubah ekspresi wajah Aidan. "You must be a smart guy." koreksi nya.

Aidan tertawa, "Not really. Just trying to survive here." jawabnya. Pretty funny, pikirnya.

"But still, you're from Cambridge, periodt." ujar gadis itu. Aidan lagi-lagi hanya bisa tertawa.

Here comes another awkward silence. Gadis itu kembali menatap keluar jendela, sementara Aidan terlarut menatap gadis itu. Somehow there's a very tiny bit part of him that wants to know her more.

"So may i know your name?" tanya Aidan pada akhirnya.

Gadis itu mengulurkan tangannya, kinda surprised him since she's the one to make the first move on physical touch.

"Luna." jawabnya. Aidan tersenyum. Ia menyambut tangan gadis itu.

"Aidan." jawabnya. "Guess it's gonna be a long trip, huh?"

A Place Called Home | nct haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang