3. Sorry

23 2 2
                                        

All my friends gotta go, yeah, super damn high,
Don't worry my friend, you gonn' be alright.
All my friends gotta go, yeah, super damn high,
Till we die, till we fly!

(Bucket List) - BIG Naughty

HAPPY READING Y'ALL♡

◉‿◉

H-hah?! Ezra?!

Dari sekian banyaknya siswa yang ada di sekolah ini, kenapa harus Ezra?

Aku frustasi. Memikirkan cara dia memperlakukanku semalam saja sudah membuatku sebal setengah mati.

Beberapa menit berpikir keras dan berdiri sendiri di koridor sama sekali tak membantuku menemukan jalan keluar. Tak bisa begini, lama-lama aku bisa stress hanya karena memikirkan hal sekecil ini.

Aku harus segera mengembalikan buku ini. Lebih cepat lebih baik, bukan? Oke, tidak ada lagi waktu untuk berpikir. Aku harus segera pergi dari sini, menghampiri Ezra di kelasnya.

Aku berjalan dengan cepat karena dikejar waktu. Jam istirahat akan berakhir dalam beberapa menit, itu sebabnya aku harus cepat.

Langkah kakiku terhenti saat melihat sosok Ezra di depan kelas Alin. Jarak kami terlampau lima belas meter, namun aku sudah bisa mengenali wajahnya.

Dengan memakai baju olahraga, Ia berjalan sambil mengobrol dengan kedua temannya. Kemudian, ia tertawa. Aku memang tak tahu apa yang sedang ia bicarakan bersama teman-temannya hingga ia tertawa selebar itu. Tapi, satu hal yang pasti, tawanya itu....

Tawanya sungguh menawan, kedua lesung pipinya sangat dalam. Aku.... Aku sungguh kehilangan kata-kata, tak tahu harus dengan cara apa agar aku bisa menggambarkan tawa seindah milik dia.

Tawanya sungguh membuatku gila.

Aku mengadahkan kepala ke udara, frustasi. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sadar, Fik. Sadar.

Aku melangkahkan kakiku dengan yakin, menghampiri Ezra yang mulai menyadari aku sedang melangkahkan kaki ke arahnya.

"Kalian duluan aja. Aku masih ada urusan." Ujar Ezra pada dua orang temannya.

Dua temannya mengangguk. Mereka bergegas pergi tanpa Ezra.

Kami terpisah jarak sepuluh meter. Dia melangkah maju, bersamaan dengan aku melangkah maju.

Lima meter.

Dua meter.

Persis jarak satu meter, langkah kaki kami terhenti. Kami berhenti di tengah-tengah koridor, di antara kerumunan siswa-siswi yang berlalu-lalang.

Ezra menatapku intens, sedangkan aku menunduk takut-takut. Masih teringat dengan caranya membentakku semalam. Aku ingin menyapanya lebih dahulu, tapi lidahku terasa kelu. Tak mampu berucap sepatah katapun.

"Maaf."

Mendengar itu, aku yang mulanya tertunduk dalam, segera mengadahkan kepalaku.

"Saya minta maaf buat yang kemarin. Nggak seharusnya saya kaya gitu ke kamu."

Aku terdiam, menatap matanya yang menunjukkan penyesalan. Ezra tersenyum tipis kepadaku, lalu ia bergegas pergi, berjalan melewatiku. Ia pergi meninggalkan aku yang masih terdiam mematung.

I Still Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang