9|| hilangkan semua 2.

2 0 0
                                    

"Oh! Hoseog-i! Kau bermain Cello? Haha. Sejak kapan? Wah, tidak kusangka! Kukira kau masih menjadi penari,"

Diam memandang bibi tetangganya di depannya. Pikiran Hoseog dipenuhi rasa gelisah apakah bibi bisa mecium bau darah di dekatnya? Apakah dia sudah curiga yang dia sedang bawa adalah Mayat bukannya alat musik Cello? Kalau bibi tahu, apakah bibi sempat mengintip ke dalam rumahnya?! Apakah bibi sudah menelepon polisi!?

Hanna menyenderkan badannya pada mobil pick up milik temannya. Mematik api, membakar ujung rokok lalu menghisapnya, sambil memandang pemandangan yang menegangkan, penasaran degan apa yang dilakukan Hoseog. Tidak ingin ikut campur, toh, dia hanya tukang pengangkut barang.

Sebagai pembukaan Hoseog tertawa canggung. "Iya, saya akhir akhir ini tertarik dengan Cello dan mencoba untuk mendalaminya lebih dalam."

"Lalu bagaimana dengan karirmu itu?"

"Aku juga masih tidak bisa merelakan untuk melepas karirku sepenuhnya, Bi."

Bibi mengeluarkan suara yang penuh prihatin. "Apa karena Pamanmu?" Hoseog bergidik, tatapannya tenang tadi menjadi tatapan sedang menyembunyikan sesuatu. Pertanyaan sangat tepat sasaran itu membuat Hanna tersenyum puas. "Wajar saja Pamanmu melarangmu begitu keras agar tidak melanjutkan karirmu sebagai penari,"

"Wajar?" Hoseog jadi sedikit marah.

"Iya, wajar, apa dimatamu itu tidak wajar?" Bibi berubah serius. Lalu mendecik beberapa kali 'ckckck' seperti itu. "Kau ini benar keponakannya bukan sih? Masa, kau tidak tahu masa lalu Pamanmu? Pamanmu itu dulu juga penari sama sepertimu, cukup terkanal sampai aku saja tahu, lebih terkenal dari pada kamu yang masih menjadi penari sebelum kau tertarik dengan musik klasik itu." Bibi menunjuk tas Cello yang Hoseog gendong. "Saat aku sedang berkumpul dengan ibu-ibu, ada yang bilang kalau penari dengan julukan 'bintang jatuh' itu tinggal di sekitar kita, tapi kondisinya mengenaskan, miskin, tak sebanding dengan kepopulerannya dulu. Aku kaget sekali saat pertama kali mengetahui bahwa idola itu tinggal di daerah kumuh seperti ini, bukannya di apartemen apartemen tinggi di kota besar."

"Alasan mengapa Pamanmu bisa hidup seperti ini aku tidak tahu. Kau tahu?" Hoseog menggeleng. Bibi menghela napas. "Aku jadi ragu kau bukan keponakan kandungnya." Bibi masih memegang pundak Hoseog sambil menunduk kecewa. Lalu mengangkatnya dengan cepat. "Ngomong-ngomong, kau mau kemana?"

Nah, baru, perbincangan ini sudah mulai masuk ke intinya.

"Aku pindah,"

"Pindah??"

"Iya,"

"Pindah kemana?"

Hoseog sudah menebak kalau Bibi akan bertanya kemana dia akan pindah, sejak beres-beres barang dia juga memikirkan kemana dia akan pindah? Apa dia akan keluar kota? Atau dia mengangkat kaki dari negara ini? Hanna sama sekali tidak memberi tahu kemana Hoseog akan pindah.

"Prancis," Hanna tertawa di belakang.

"Prancis? Memangnya ada ya tempat seperti itu?" Bibi terlihat kebingungan "Oh, Aku tahu! Di samping Toko Jahit Bu Jihwan ada tempat bernama Prancis La Veda! Eh, tapi kan itu bukan rumah," Bibi yang bersemangat menjadi lesu.

"Ya, pokoknya ada, lah, tempat yang bernama Prancis. Disana banyak pemain Cello yang handal!"

"Benarkah? Bagus kalau begitu."

Disini orangnya ramah ramah sekali, seram. Hanna berpikir seperti itu. Tidak heran Hoseog mempunyai sifat secerah itu, ternyata dibesarkan di tempat seperti ini ya,

"Oh, ini pasti Cello," Bibi hendak memegang tas Cello dengan tangan kanannya. Semuanya terkejut dengan perilaku Bibi yang tiba-tiba.

Rokok Hanna sudah pendek, dia jatuhkan rokok itu sembarangan dan menginjaknya. "Hei, kalian. Mau sampai kapan kalian berbincang? Pekerjaanku banyak. Cepat." Ucap si pengangkut barang lalu masuk ke dalam mobil siap berangkat.

cigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang