2|| terkadang orang yang kita benci membantu kita secara tidak langsung.

1 1 0
                                    

 "Hei," sengaja tidak dilanjutkan, menelan seluruh makanan yang ada di mulutnya dulu. "Kau masih melakukan hal tidak jelas itu, hm?" Penari menatap Pamannya dengan tatapan bingung. "Menari." Lebih jelasnya. Penari mengangguk. "Bocah nakal. Sudah lama aku menyuruhmu buat berhenti menari dan sampai sekarang masih saja melakukan hal konyol yang tidak berguna! Di umur segini kau seharusnya mulai mencari pekerjaaan. Kau tidak bisa kuliah, setidaknya kau harus cari pekerjaan, lamban."

Penari menghela napas dalam, tanda malas mendengarnya.

Paman membanting sumpit menimbulkan suara dentingan yang cukup nyaring. "Tidak sopan! Tidak tahu untung! Cukup bilang iya Paman aku tidak akan melakukan hal tidak berguna lagi dan mencari pekerjaan. Itu saja apa susahnya!" Paman melahap sesuap. "Karena kau sekarang tinggal di rumahku kau harus mendengar dan menuruti perintah Paman. Tidak ada pengecualian."

Penari menghela napas sekali lagi. "Kenapa Ibu menyuruhku untuk tinggal di kandang hewan seperti ini ya," Kata Si Penari dengan sengaja, menumpu dagu dengan tangan kirinya. Rumah kumuh, kecil, pencahayaan minim, lembab, bau, sesak. Benar benar seperti kandang hewan di tempat illegal.

"Apa yang barusan kau katakan!" Dia marah besar. "Kau ini memang sangat mirip dengan Ibumu! Keras kepala!" Paman marah, hujan turun dari mulutnya juga beberapa nasi turun, menjijikan. "Dasar anak jalang. Susah banget dibilangin. Apa semua anak jalang sepertimu ya?"

Sang penari beranjak dari kursinya, kursinya sedikit mundur dan menimbulkan decitan dari sang kaki kursi, badannya melewati meja dan menggenggam keras kerah baju Pamannya. Mereka saling melempar tatapan. Tatapan penari yang sangat kuat memancarkan amarahnya yang hampir melebur keluar seperti gunung berapi yang sedang berevolusi sedangkan Pamannya ketakutan namun berusaha meutupinya seperti anak kecil yang menahan tangis karena dimarahi Ibunya sebab menjelek jelekan temannya.

"Jangan kau coba coba mengatakan kata kata itu sekali lagi di hadapanku, bajingan! Kau masih belum sadar, hm? Siapa yang paling pengecut diantara kita? Apa menurutmu orang yang menari itu lebih pegecut daripada orang yang mengambil uang yang diberikan mendiang ibunya kepada anaknya untuk berkuliah??!" Sindir Penari. "Akan kubunuh kau jika berani melarangku menari lagi dan membicarakan baik maupun buruk tentang Ibuku. Akan kubunuh." Lalu penari itu melepaskannya dengan dorongan. Paman itu membisu membeku. Lalu si penari pun pergi dari kandang hewan, keluar, membanting pintu.

=

Malam yang biasa biasa saja, lagi, hanya sedikit lebih dingin atau sejuk tak tahu. Asap yang entah sudah keberapa kalinya muncul di depan wajahnya. Hangat rokok menghangatkan organ tubuh dalamnya. Kini dia bersama seseorang. Berdiri di atas jembatan, bersender di pembatas, hanya berdua senyap.

"Aku tidak menyangka kau akan berhasil menemukanku."

"Aku juga tidak menyangka." Tidak menyangka sebab Pamannyalah yang membuat dia dan wanita itu bisa bertemu di bawah langit malam lagi. "Aku hanya berjalan dengan asal mengambil arah. Bahkan aku tidak menempatkanmu sebagai tujuanku. Tapi kita bertemu. Lagi."

Hanna menghisap rokok---saat si penari kesini ia langsung bilang jangan buang rokoknya lagi karena ia merasa tidak enak jika dia membuang rokok karenanya---sekali lagi. "Siapa namamu." Bukan Penari yang bertanya.

"Hoseog. Nama panggungku jey-hope. Kalau kau ingin tahu. Ya, hanya itu saja." Salah tingkah.

"Umurmu."

"19"

Mengangguk-angguk setelah mengetahui sedikit identitas Penari. "Hanna namaku. 24 umurku." Perbedaaan umur mereka cukup jauh ternyata. "Haruskah aku memanggilmu 'nak'?" Mereka tertawa. "Apa yang kau lakukan di jam segini disini? Habis latihan menari?"

"Bertemu dengamu. Apa lagi?" Mereka bertatap, Hanna menyunggingkan senyuman tipis. "Aku hanya mencari udara segar, di rumah seperti tidak ada udara. Eh, tak kusangka aku bertemu denganmu." Hanna mengangguk-angguk kecil lagi tanda bahwa dia mendengarkan Hoseog. "Hari ini kau tidak menggunakan pakaian serba hitam lagi."

"Ya, ini lah pakaian biasa ku." Hanna menjatuhkan rokoknya yang sudah pendek dan menginjaknya. Kali ini dia tidak langsung menjatuhkan rokok ketika Penari tadi menghampirinya karena dilarang Penari, berusaha keras untuk membuang asap ke arah lain walaupun Hoseog masih bia mencium bau rokoknya. "Karena kau sudah tahu namaku, bahkan umurku, aku pergi dulu." Hanna memasukkan tangan ke saku celana melewati Hoseog.

"Aku ikut." Hanna menoleh ke belakang melihat Hoseog yang terlihat tergesa gesa. "Aku ikut denganmu," jeda. "boleh?" Hanna mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali tanpa ekspresi mendengar perkataan Hoseog. "Kalau tidak keberatan-"

"Tentu saja. Kau boleh ikut."

Hoseog berlari pelan mengikuti Hanna. Berjalan membelah bumi berdua. "Kita mau kemana?"

"Ke perusahaanku." Kata Hanna sambil tersenyum kepada Hoseog di sampingnya.

" Kata Hanna sambil tersenyum kepada Hoseog di sampingnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
cigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang