6

2.6K 468 128
                                    

"Dua jam." Vivi menghempaskan tubuhnya yang sudah sangat lelah di kasur. Sudah dua malam tiga hari ia tidak tidur sama sekali karena diharuskan untuk memantau komputer, ini tentu sangat melelahkan.

"Ara gak kasih kamu istirahat?" Mira menatap Vivi, Vivi tidak menjawab, matanya sudah tertutup rapat. Mira memutuskan untuk beranjak dari kasurnya, ia harus membicarakan ini pada Ara, tidak adil untuk Vivi jika terus bekerja semalaman, sementara yang lain bisa tidur dengan nyenyaknya.

"Filsuf besar abad ke 19 Sir Muhammad Iqbal pernah bilang tanpa proses berpikir, seseorang akan dengan mudah dihancurkan oleh kebebasan berpikirnya dan apabila sebuah pemikiran itu tidak matang, kebebasan berpikir justru bisa jadi metode untuk mengubah manusia jadi binatang," ucap Jessie yang sedang berkumpul di ruangan bersama Ara, Chika, Viny, Veranda, Shani, Marsha, Lidya, Kinal dan Ashel.

Ara mengusap dagunya, "Sir Muhammad Iqbal itu filsuf abad ke 20," jawabnya memperbaiki sedikit kesalahan dari Jessie.

Jessie memicingkan matanya, ia memang sengaja mengoceh orang yang ada di sini dengan kalimat yang sedikit salah, tetapi ia tak percaya Ara yang mengetahuinya. Bukannya selama ini Ara hanya sibuk merengek meminta uang jajan pada Chika? Kapan Ara punya waktu untuk belajar?

"Diogenes pernah berpendapat bahwa cara paling ampuh merusak generasi muda adalah menyuruh mereka untuk lebih menghargai orang dengan pemikiran yang sama ketimbang mereka yang memiliki pemikiran berbeda."

"Itu pendapat Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman yang lahir tahun 1844." Ara melahap chiki yang ada di genggamannya tanpa mengalihkan pandangan pada laptop miliknya yang sedang memutar Naruto. "Dia juga pernah bilang kebanyakan orang tidak mau mendengar kebenaran karna takut ilusinya hancur lalu-" Ara menggantungkan kalimat ketika melihat Alex datang membawa dua cup kopi dingin yang ia pesan tadi.

"Ini kopinya, totalnya 98 ribu, mohon bayar kontan ya karna terakhir kali pesen, lupa bayar." Alex menyimpan dua kopi dingin itu di meja dan berdiri di sana menunggu pembayaran.

Ara mengambil kopi itu, menancapkan sedotannya ke sana dan segera meneguknya. Ia melirik sedikit ke arah Chika yang menatapnya dingin, ia langsung menunduk dan pura-pura tidak melihat apalagi mendengar biaya tagihan itu. Ara tidak memegang uang sekarang.

"Ayo bos 98 ribu, maaf ini saya tagih bukan apa-apa ya." Alex menadahkan tangannya pada Ara, tetapi Ara masih pura-pura tuli dan bisu. Alex langsung mengarahkan tangannya pada Chika.

"Kamu tadi udah jajan loh Ra, totalnya aja 120 ribu, terus sekarang aku harus bayar lagi 98 ribu? Jatah uang jajan kamu 100 ribu perhari dan gak boleh lebih dari itu. Aku udah rugi 20 ribu hari ini dan sekarang baru jam 12 siang, kamu nanti sore dikit ngerengek mau jajan, malem dikit mau martabak. Aku harus ngeluarin uang berapa hari ini cuma buat jajan kamu? Belum makan malam, kamu ini kapan dewasanya coba? Sampe kapan mau kaya anak kecil terus?"

Ara menggigit-gigit sedotan sambil sesekali meneguk kopinya tanpa berani menatap Chika. Ara tidak berniat mengeluarkan satu katapun karena sudah pasti Chika akan lebih semangat memarahinya.

"Kemarin aja tau-tau beli coklat harga 300 ribu, pusing banget aku, pokoknya aku gak mau bayar, minta ke temen-temen kamu sana." Melihat Ara yang sepertinya tidak mau mendengarkan, Chika memilih untuk fokus pada ponselnya.

"Kak talangin." Alex meminta pada Lidya.

"Dia masih punya utang rokok sama gue dua bungkus, belum dibayar sampe ni hari, gak deh." Lidya menggeleng, menolak membayarkan. Ara sudah sering diam-diam meminta uang jajan kepadanya di belakang Chika, bisa habis jatah uang jajannya jika terus diberikan pada Ara.

"Kak?" Alex menadahkan tangannya pada Kinal.

"Gue bukan gak mau tapi gue udah berbulan-bulan bayarin kopi Ara dan gak pernah dibayar. Maaf ya, coba Viny." Kinal mendorong tangan Alex agar mengarah pada Viny.

ENIGMA II [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang