1.6 Redemption

184 14 13
                                        

Nb : Bab ini jauuh lebih panjang dari bab-bab sebelumnya.

.

.

.

Dua sosok itu duduk bersisian. Hanya mereka berdua. Akashi diam. Ekspresi wajahnya terlihat berbeda. Nanami juga duduk dengan tenang di sampingnya. Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat setelah keduanya memutuskan bertemu, bicara.

"Nami--"

"Seijuuro kun--"

Keduanya saling memandang. Terkekeh pelan saat suara mereka saling bersahutan.

"Kau duluan." Akashi yang pertama membuka suara. Membiarkan si gadis yang mengawali pembicaraan.

Nanami menghela napas panjang. Sejak tadi, sejak mereka berpisah setelah keluar dari gymnasium, kepala Nanami rasanya mau pecah. Bagaimanalah tidak begitu saat Akashi mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak bisa ia pikirkan sama sekali. Tidak pernah bahkan dalam pikiran terliarnya sekalipun.

Bagaimana mungkin sosok yang selalu bersikap dingin dan kejam itu menyukainya? Menyukai dari mananya coba?! Yang ada dia benar-benar membencinya.

Memangnya ada ungkapan rasa suka seseorang justru dilakukan dengan sebaliknya? Nanami tidak paham. Sama sekali tidak bisa memahami hal itu.

"Tolong jelaskan apa yang kau bicarakan sebelum kita meninggalkan gymnasium." Dia bicara setelah menenangkan diri.

Sementara itu, di sisi lain Akashi justru menahan diri untuk tidak tertawa. Itu lucu. Menggemaskan sekali saat melihat Nanami kewalahan oleh isi kepalanya sendiri. Dia ingin tertawa, tapi itu jelas bukan adab yang baik.

Napas berembus pelan. Akashi menatapnya, perlahan. Tangannya bergerak membuka kotak bekal. Kali ini bukan sup tofu yang dibawa Nanami. Hamburger steik. Wanginya masih terasa.

"Kau sudah makan malam, Nami?" Dia balik bertanya. Sebenarnya, makanan yang disediakan hotel tempat tim basket Rakuzan menginap menyediakan makan malam. Mewah lagi. Tentu saja. Selain itu, mereka juga disponsori oleh keluarga Akashi. Tentu saja kenyamanan terjamin. Namun, Akashi selalu menunggu hal ini. Bekal makan malam yang selalu Nanami berikan. Dulu, gadis ini rajin sekali memberinya irisan lemon madu, namun sejak kejadian sosok lain dalam dirinya hilang kendali, Nanami berhenti memberinya irisan lemon. Hanya memberinya bekal makan malam setelah pertandingan selesai.

"Aku sudah makan-- tunggu, jangan mengalihkan pembicaraan!"

Akashi terkekeh. Satu suap nasi lengkap dengan hamburger steik masuk kedalam mulut. Sama sekali tidak memedulikan Nanami yang seolah sudah berada di ujung kesabarannya.

Lagipula Akashi juga tahu. Gadis itu tidak akan pernah membiarkannya kelaparan. Biarkan saja. Nanti juga dia diam. Tenang dengan sendirinya.

"Jangan hanya makan dagingnya, Seijuuro kun, makan saladnya juga." Lihat kan? Alih-alih memarahi Akashi yang makan dengan lahap, gadis itu justru mendekatkan salad pada si pemuda. Sudah macam pengasuh yang memarahi anak balita agar makan sayur.

Akashi terkekeh pelan, namun dia tidak menolak. Menuruti ucapan si gadis. Mengambil salad dan mengunyahnya tanpa hambatan. Lagipula selain wasabi dia tidak pilih-pilih makanan. (Selama makanannya bersih dan enak, tentu saja.)

"Seijuuro kun,"

"Hn?"

"Apa yang ingin kau bicarakan padaku?" Dia bertanya. Menatap lekat. "Asal tahu saja, aku akan sangat marah kalau kau terus meminta maaf." Tambahnya tanpa jeda.

An ImaginaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang