Benturan pedang terdengar begitu nyaring di lapangan ini, diikuti oleh suara teriakan yang mewakilkan emosi sekaligus sebagai pemacu adrenali. Di bawah tenda mewah, Christy dan Cindy berdiri, memandang pada Marsha dan Jinan yang sedang berlatih di sana. Christy memperhatikan tatapan mereka satu sama lain, ternyata yang mengkilat tajam bukan hanya pedang itu, tetapi mata mereka.
"Hai? Boleh gabung?" tanya Ashel ingin ikut menonton latihan Marsha, tetapi terlalu jauh jika di balkon kamar dan satu-satunya tempat yang paling dekat adalah di sini. Selain itu, siang ini hujan gerimis, Ashel harus melindungi dirinya dari tetesan air hujan.
"Silahkan." Cindy tersenyum menyambut kedatangan Ashel. Mulai sekarang Ashel akan menjadi bagian dari pertemanan mereka karena Cindy merasa ia akan lebih lama tinggal di sini.
"Jadi kalo gak ada kegiatan kalian ngapain?" Ashel menutup payungnya dan menyimpannya di sudut tenda.
"Latihan buat yang pengen dan tidur atau nonton sampai ada telfon kita harus turun ke lapangan, enak sih tapi sekali kerja resikonya gede," jawab Christy tanpa mengalihkan pandangan dari Jinan dan Marsha. Beberapa kali pedang Marsha nyaris mengenai lengan Jinan, untung saja bisa dengan cepat ditangkis. Mereka berdua tidak ahli dalam memegang pedang, Marsha lebih ahli menembak dan Jinan bertempur tanpa memegang apapun.
"Kaya pemadam kebakaran ya?"
Christy mengangguk, "Iya. Ngomong-ngomong kenal di mana sama kak Marsha?" Christy melirik sekilas wajah Ashel. Benar apa yang Cindy katakan, Ashel sangat cantik, tidak heran Marsha begitu menggebu-gebu untuk menikahinya.
"Kita gak sengaja ketemu waktu mobil aku mogok, dia bantu aku dan kita semakin deket terus aku nyatain cinta lebih dulu." Ashel tersenyum mengingat bagaimana perkenalannya dengan Marsha dulu. "Dia terima, tentu saja siapa yang berani menolak orang secantik aku."
"Terus kenapa buru-buru menikah? Kalian masih muda kan?" Christy mengambil coklat panas di meja dan meneguknya perlahan. Ia sempat ingin melangkah ketika nyaris saja Marsha kehilangan kendali untuk menahan serangan Jinan, untung saja Marsha kembali mengambil kendali.
"Biar bisa masuk sini."
Christy menaikan sebelah alisnya lalu menatap Ashel, "Apa maksudnya?"
"Ya biar bisa kenalan sama semua temennya, bukannya itu syaratnya buat masuk sini?" Ashel sadar Christy kini tengah menatapnya, tetapi ia memilih untuk tidak memalingkan perhatiannya dari Marsha. "Kenapa harus ada peraturan itu? Untuk meminimalisir adanya pengkhianatan atau penyelundupan?" Ashel tersenyum miring, tampak sangat meremehkan.
Christy tidak ingin menjawab, ia menatap Cindy dan mengedipkan matanya sekilas, memberi isyarat untuk tetap diam. Cindy mengangguk paham, lagipula Cindy tidak tau apa yang harus diucapkan untuk menjawab pertanyaan itu. Christy juga sedikit heran, bukannya Ashel baru mengetahui Marsha bekerja di sini? Kenapa Ashel menggunakan alasan itu?
"Pengkhianatan bisa datang dari mana saja, bukan hanya dari orang baru. Justru orang lama yang bener-bener mampu mematahkan." Ashel mengalihkan pandangannya pada Christy kemudian tersenyum. "Hati-hati, jika pengkhianatnya orang lama sudah jelas dia juga merencanakannya dalam waktu panjang dan penuh pertimbangan, akan lebih sulit ditumbangkan."
"Kita sudah hati-hati." Christy memberikan senyumannya pada Ashel. Tepat ketika Ashel mengalihkan pandangan ke depan, Christy memudarkan senyumannya dengan cepat.
"Hati-hati kok masih kecolongan? Yang diculik senior lagi. Kalian tidak sehebat yang kalian kira." Ashel menggelengkan kepala, tidak habis pikir sebuah kelompok sekuat ini ternyata masih sangat lemah. "Kalian tau apa yang bisa melemahkan kalian?"
"Apa?" Suara lain datang.
Ashel menoleh, tersenyum pada Shani yang berjalan dengan pedang dalam genggamannya. Semakin berumur, Shani benar-benar semakin cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA II [END]
Fanfiction"Berhati-hatilah sekali dengan musuhmu dan berhati-hatilah seribu kali dengan temanmu."