Bab 1

326 81 45
                                    

Brugh!

"Aw!"

Semua buku yang Seneca peluk berjatuhan ke lantai, beserta dirinya sendiri.

"Seneca, hati-hati dong jalannya," Laila berjalan menghampiri.

"Aku udah jalan hati-hati, tapi takdir berkata lain."

"Kamu tuh."

Seneca segera bangkit sambil mengusap lututnya yang perih. Pelan-pelan dia mengambil semua buku yang berserakan di lantai, kembali disusun bertumpuk tak beraturan.

"Cuma segini aja buku yang mau disumbang ke pantinya?"

"Ini nggak cuma Bu. Nggak mudah melepas kepergian sepuluh buku ini dari rak."

Seneca membawa buku itu berjalan dengan hati-hati lalu meletakkannya di atas meja. Ibunya yang penasaran, menghitung kembali jumlah bukunya.

"Tapi kan nanti, rak buku kamu yang kosong itu bisa diisi buku-buku baru."

Seneca cemberut tak menanggapi, dia memilih duduk di sofa lalu menyalakan televisi, namun lututnya kembali terasa perih.

"Kamu nanti ketemu temennya di mana?"

Abdi berjalan menghampiri sambil matanya sibuk menatap ke layar ponselnya.

Dug!

"Aduh!"

"Terus aja main hp, kursi sebesar itu sampai nggak keliatan," tegur Laila kepada suaminya.

"Ini Bu ada kerjaan," ucap Abdi sambil meringis.

"Ayah sama Neca, teledornya paling juara serumah."

Laila mendelik lalu ia duduk di samping Seneca dan memeriksa lutut anaknya itu.

"Tuh kan agak lecet, pasti nanti memar ini. Kasih salep!"

"Nggak usah, pakai ludah juga sembuh."

Seneca menjilat ibu jarinya, lalu mengoleskan ludah ke lututnya yang agak lecet.

"Ih jorok!" Laila meringis jijik.

"Jadi kamu sama temen kampus itu mau ketemuan di mana?" Abdi kembali bertanya, karena belum sempat dijawab.

"Rahasia!"

Abdi langsung memasang wajah serius sambil menatap anaknya dengan tajam.

"Namanya Kafe Rahasia, di Taman Sari," terang Seneca sambil tersenyum usil kepada ayahnya.

"Oh, kirain mau main rahasia sama Ayah," timpalnya sinis.

Senyum Seneca diakhiri dengusan dengan mata yang memicing. "Hamba tidak ingin kualat kepada Paduka," ucapnya dengan serius.

Abdi langsung mengacungkan jempolnya, mengapresiasi.

"Nanti sepulang dari panti, Ayah langsung jemput ke sana."

"Loh..loh.. Kok dijemput? Ayah sama Ibu kan nggak akan lama di panti. Kalau dari sana langsung jemput Neca, Neca belum pesan minuman pasti udah diteleponin." Seneca melayangkan protesnya.

Ayahnya tidak menggubris, dia kembali sibuk dengan ponselnya. Lalu, Seneca memasang wajah memelas kepada ibunya, karena sang ibu jauh lebih pengertian dibanding ayahnya yang posesif.

Ibunya mengangguk.

"Pak Abdi, anaknya ini kan baru masuk kuliah. Biarin dia sosialisasi sama temen-temen barunya."

"Bu Laila, sebenernya sosialisasi nggak harus dengan kumpul-kumpul di kafe. Di kampus, di kelas pun juga bisa nanti." Abdi menimpali.

Laila mendengus sambil melipat tangannya di dada.

Seneca, Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang