7|| berhadapan dengan malaikat maut.

1 0 0
                                    

Rasa tidak enak dari rokok masih terasa di seluruh rongga mulut dan tenggorokannya. Hoseog heran kenapa Hanna sering merokok dan tidak pernah mengeluh soal rasanya. Dia harus mampir ke minimarket dulu untuk beli permen disana. Satu tangkai permen rasa stroberi Hoseog beli. Mengemutnya selagi berjalan ke kebun binatang, rumahnya.

Tanpa mengetuk ia masuk. Disambut dengan lemparan botol bir yang sudah habis hampir mengenai wajahnya namun meleset dan mengenai tembok. Pamannya sedang mabuk, keadaan rumah sangat berantakan. Baru ditinggal seminggu kebun binatang ini sudah seperti ditinggal ribuan tahun dan binatang tak dirawat masih tinggal disana selama ribuan tahun itu.

"Darimana saja kamu?" Aura disekitar menjadi tambah kacau.

"Main." Terkekeh juga tersenyum tanpa dosa ia menggaruk kepalanya. Mungkin dengan ia bersikap lebih tenang bisa mengurangi kekacauan di sekitarnya dan bisa istirahat dengan tenang pula. Tapi sepertinya tidak berhasil.

Paman mengumpat, beranjak dari duduknya lalu menampar keponakannya sendiri. "Anak sialan!" Menampar lagi. "Kau masih saja menari?" Menampar lagi. "Sudah Paman bilang," Menampar lagi. "Jangan melakukan hal konyol!" Menampar lagi. "Cari kerjaan," Menampar lagi. "Jangan jadi beban bagi Paman." Menampar lagi. "Anak sialan!"

Paman itu terus menampar Hoseog dengan keras tanpa henti. Hoseog diam saja dari tadi, permennya pun jadi jatuh karena tamparan di wajah. Paman menjadi gila. Tidak mabuk saja sudah gila, apalagi kalau dalam keadaan mabuk.

Hoseog menangkis lengan Paman yang ingin lanjut menamparnya. Kalau tidak dihentikan sampai besok pun tidak akan berhenti dan pipinya akan bolong.

"Kenapa Paman begitu tidak suka jika aku menari?"

Paman diam cukup lama. Menatap Hoseog biasa.

"Tidak suka saja. Memangnya kalau tidak menyukai sesuatu harus memiliki alasan? Kurasa tidak. Pokoknya apa pun yang kamu lakukan Paman tidak suka, kecuali kalau kamu mencari uang dengan benar, bukan dengan menari------------------------------"

Ada suara yang tertahan. Tangan Paman melemas perlahan pindah menuju perutnya yang tertusuk. Sebelum ia menyentuh perutnya Hoseog menusuknya sekali lagi dan sekali lagi membuat suaranya tertahan sekali lagi dan sekali lagi. Menusuknya menggunakan pecahan bir yang Paman lempar tadi. Ini seperti senjata makan tuan tapi bukan.

"Aku tidak suka Paman tapi aku memiliki alasan, lho."

"H, Ho, Hoseog.." Rintih Paman. Beberapa pecahan kaca tertinggal di perutnya membuat rasa sakit semakin parah, bernapas pun rasanya terasa sakit. "Pa, Paman minta maaf. A, apapun kesalahan Paman, Paman minta maaf." Paman berlutut memohon. "Jangan bunuh aku, Paman mohon, Paman ini kan keluargamu juga. Ku mohon, jangan bunuh aku." Paman dilucuti rasa takut, tubuhnya bergetar dengan hebat seperti sedang bertemu dengan malaikat maut langsung di depan matanya. Hoseoglah yang ia anggap malaikat maut itu.

Hoseog melihat ke bawah membuat sosok Hoseog lebih menyeramkan di mata Paman. "Memaangnya apa kesalahanmu?" Terlihat seperti Tuhan yang marah.

"M, mm," gelisah, panik, berpikir pun susah. Keringat turun seperti air terjun di seluruh tubuhnya, rasa sakit yang tidak ia lupakan di perutnya menyiksanya. "Ah! Apapun itu aku minta maaf-----------!"

Hoseog menendang luka itu seperti menendang bola. Lalu mati.

"Mati saja sana."

Hoseog diam menatapi mayat yang tergeletak cukup lama, lalu tersadar saat genangan darah menenai ujung kaos kakinya. Hoseog menjauh, tidak menyangka darahnya akan sebanyak ini.

Ia mengambil ponsel di dalam saku, menelepon Hanna. Menunggu diangkat.

"Halo?"

Hoseog diam.

"Hoseog? Kenapa menelepon? Kau diusir?" Hanna tertawa di balik ponselnya. Tapi Hoseog tetap diam tak berbicara.

"Sepertinya aku membunuh Paman. Aku harus gimana sekarang?"

 Aku harus gimana sekarang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
cigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang