27 (END)

107 12 3
                                    

"Abis dari mama kita makan dulu ya, Bang. Gue laper."

Aidan masuk ke mobil kakaknya. Hari ini mereka akan mengunjungi tempat peristirahatan papa dan mama mereka. Perjalanan yang ditempuh kurang lebih 1 jam perjalanan. Karena Aidan baru bangun tidur pukul 11, jadilah ia tidak sempat sarapan terlebih dahulu.

"Makanya kalo bangun jangan kesiangan." cibir Alister. Ia mengemudikan mobilnya keluar dari kompleks perumahan mereka.

"Salah siapa lo gak bangunin." balas Aidan.

Alister menghela napasnya, "Iya emang salah gue."

Aidan terkekeh. Kebiasaannya menggoda Alister tidak pernah berubah. Kini mereka jadi sering menghabiskan waktu hanya berdua, cause they only have each other for now.

"Duh gue lupa bawa kacamata item lagi." ujar Alister.

"Mau ngapain lo? Fashion show?" cibir Aidan.

"Panas bodoh disana." Aidan mengangkat bahunya, kemudian mengeluarkan kacamata hitam dari kantung jaketnya.

"Untung gue pinter." ujarnya sambil memakai kacamatanya.

"Lah tadi lo ngeledek gue." sungut Alister.

"Kalo gue mah gapapa kan gue ganteng kaya model." ujar Aidan yang disambut dengusan Alister.

Sesampainya di makam kedua orangtua mereka, Alister memarkirkan mobil dibawah pohon rindang. Ternyata cuaca hari ini cukup cerah dan tidak ada tanda-tanda mendung.

"Untung gak mendung ya, gue lupa bawa payung." Alister turun dari mobilnya.

"Lo mah semuanya aja lupa. Ga sekalian lupa pake baju?" ledek Aidan. Alister menjitak kepala adiknya pelan.

Mereka berdua berjalan bersisian menuju pusara kedua orangtuanya. Nisan sang ayah sudah hampir pudar karena belasan tahun sudah dilewati, sementara nisan sang Ibu nampak masih baru.

"Hai, pa, ma." Alister berjongkok di sebelah makam kedua orangtuanya.

Aidan masih berdiri di belakang Alister. Memandangi 2 gundukan tanah yang berada di hadapannya. Masih sulit mempercayai bahwa kedua orangtua yang sudah membesarkannya, kini telah beristirahat dengan tenang di dalam sana.

"Adek udah pulang nih, ma." ujar Alister. "Maaf ya ma, mama jadi gabisa liat adek buat yang terakhir kalinya karna abang ga ngizinin adek pulang."

Mendengar perkataan abangnya, hati Aidan seolah hancur berkeping-keping. Ia kembali teringat bahwa ia tidak bisa melihat wajah sang Ibu untuk terakhir kalinya.

"Puji Tuhan abang udah lulus ma, pa. Bulan depan abang wisuda. Nanti abang cuma foto berdua doang deh sama adek."

"Tapi abang udah ajak Tante Bri sama Om Hans sih. Mudah-mudahan mereka bisa ya, ngewakilin mama sama papa buat berdiri di samping abang pas abang nanti pake toga."

Pertahanan Aidan pun runtuh seketika. Airmatanya mengalir deras turun ke pipinya. Namun ia buru-buru menghapusnya dan memilih untuk menengadahkan kepalanya, mencegah airmata nya untuk turun kembali.

"Abang sama adek disini gapapa, udah ikhlas kok. Abang bakal jagain adek jadi mama sama papa gausah khawatir ya. Kalian istirahat aja disana, mama juga udah gak sakit lagi kan?" suara Alister kini mulai bergetar.

"Kita juga gabakal jual rumah kita kok. Gimana bisa abang jual rumah yang isinya kenangan abang, adek, mama, sama papa? Cuma itu satu-satunya peninggalan kalian, dan abang gamungkin ngelepasin itu. Adek juga gamau kok, ma, pa. Jadi mama sama papa gausah bingung kalo mau nyari kita cause we'll always be there."

"Nanti abis abang wisuda, abang bakal kesini lagi sama adek. Bawain toga abang buat mama sama papa." Alister kemudian bangkit dan menepuk celananya pelan.

"Merry christmas, ma, pa." ujarnya. Kemudian ia berbalik meninggalkan Aidan yang masih berdiri membeku disana.

Aidan melangkahkan kakinya menuju pusara sang Ibu. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya disana, dan menangis sejadi-jadinya. Selama ini ia mencoba menahan kesedihannya karena ia tidak ingin membebani Alister. Namun hari ini pertahanannya runtuh seketika.

Ia hanya terduduk disana, menangis sambil memeluk nisan sang Ibu. Tak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya selain tangisan pilu seorang anak yang kini telah ditinggal pergi kedua orang tuanya.

Cukup lama Aidan menangis disana. Kepalanya sudah mulai terasa pusing. Ia pun bangkit dari duduknya dan berjongkok di samping makam sang ayah. Ia mengelus nisan yang sudah berumur belasan tahun tersebut.

Aidan membetulkan letak kacamatanya. Ia berani bertaruh saat ini matanya pasti bengkak bukan main. Untungnya ada kacamata hitam yang menjadi penyelamatnya.

Aidan mengusap rumput yang menutupi tempat peristirahatan sang ayah. Benar apa kata Alister, ia sudah memasuki fase ikhlas. Fase dimana ia sudah tidak mengharapkan orangtuanya untuk kembali hadir di hidupnya. Fase dimana ia hanya bisa mengirimkan doa untuk keduanya.

Ia mengangkat wajahnya. Namun siapa sangka, matanya malah menangkap sosok yang tengah berdiri menatapnya. Sosok yang ia tidak pernah menyangka, akan begitu sering hadir di dalam kehidupannya selepas kepergian sang Ibu. Sosok yang sering ia temui secara kebetulan. Sosok yang selalu hadir dalam situasi yang benar-benar tidak terduga.

"Aidan?"

Aidan mengerjapkan matanya, kemudian bangkit menghadapi sosok tersebut. Sosok yang kini tengah menatapnya dengan teduh. Tidak lupa seulas senyum yang juga terukir di wajah manisnya.

Ia berjalan mendekati sosok tersebut, dan tanpa ragu ia menarik sosok tersebut ke dalam pelukannya. Ia membenamkan wajahnya diantara rambut-rambut yang menutupi bahu sosok tersebut.

"We meet again, is this a coincidence?." ujar Luna. Aidan menggeleng.

"Nope. I guess you're just my place to go home."

A Place Called Home | nct haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang