10|| langkah terakhir.

3 0 0
                                    

Kobaran api yang menjulang tinggi tadi sudah padam bersama barang barang yang hangus terbakar olehnya. Hanna menyuruh temannya untuk lanjut mengurus identitas baru Hoseog yang belum sempat ia selesaikan karena membantu gali kubur. Kini hanya ada Hoseog dan Hanna saja yang duduk di bawah sinar rembulan. Sama-sama tidak berniat mengisi kekosongan malam. Suara jangkrik pun terdengar jelas masuk ke telinga mereka.

"Aku merasa Tuhan tidak ada untukku. Menyebalkan sekali." Hanna melempar kerikil yang sembarang ia ambil di dekatnya. "Kalau kau, apa taggapanmu tentang Tuhan?" Hanna menatap Hoseog. Disaat seperti ini memang paling cocok untuk membicarakan Tuhan.

"Akhir akhir ini aku merasa Tuhan semakin nyata. Dengan adanya kamu di sampingku aku semakin percaya akan adanya Tuhan." Hoseog menoleh, pandangan mereka bertemu. "Setiap kita bertemu, setiap kali kau ada di sampingku, setiap ada kesempatan untuk melihtamu walau hanya sebentar, aku selalu bersyukur dan sangat berterima kasih kepada Tuhan berkali-kali sampai batinku capek karena rasa bersyuur yang tiada habisnya tapi aku selalu ingin berterima kasih kepada Tuhan."

"Kau adalah tempat pulangku untuk beristirahat." Tatapan Hoseog menjadi lebih dalam, sangat intens. "Aku tidak bisa menemukan kata yang lebih tepat untuk perasaanku ini. Aku menginginkanmu, Hanna. Aku ingin kau menjadi bagian dalam hidupku."

Mendengar perkataan Hoseog perasaan Hanna menjadi berubah, dia menjadi.. sedih. Melihat takdir di depannya siap menjemput Hoseog akan pergi membuatnya tidak bisa berbuat apa apa. Hanna mengalihkan perhatiannya ke depan, tidak bisa melihat raut wajah Hoseog lebih lama.

"Aku iri dengan temanmu, dia pasti selalu ada untukmu dan bisa mengantikan posisi Tuhan untukmu. Sedangkan aku? Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Rasanya menyedihkan ketika mengingat aku yang selalu membutuhkanmu di sampingku dan perasaan itu tidak terbalas. Posisi itu sudah ada yang mengambil sebelum aku hadir dalam hidupmu. Apa aku salah?"

Hanna tidak menjawab. "Di dalam hidupmu, peranku itu apa?" tanya Hoseog putus asa.

"Kalau bagimu aku adalah rumah, maka kau adalah penghuniku, Hoseog. Kau pelengkap kehadiranku disini. Rumah itu membutuhkan kebahagiaan dari penghuninya. Kau tahu kenapa rumah tak berpenghuni disebut rumah berhantu? Karena rumah itu menangis sepanjang malam karena kekosongan yang ia rasakan mengundang para hantu untuk menghiburnya alih-alih sebagai penghuni."

"Kau pembawa kebahagiaan kecil yang berharga padaku. Rasanya aneh jika kau menghilang begitu lama di hadapanku. Maaf karena sudah membuatmu merasa seperti itu." Tambah Hanna.

"Kata katamu membuatku merasa spesial. Kata-kata yang indah. Terima kasih." Hanna terkekeh tanpa suara, malu mendengar pujian dari Hosoeg.

Suara langkah semakin terdengar seiring waktu berjalan. Temannya sudah selesai mengurus identitas baru Hoseog. "Kau belum beli mesin pemadat juga?" menyerahkan sebuah amplop coklat berisi KTP, KK, dan Akta kelahiran yang masih hangat pada Hanna.

Mesin pemadat memudahkan Hanna untuk menghilangkan mayat pembunuhan sekaligus barang bukti, mampu membuat tubuh manusia menjadi sekepal tangan saja. "Mahal. Kalau kau mau, belikan aku itu." Hanna dan Hoseog berdiri mengusap bokongnya masing masing membersihkan debu yang menempel.

"Ogah." Dia menolak. "Kau," memanggil bocah yang tak ia ketahui namanya. "KTPmu sudah tidak bisa dilacak. Kau tak perlu khawatir."

Akhirnya mereka berdua pergi mengendarai mobil Hanna setelah dia memastikan isi amplop sudah lengkap. Hanna mengendarai mobilnya, di tengah perjalanan Hanna menyerahkan amplop itu kepada Hoseog.

"Kau boleh melihta-lihat. Itu identitas barumu."

Suara amplop yang terbuka terdengar merdu. Hoseog mengeluarkan beberapa kertas yang ada di dalam, matanya menjelajahi setiap kata demi kata.

cigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang