Sorry

771 113 4
                                    

"Kakak mau nyanyi di kafe lagi?" Tanya Azizi dari ambang pintu kamar Gracia begitu mendapati kakak perempuannya tengah bersiap dengan gitar kesayangannya yang sudah berada didalam tas khusus gitar.

"Akh, iya, Zee. Kakak mau nyanyi lagi. Lumayan, buat nambah pemasukan ke dompet." Jawabnya sembari tersenyum dan menoleh ke arah Azizi.

Sedari memperhatikan Gracia, entahlah, mengapa Azizi menatapnya dengan sedikit lirih. Dalam benaknya, mengapa kakaknya itu harus bekerja keras demi selembaran rupiah? Memang sih, semua harus dilakukan dengan kerja keras demi mendapatkan lembaran rupiah tersebut.

Akan tetapi, yang tersirat didalam benak Azizi, lebih mengarah kepada rasa kasihan yang mendalam. Melihat sang kakak yang bekerja tanpa lelah. Seolah, ia tidak mengenal waktu untuk bekerja. Memang, menyalurkan hobi yang sedari dulu ia gemari adalah kesukaannya. Tetapi, kadang kala, ia melupakan dirinya sendiri, bahwa ia manusia biasa yang sewaktu-waktu bisa saja jatuh sakit karena kelelahan.

"Zee? Kok ngeliatin kakak gitu banget?!" Tanya Gracia setelah bersiap untuk berangkat.

"Jangan pergi, kak." Ucapnya dengan nada lirih. Mendengar perkataan adik kecilnya, membuat Gracia sedikit menaikan alisnya sebelah.

"Loh, kenapa? Kamu tahu, kan, kakak paling suka kalau ada tawaran kayak gini."

Azizi menggelengkan pelan kepalanya, "Iya, kak. Cuma ... aku gak mau kalau kakak, tuh, keliatan capek banget. Aku takut kakak sakit, kak. Takut kakak sakit nantinya!!"

Kini, air mata Azizi silih berjatuhan secara perlahan dengan kalimatnya sendiri yang ia utarakan. Ia tidak tega melihat kakak perempuannya yang sangat ia sayangi itu, harus rela bekerja keras sampai-sampai mengabaikan dirinya sendiri.

Sedari dulu, Azizi memang tidak setuju kalau kakaknya harus mengambil job sampingan sebagai penyanyi akustik di kafe-kafe yang kerap kali mengundang jasa kakaknya sampai larut malam. Karena, lebih aware ke kesehatan kakaknya itu. Belum lagi, besok pagi ia harus kembali bekerja.

Pernah sesekali, Gracia sampai harus jatuh sakit karena kurangnya jam istirahat yang seharusnya ia lakukan. Melupakan rasa lelahnya, hanya demi lembaran rupiah. Karena, demi rupiah itulah, kadang kala ia harus pulang larut malam.

Baik Azizi maupun orang tuanya saat ini (walaupun status orang tua Gracia adalah orang tua angkat) memintanya untuk berhenti dari pekerjaannya itu. Bukan melarang kesukaannya, hanya lebih ke mengkhawatirkan kondisinya nantinya.

Namun, Gracia bukan membantah. Ia hanya merasa tahu diri, ia tidak ingin merepotkan keluarganya saat ini yang sudah membesarkannya dan menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri. Tentu saja, terima kasih tidak akan cukup darinya. Maka dari itu, maafkanlah bila ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia ingin berusaha mandiri. Itu saja jika dijabarkan secara keseluruhan.

"Zee?" Reflek, Gracia memeluk Azizi seketika. Memeluknya seerat mungkin. Menenangkan hati gadis kecil yang sangat ia sayangi melebihi dirinya sendiri. Azizi terisak diantara pelukan erat kakak gadisnya itu.

"Hiks! Hiks! Jangan pergi ya, kak? Aku mohon?! Hiks!"

Gracia terdiam. Hatinya dibuat bimbang, apakah ia harus menuruti permintaan adik kecilnya itu? Atau, tetap pada pendiriannya untuk meneguhkan hatinya pergi demi menyalurkan kesukaannya. Seketika, Gracia dihadapakan pada pilihan sulit yang membuat dirinya menjadi serba salah.

"Kenapa diem, kak?! Ka---kakak tetep bakalan pergi? Iya, 'kan?! Hiks!" Tanyanya lagi, sedikit menengadah untuk menatap Gracia. Gracia dapat melihat, wajah adik kecilnya yang terlihat sangat sedih. Ia pun menatapnya dengan lirih. Tidak tega melihatnya saat ini.

"Ma---maafin kakak ya, Zee?" Ucapnya pelan. Azizi menggelengkan kepalanya. Kembali menyenderkan kepalanya diantara dada Gracia.

"Enggaaakkk!! Aku gak akan biarin kakak pergi!" Ucapnya dengan tegas.

Raga & RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang