1.3 Distance

135 11 17
                                        

Nanami tidak tahu dimana letak kesalahan yang mungkin tidak sengaja diperbuatnya saat merasakan perubahan sikap Akashi yang baru. Terlalu tiba-tiba dan terasa sangat asing. Dia sudah terbiasa dengan tanggapan kering Akashi yang sekarang padanya. Nanami juga mulai terbiasa dengan aura mengancam yang tiba-tiba kadang membuatnya tidak bisa berkutik. Atau, ucapan kelewat tidak berperasaan orang ini padanya. Sungguh. Nanami sudah terbiasa. Namun, meski begitu, Akashi masih memperlakukannya dengan cukup baik. Dia sopan. Tidak ada penolakan saat Nanami datang ke apartemennya untuk membantu merapikan atau sekedar untuk membuatkan pemuda itu makanan rumahan. Meski tanggapannya kering, Akashi selalu menghabiskan apa yang ia buat.

Tapi kali ini berbeda. Ada yang ganjil. Seolah, Akashi kembali berubah. Nanami kebingungan. Itu adalah saat Nanami secara refleks memegang tangan dahi Akashi saat melihat wajahnya memerah. Jelas dia dalam keadaan tidak sehat. Justru yang membuatnya kebingungan adalah saat tangan Akashi menepis kasar tangannya yang hendak mendarat di kening. Mencoba memeriksa suhu.

Dia berkedip. "Gomen, apa aku melakukan kesalahan?" Nanami bertanya dengan suara yang terdengar agak jauh. Dia kaget oleh penolakan tiba-tiba Akashi, namun tetap bisa memasang wajah santai tanpa beban.

"Lupakan. Kembali ke kelas. Aku akan pulang."

"Eh?" Nanami tahu Akashi selalu menjaga kebugaran tubuhnya. Sebagai seorang atlit, Akashi melakukan olahraga rutin untuk menjaga tubuh dan kesehatan agar tetap dalam kondisi prima. Meski postur tubuhnya lebih kecil dari pemain basket reguler Rakuzan, namun tidak bisa dipungkiri jika dengan tinggi badan lebih kecil dari rekannya, Akashi bisa melakukan segala hal dalam basket. Seolah tinggi badannya sama sekali tidak menjadi penghalang buat Akashi. Namun, Akashi yang seperti ini justru sangat aneh.

Asing. Akashi sebelumnya tidak pernah keberatan saat tanpa sadar melakukan kontak fisik dengan Nanami. Saat Nanami secara refleks mendaratkan telapak tangan di dahinya ketika dia pulang kehujanan, Akashi tidak menolak. Tidak menghindari apalagi sampai menepisnya dengan keras.

"A--aku akan meminta izin pada guru piket." Dia berusaha mengendalikan diri. Nanami sekali lagi menatap sosok itu. Sorot matanya terlihat khawatir. "Tunggu sebentar, aku akan mengantarmu pulang." Dia kembali membuka suara.

"Tidak perlu." Tanggapannya dingin. Nanami tidak tahu apa yang terjadi, atau kesalahan apa yang mungkin ia lakukan sebelumnya, tapi tatapan mata beda warna itu kelewat dingin. Beku. Seolah dia menatap sesuatu yang begitu mengganggu. "Dan tidak usah datang ke tempatku." Dia kembali bicara sebelum akhirnya berbalik. Pergi. Meninggalkan Nanami yang mengerjap. Nyaris kehilangan kendali.

Hah?

Ada apa? Kenapa orang itu tiba-tiba saja marah padanya? Apa dia melakukan sesuatu yang salah?

Sore itu, setelah jam pelajaran usai, Nanami memutuskan untuk mendatangi gymnasium tempat klub basket berada. Dia harus menanyakan sesuatu.

Setidaknya, mungkin salah satu senior Akashi mengetahui sesuatu.

"Mibuchi senpai, maaf mengganggu latihanmu." Dia bicara dengan sopan dan tertata.

Pada akhirnya sosok yang didatangi Nanami justru Mibuchi Reo. Ya, mengingat dari tim inti basket putra orang ini yang paling mudah diajak bicara.

"Iie. Aku tidak terganggu. Doushitano Ryu chan?" Tanggapannya juga baik. Nanami diam-diam mendesah lega.

Setelah dipikirkan lebih dalam, Nanami mulai sadar jika perubahan Akashi terjadi setelah Nanami sakit. Setelah Akashi harus terpaksa merawatnya.

"Mibuchi senpai, apa dua hari lalu Akashi kun melewatkan pertandingan atau latihan khusus?" Ini adalah asumsi paling masuk akal yang bisa Nanami dapatkan dari perubahan mendadak sikap Akashi padanya. Ya kan, seingat Nanami, sebelum dia sakit, Akashi bahkan masih memintanya membuatkan irisan lemon madu.

An ImaginaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang