Prolog

2.7K 210 21
                                    

Jakarta, 2008 Silam.


"Hei lihaatt!! Itu kan Shani, ya?"

"Gilaaaaa!! Cantiknya bener-bener kelewatan."

"Cantiknya, gak ada obaattt!!"

Dan beberapa lagi ucapan-ucapan dipagi itu tentang kekagumannya kepada seseorang yang mereka sebut, Shani.

Shani, Shani, dan Shani. Nama itu selalu menjadi topik belakangan ini disekolah, khususnya anak laki-laki. Menjadi bahan perbincangan anak-anak disalah satu sekolah terkemuka di Jakarta, benar-benar menggambarkan Shani seperti seorang superstar.

Wajar sih, apabila ia menjadi bahan perbincangan orang-orang disekolah. Ia terkenal karena kepintarannya. Kepintaran akan berhasil menjuarai olimpiade sains tingkat provinsi DKI Jakarta sebagai juara pertama untuk kategori SMP. Pasti sekolah sangat bangga padanya.

Terlebih, bukan itu saja. Kepopulerannya semakin menjadi karena ia memiliki paras yang sangat cantik nan anggun. Serta, sifatnya yang lumayan ramah walau wajahnya selalu menampilkan ekspresi kalem. Pantas saja, laki-laki mulai dari seangkatan hingga adik kelas sangat menggilainya.

Pasti beruntung banget tuh punya pacar seperti Shani.

Pagi itu, dia berjalan dikoridor sekolah untuk menuju kelasnya. Kelas 9A adalah kelas yang ia tepati. Kelas yang tentunya adalah kelas unggulan. Isinya orang-orang pintar semua. Sebagian pandangan mata tertuju kepada gadis yang bernama lengkap Shani Indira Natio, seperti name-tag yang menempel diseragam sekolahnya.

"Pagi kak Shani?" Shani menanggapi sapaan ramah adik kelas yang kebetulan berpapasan dengannya dengan tersenyum ramah.

Kebetulan, langkah Shani yang melewati kelas 9C. Dari dalam kelas tersebut, tampak seorang perempuan berambut panjang sepundak sedikit antusias begitu melihat Shani yang melewati kelas tersebut.

"Gre... Gre! Lihat, itu Shani? Artis sekolah kita baru aja lewat." Gadis itu menepuk-nepuk pelan pundak gadis yang disebut Gre tengah duduk dengan kesibukannya.

"Apa sih, Ren? Oh, Shani? Ya udah biarin aja dah. Lagian, gak kenal ini." Gadis yang bernama Gre itu tampak tidak mempedulikan perkataan temannya itu. Ia masih berkutat dengan kesibukannya akan menghitung sisa uang saku yang ia bawa.

Gadis yang kebetulan menggunakan name tag lengkap diseragamnya bertuliskan Maureen Gabriella memperhatikan dengan seksama gadis yang tampak sibuk itu.

"Ngapain sih? Sibuk banget dari tadi kayaknya." Maureen menggelengkan kepalanya kemudian, ketika mengetahui kesibukan temannya itu. "Ya ampun, Shania Gracia?! Habis ngamen dari mana? Uang kamu kok banyak recehan gitu."

Maureen tampak mentertawakan gadis yang dipanggilnya Shania Gracia itu. Gracia, biasa ia panggil, mencubit kesal pinggang Maureen.

"Sembarangan kalo ngomong! Ini tuh uang yang aku kumpulin sisa kembalian jajan aku, Ren. Gini-gini juga uang tahu." Maureen yang mendengarnya tentu merasa bangga akan perjuangan teman satu kelasnya itu. Rajin mengumpulkan kepingan recehan untuk digunakan olehnya.

"Itu uang buat apa emang?" Gracia yang selesai menghitung kepingan uang koin campuran antara 500 dan 1000 itu tersenyum senang akhirnya.

"Buat beli LKS Biologi. Tahu sendiri kan kamu. Cuma aku doang yang belum punya." Maureen mendengarnya tentu terkejut, "Ya ampun Graciaaa!! Kenapa gak bilang sih? Kalo kamu lagi gak ada uang buat beli kemarin-kemarin, kan bisa aku beliin."

Gracia menggelengkan kepalanya sembari tersenyum menatap Maureen yang sangat ingin membantunya.

"Udah Ren, aku gak mau terus-terusan direpotin sama kamu. Kamu udah banyak nolongin aku." Maureen menatap tajam dengan perkataan Gracia. "Heh! Aku ini sahabat kamu tahu. Kalau kamu lagi kesulitan, apapun itu ya pasti aku bantulah Gre. Jangan biasain ngomong gitu kenapa sih!?"

Raga & RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang