7

2.5K 472 153
                                    

"CCTV itu benar-benar mati karna ada gangguan dari pusat." Cakra berusaha menjelaskan semuanya dengan tenang meski tubuhnya bergetar ketakutan melihat Ara yang berdiri tepat di depannya, tatapan Ara sangat tajam. Cakra tau gadis itu bisa melakukan apa saja kepadanya tanpa takut hukum.

Ara tau jawaban itu bohong. Ia mengambil pisau lipat di pinggangnya kemudian meraih tangan Cakra dan menancapkan pisau itu. Teriakan Cakra menggema begitu keras di ruang penjara ini, Ara tidak memperdulikan itu, ia menancapkan lebih dalam lagi, membiarkan darah mengalir deras dari sana.

"Kamu bekerja sama dengan siapa?!" Ara mencengkram rahang Cakra lalu membenturkan kepala belakangnya dengan sangat keras pada tembok sampai berkali-kali. "Jawaaab!!!" Ara terus mencengkram rahang Cakra sampai kuku jarinya menancap tajam di sana, meninggalkan jejak luka.

"CCTV itu me-memang gangguan." Cakra masih menjawab hal yang sama sambil berusaha menahan rasa sakitnya.

"Gak ada gangguan internet atau listrik hari itu, aku sudah memeriksa semuanya. CCTV memang sengaja dimatikan atas perintah Bapak Cakra." Jesslyn menjelaskan hal yang sudah ia cari tau sebelumnya, ia juga tadi berhasil membuat anak buah Cakra berbicara jujur di saat yang lainnya berusaha menutupi.

Ara memukul hidung Cakra sampai Cakra ambruk ke bawah dan darah mengalir dari hidungnya. Tidak berhenti sampai sana, ia juga menendang wajah Cakra bahkan sampai berkali-kali.

"Aku sudah menjelaskan dengan yang sebenar-aaargh!!" Kalimat Cakra terpotong oleh erangan ketika Ara kembali memukulnya.

Ara memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengikat kedua tangan Cakra di dinding lalu mundur dan mengambil sebuah busur serta anak panahnya. Ara menarik anak panah itu kemudian ia lepaskan. Anak panah itu berhasil menancap tepat pada penis Cakra, erangan yang lebih keras tentu langsung menggema ke setiap sudut ruangan ini.

"Aku tunggu sampai jam satu malam, jujur sama aku dan aku akan melepaskan kamu hidup-hidup. Jika jawaban yang aku terima masih sama, aku akan menyiksa kamu lebih dari ini." Ara melemparkan busur itu dan melenggang pergi meninggalkan ruang penjara ini diikuti oleh Jesslyn.

"Sssttt anjing ngeri ngeri." Lidya memegangi selangkangannya sendiri karena entah kenapa ia tiba-tiba merasa ngilu meski ia tidak punya barang yang sama seperti Cakra. Lidya memilih untuk mengalihkan pandangannya dari monitor yang terhubung pada CCTV penjara itu lalu duduk di sebuah kursi yang melingkari meja bundar.

Di sini sudah berkumpul semua anggota yang Ara panggil. Ara ingin mengadakan rapat khusus tanpa juniornya, hanya ada Chika dan Mira yang akan ikut. Sudah sangat pusing memikirkan semua masalah dan kemungkinan tentang pengkhianatan ini, Ara ingin meminta pendapat mereka secara pribadi.

"Maaf nunggu lama," ucap Ara yang baru saja masuk ke ruangan ini, ia langsung saja mengambil tempat yang posisinya berada di paling tengah. Ara meneguk air mineral secukupnya lalu menatap Veranda dan bertanya, "Udah baik-baik aja?"

"Cambukan tadi?" tanya Veranda mengalihkan pandangannya sebentar pada Ara, "rasanya kaya digigit semut, kamu kalo berharap aku sakit harus kasih hukuman yang lebih keras."

Ara tertawa kecil sambil mengangguk-anggukan kepala, "Baiklah." Ara mengembuskan nafas diikuti oleh gerakan punggungnya yang bersandar di kursi. "Kalian tau kan akhir-akhir ini suasana memanas, mereka gak berhenti saling menyudutkan satu sama lain. Jujur sampe sekarang aku masih gak yakin ada pengkhianat di antara kita tapi kalo emang salah satu dari mereka pengkhianat, menurut kalian siapa? Dan siapa yang posisinya paling aman?"

"Gue dulu ye?" Lidya mengacungkan tangannya. "Gue tau sih mungkin pendapat gue gak bisa dijadikan bahan pertimbangan karna gue udah dikenal tolol di sini, tapi yang gue liat Marsha paling mencurigakan dan Christy yang paling aman." Kalimatnya itu mengundang tatapan Viny. Lidya mengangkat bahunya, "Menurut gue loh ya, jangan ampe kita yang dewasa ikut perang loh."

ENIGMA II [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang