VII

1.3K 181 18
                                    

Sanji terbangun dengan tangan melingkari pinggangnya dari belakang. Napasnya tercekat kini setelah ingat apa yang ia perbuat semalam penuh. Ketika Zoro berkali-kali membisikkan namanya, ketika mendekapnya erat, ketika menciumi pucuk kepalanya. Ia merasa hangat. Rasanya seperti ada kupu-kupu berterbangan dalam perutnya.

Fakta bahwa ia tidak membencinya adalah hal baru. Sanji tidak benci menjadi seorang submisif di bawah kendali pria alpha.

.
.

Matanya memandang komputer tanpa berpaling. Ia tidak benar-benar membaca substansi dari proposal yang diterimanya. Pikirannya pergi entah kemana, mengapung di langit-langit. Kemudian Sanji kembali pada kesadarannya ketika pintu dibuka. Matanya berbinar bahagia ketika melihat Nami dan Robin masuk bersamaan ke dalam ruangannya.

"Butuh sesuatu?" ia segera bertanya.

"Pulpen,"

Sanji memiringkan kepalanya. "Pulpen?" ia bertanya lagi, sekedar mengonfirmasi.

"Iya," tanpa disuruh mereka segera duduk di depan Sanji. Senyum mengembang di wajah Nami. Ia sedikit menyenggol Robin dan tertawa kecil. "Baumu beda hari ini,"

Si pirang langsung mengendus bajunya, mencari tahu apa ada bau tidak enak keluar darinya. "Apa baunya membuat tidak nyaman?"

"Seperti ada seseorang yang berusaha menempelkan baunya padamu, agak posesif," Robin menggunakan pulpen yang dipinjamnya untuk mengisi suatu dokumen.

Sanji memerah. "B-benarkah? Apa sejelas itu baunya?"

"Kalau alpha sudah pasti bisa menciumnya!" Nami mengibaskan tangan di depan Sanji, meminta pria itu untuk tidak panik. "Beta jarang bisa membedakan bau, indera penciuman alpha memang jauh lebih baik,"

"Kau punya mate?" tanya Robin tanpa berpaling dari kertasnya.

"Tidak,"

"Aah padahal kita pikir sudah ada, baunya sekuat itu jadi kupikir kau mau berbagi cerita tentang mate barumu ini," Nami mulai mengeluh.

Robin tertawa pelan. "Bukan mate tapi baunya sudah sekuat ini, aku jadi penasaran orang macam apa yang mampu membuatmu seakan jadi propertinya tanpa harus bonding,"

Orang yang seperti Zoro tentu saja.

Tapi Sanji tidak mengatakannya dan tetap mengunci mulutnya rapat. Biarlah adegan semalam tetap menjadi rahasia mereka berdua, paling tidak tentang hal-hal yang mereka lakukan di atas ranjang harus dirahasiakan.

.
.

"Jadi kau sudah punya mate?" Law meneguk kaleng kopinya sampai habis kemudian membuangnya di tong sampah. Sanji mengeluarkan rokoknya dan menawarkan sebatang pada dokter di sampingnya. Law mengambil satu batang kemudian menyalakannya dengan pemantik api milik Sanji.

"Dokter boleh merokok?" Sanji mendengus.

Law tersenyum. "Sesekali."

"Ya ya aku tidak akan menghakimi, lakukan apapun yang kau mau," si pirang menghisap rokoknya sambil menatap pemandangan jalanan ramai di depan gedung.

"Kembali ke topik, kau sudah punya mate?"

Sanji menggeleng. "Tidak ada untuk saat ini."

"Baumu berbeda."

"Aaah! Aku sudah dengar itu berkali-kali!" Sanji memukulkan tangannya pada bahu dokter tersebut. "Memang baunya bagaimana sih?"

"Entahlah... pinus? Hujan? Citrus?"

"Berarti baunya enak kan,"

Law terdiam sesaat sebelum bertanya. "Kau melakukannya dengan seorang pria ya?" ia menghisap nikotin yang diapit di antara dua jarinya.

