Bab 2

244 53 23
                                    

Seneca bingung bagaimana harus membalas pesan dari kakak tingkatnya itu. Jika dia terima tawarannya, sudah pasti dia akan diamuk masa. (re: Ayah dan Juang) tapi kalau ditolak, dia menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang dua kali ini.

"Aduuuuh, ini gimana?" gumamnya.

Di tengah kepaniknnya, ponselnya malah berdering, kakak tingkatnya itu malah meneleponnya. Bukannya dijawab, Seneca yang panik malah menaruh ponselnya di atas meja.

"Kak, udah pesan taksinya?" Juang berjalan menuruni tangga, dengan penampilan yang sudah rapi.

"Juang, ini kakak tingkatnya nawarin buat jemput. Aku pergi sama dia aja ya? Kamu nggak usah ikut."

"Oh, jadi kamu lebih milih pergi sama orang asing dibanding aku, adik kamu?"

Seneca langsung mengerucutkan bibirnya. Adiknya malah menyudutkannya dengan kalimat yang menyakitkan hatinya.

"Juang, kamu kok bicara kaya gitu?"

Juang meringis sambil menggelengkan kepalanya.

"Nanti kalau aku dijutekin kakak tingkatnya, kamu mau tanggung jawab?"

"Nggak akan! Warga gudluking kaya kita itu punya privilage untuk selalu jadi pusat perhatian."

Ada benarnya juga. Tapi Seneca kadang tak habis pikir, kenapa anggota lelaki di dalam keluarganya memiliki sifat narsis?

"Udah pesan taksinya, nanti keburu telat. Belum duduk, ayah udah mau jemput kan tanggung."

Tak lama, akhirnya taksi pesanan mereka datang juga, lantas mereka pun pergi menuju kafe Rahasia.

Di perjalanan, perasaan Seneca sudah tidak karuan. Dia bahkan melirik terus ke arah ponselnya untuk memeriksa penampilannya. Dia tidak mau memberi kesan jelek di pertemuan pertama.

"Anjir! Anjir! Asuuuuu! Kenapa malah numbalin urang sih anjng?!"

Seneca langsung memukul paha Juang yang malah sewot sendiri ketika bermain game di ponselnya.

"Sakit ih!" Juang melayangkan protesnya.

"Kamu tuh kalau main game nggak bisa kontrol mulutnya!"

"Mianhaeeeee!" ucapnya memelas.

Seneca langsung meringis.

"Eh bener nggak sih? Cewek-cewek kipop di kelas aku soalnya suka bilang kaya gitu."

"Iya bener, tapi geli juga kalau kamu yang bilang."

"Masa? Anak-anak kelas suka bilang kalau aku ini mirip Opai Korea."

"Oppa! Bukan Opai!" sergah Seneca.

"Oh salah, ya maaf."

Seneca mencebik, kemudian dia mendiamkan Juang selama sisa perjalanan mereka.

Mereka akhirnya sampai di kafe Rahasia. Ini pertama kalinya bagi Seneca datang ke tempat ini, dan dia sedikit bingung dengan tempatnya.

"Ini kafe apa bangunan belum jadi, Kak?" Juang pun ikutan bingung.

"Nggak ngerti juga, aku coba chat Kakak tingkatku dulu."

Seneca merogoh ponselnya lalu mengirim pesan chat kepada kakak tingaktnya.

<Kak, aku udah sampai. Tempatnya yang bangunan belum jadi itu kan?>

<Iya, kamu langsung masuk aja.>

Seneca lalu menoleh ke arah Juang, dan Juang mengangkat sebelah alisnya.

"Apa?"

"Tempatnya bener yang ini, tapi nanti kamu jangan gabung ya; duduk di meja lain."

Seneca, Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang