02

103 16 0
                                    

Aidan berjalan cepat menuju kamarnya dan menutup pintunya dengan keras. Di belakangnya terdengar suara nyaring mamanya yang tengah berteriak ke arahnya.

"Aidan Zahair, don't you dare!"

Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintunya. Dadanya bergemuruh menahan amarah, matanya memerah seolah ia menahan sekuat tenaga agar bulir airmata tidak jatuh dari sana, dan tangannya mengepal erat di samping tubuhnya.

Ia baru saja beradu mulut dengan Ibunya. His plan about studying abroad was never on his mom's hand. Ibunya tidak pernah merestui keinginannya untuk kuliah di luar negeri, meskipun Cambridge University with full scholarship was already on his palm.

Aidan paham, semua yang dilakukan ibunya selama ini adalah untuk ia dan juga kakaknya, Alister. But he still felt unfair since his brother can get to choose which college he's into.

Kakaknya memang terbilang jauh lebih penurut darinya. Saat ibunya menyuruhnya untuk memilih jurusan hukum, tanpa babibu Alister langsung mengikuti ujian SBMPTN lintas jurusan karena saat SMA ia mengambil jalur IPA.

Aidan is a complete opposite of his brother. Ia memang bukan anak yang terlalu pandai, but he's a man of his words. Ia dulu pernah berjanji pada mendiang ayahnya untuk bisa kuliah di luar negeri, and he wants to achieve that, even though his mom was always against it.

"Dek, buka dulu dong pintunya."

Kali ini suara Alister terdengar di balik pintu. Suara Ibunya sudah tak terdengar lagi. Aidan bangkit dan membuka pintunya.

"What?"

Alister langsung menyerbu masuk ke dalam kamar Aidan dan duduk di kasurnya. Ia menatap lurus ke arah Aidan yang kini tengah mengernyitkan alisnya.

"Why don't you tell mom sooner? Kenapa dadakan banget sih minggu depan berangkat?" tanya Alister.

Aidan mengangkat bahunya, "She wouldn't let me."

Alister menghela napasnya, "Lo pikir kalo lo ngasih tau nya dadakan dia bakal ngizinin?"

"I just thought her reaction might be better." ujar Aidan.

"See? It didn't work out kan?" tanya Alister. Aidan menghela napasnya gusar dan merebahkan tubuhnya di samping kakaknya.

"Should i apologize even though i didn't make any mistake?" tanya Aidan.

Alister menyentil dahinya, "Didn't make any mistake pala lo!" Aidan meringis.

"Terus gue harus gimana bang? It's a once in a lifetime opportunity. Gue juga belom apply ke PTN atau PTS manapun, and i guess it's already too late. Masa gue harus gap year demi nurutin ego mama?"

Alister menghela napasnya sabar, "At least sort things out with her, give her a proper explanation. Lo tadi ngomongnya juga ogah-ogahan kaya gitu dan lo expect reaksi mama bakal normal?"

Aidan mendengus keras. Salah satu hal yang paling tidak ia sukai adalah meminta maaf. Sepertinya ini salah satu sifat mama yang menurun ke dirinya. Without realizing it, he and his mom are a complete resemblance.

"Ya nanti gue jelasin lagi deh." ujar Aidan akhirnya. Alister akhirnya tersenyum lebar sambil mengacak rambut adik semata wayangnya.

"Tapi lo tau kan the real reason why mom was always against your decision?" tanya Alister. Aidan mengangkat sebelah alisnya.

"Oh ga peka ternyata ini bocah." jawab Alister.

"Apaan emang?"

Alister menggelengkan kepalanya, "Cause you're the only one left. Papa gaada, gue di Jogja, kalo lo keluar negeri, mama mau sama siapa di rumah?"

Aidan menggigit bibir bawahnya pelan. Sebenarnya hal itu sudah sempat ia pikirkan, but he never puts any more consideration into it.

"But London was always my dream, bang. Lo tau kan?" tanya Aidan. Alister mengangguk.

"I know. Tapi seenggaknya coba pikirin perasaan mama juga, dek. Di hari tuanya dia harus tinggal sendiri di rumah, tanpa suami dan anak-anaknya jauh dari rumah. Buat apa mama punya segalanya tapi dia harus nikmatin itu semua sendirian kan?" tanya Alister.

Aidan mengangguk pelan. He always blames his mom for being inconsiderate while he himself couldn't even think about how his mom feels.

"Terus gue harus gimana, bang? Should i give up on Cambridge?" tanya Aidan. Alister menggeleng.

"No, you shouldn't. Talk to mom, make her sure that your leaving will only make her proud." ujarnya.

Aidan menelan ludahnya. Starting to doubt himself, could he really make anyone proud?

A Place Called Home | nct haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang