"Udah empat bulan dia diculik, menghilang entah di mana! 17 tahun tempat ini berdiri! Jutaan masalah kita selesaikan tapi masalah sendiri belum berhasil kita selesaikan!" Shania mendorong keras tubuh Ara sampai terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Semua butuh proses, kita lagi susun rencana dan cari tau, sabar!"
"Sampai kapan kita harus sabar?! Sampai kapan?! Sampai dia datang sebagai mayat?!" Shania menatap Ara dengan sangat tajam.
"Jaga mulut kamu atau-"
"-Atau apa?! Kamu ketua di sini tapi kamu hanya bisa diam selama itu!"
"Siapa yang diam?! Aku lagi berusaha!!"
"Berusaha apa?! Kamu bahkan gak sadar tentang banyak hal!!"
"Apa yang gak aku sadari?!"
"Ada pengkhianat di sini!" Shania kembali mendorong tubuh Ara sebelum akhirnya mundur beberapa langkah, air matanya kembali menetes bahkan jauh lebih banyak lagi. "Kamu gak sadar di sebuah tempat yang kamu pimpin ada pengkhianat. Mereka pasti ngincar orang yang paling gak bisa bela diri dan Beby! Kenapa bisa-bisanya seorang pemimpin gak mengenali karakter dari anak buahnya?!"
"Jangan uji kesabaran aku, kembali ke kamar kamu dan jangan keluar sebelum aku perintahkan." Ara mengusap kasar wajahnya sebelum berjalan pergi meninggalkan Shania.
"Semuanya udah aman kak? Udah empat bulan tapi gak ada pergerakan apa pun. Keheningan ini gak akan menciptakan hal buruk 'kan?" Marsha terlihat sangat gusar meski detik berikutnya ia tersenyum ketika Viny mengusap pipinya.
"Gak akan ada sesuatu buruk terjadi, tenang aja ya?" Viny mencium dahi Marsha kemudian mengusapnya sekilas dan pergi dari ruangannya. Viny menghentikan langkah ketika tak sengaja berpapasan dengan Ratu. Viny hanya tersenyum lalu kembali melangkah.
"Sampai kapan kakak diemin aku? Mana janji kakak yang akan jaga aku dan anggep aku adik?" Pertanyaan dari Ratu berhasil menghentikan langkah Viny.
Viny berbalik, berjalan mendekati Ratu dan berhenti tepat di depannya. Viny tersenyum pada Ratu seraya mengusap kedua pipinya, "Kapan aku gak anggep kamu sebagai adik?"
"Kakak selalu memperdulikan Marsha, kakak gak pernah dateng ke kamar aku untuk sapa aku selama tiga bulan ini. Kenapa kakak perlakuin aku kaya gini?" Mata Ratu tiba-tiba saja berkaca-kaca. "Mana janji kalo aku akan dianggep adik?"
"Kamu juga janji kan mau anggep aku kakak? Mana janji kamu?" Viny masih mengusap pipi Ratu. "Nanti malam aku akan mampir ke kamar kamu, tunggu ya?" Viny menghela nafas berat dan melangkah pergi meninggalkan adiknya itu.
Air mata Ratu akhirnya jatuh. Ratu berjalan masuk ke ruangannya dan mengunci diri di kamar. Tangannya tiba-tiba saja bergetar, ia menangkupkan satu tangannya di depan mulut seraya bersandar di pintu. Perlahan, tubuhnya merosot. Ratu terduduk lemas. Detik berikutnya, tangisan Ratu pecah.
Jinan menangkis pedang Veranda, memutar pedangnya sampai pedang itu jatuh hingga berhasil menodongkan pedangnya tepat di samping leher Veranda. Jinan tersenyum di tengah tarikan nafasnya yang terengah-engah, akhirnya setelah bertahun-tahun ia bisa menjatuhkan pedang milik Veranda. Matanya sampai berkaca-kaca karena saking bahagianya.
"Hmmm butuh bertahun-tahun ya?" Veranda tersenyum senang karena akhirnya Jinan bisa mengalahkannya meski hanya sekali dari ribuan pertandingan.
Jinan menarik pedangnya dan ia tancapkan di rerumputan. "Aku mampu jadi pengganti kakak kan?" Jinan tersenyum lebar. Sudah lama sekali ia menanti saat di mana ia bisa mengalahkan Veranda. Sulit sekali, ia yakin teman-temannya yang lain tidak akan mampu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA II [END]
Fanfiction"Berhati-hatilah sekali dengan musuhmu dan berhati-hatilah seribu kali dengan temanmu."