Sanji tercengang mendengarnya. "Kau bisa tahu hanya dengan mencium baunya?"

"Haha tidak usah kaget begitu, hanya beberapa orang yang bisa tahu pasanganmu dari bau, lagipula hanya alpha yang bisa begini," Law tertawa, menenangkan si pirang yang sudah kepalang kalut. "Biasanya hal seperti ini juga bisa mempermudah kerja dokter,"

"... kau ada masalah lagi?"

Law terdiam sebentar sebelum menghela napas panjang. "Aku tidak bisa menyembunyikan apapun darimu ya," senyum yang terukir di wajahnya nampak terpaksa.

"Omega lebih peka."

.
.

Sudah beberapa hari ini Zoro disibukkan dengan proyeknya. Menjadi asisten pengajar tidaklah mudah. Zoro baru-baru ini diterima setelah mengeliminasi beberapa peserta lainnya. Ia bekerja bersama Mihawk dan membantu mengajarkan kelas ketika Mihawk berhalangan untuk hadir. Hal ini berbuntut pada Sanji yang mulai bosan ditinggal si hijau. Sanji kesepian dalam apartemen luasnya sendirian. Ia merindukan sesi cuddle mereka tiap heat Sanji datang. Sekarang ia terpaksa menghabiskan waktu heat-nya sendirian lagi.

Seminggu yang lalu Zoro sempat menemaninya dan bahkan mereka kembali melakukan kegiatan intim bersama. Walau belum melakukan bonding dan bahkan belum berstatuskan kekasih, Sanji sudah senang hanya dengan sentuhan-sentuhan yang diberikan Zoro. Pria itu tahu bagaimana cara memuaskannya.

Tapi sekarang rasanya sepi.

Sanji menatap atap. Tiba-tiba notifikasi masuk ke ponselnya. Sanji segera membukanya, membaca isi pesan yang tertera. Kemudian ia ambil jaket di atas meja dan pergi keluar dari apartemen.

Sanji mengendarai mobilnya hingga tiba di depan sebuah warung kecil. Setelah memarkirkan mobilnya, ia turun dan menggeser pintu. Ketika masuk, Law sudah duduk di salah satu kursi dan sebelah tangannya dilambaikan. "Ayo pesan okonomiyaki, aku yang traktir," ia tersenyum, memundurkan kursi supaya Sanji mudah duduk.

"Okonomiyaki yang pakai keju satu,"

"Oke, keju satu dan cumi satu, oh dan dua gelas bir terima kasih," Law membacakan pesanan. Kemudian ia menoleh pada Sanji. Tangannya menopang wajah dan mengeluarkan ponsel untuk mengambil foto pria kuning cepat.

"Hei! Kau ambil fotoku diam-diam ya?"

"Koleksi," jawab Law singkat.

"Jadi kenapa kau mau bertemu?" Sanji meminum birnya, memutuskan tidak mempermasalahkan foto tersebut lebih lanjut.

"Harus ada alasan untuk bertemu?"

"Tidak mau curhat?"

"Tidak."

Sanji kembali meneguk isi gelasnya hingga setengah. Ia mulai membuka cerita tentang ketidakhadiran Zoro dan hal itu membuatnya frustasi entah kenapa. Padahal jadian saja belum. Zoro juga jarang membuka ponsel dan mengabarinya. Law mendengarkan sambil ikut meneguk isi gelasnya. Sampai kedua okonomiyaki mereka selesai dan siap dimakan.

"Makan dulu, nanti saja lanjut nangis," si dokter menepuk bahunya pelan. Dua sudut bibir si pirang tertekuk ke bawah.

.
.

Sanji tidak tahu bagaimana ia bisa berakhir di kamar Law dalam keadaan tanpa busana. Pria pemilik kamar sendiri tengah berdiri di depan cermin sambil mengancing kemejanya. "Law?" suara Sanji parau. Kekehan kecil keluar dari bibir Law ketika mendengarnya. "Mau kemana?"

Ia berbalik dari cermin dan memandang Sanji. Buru-buru si pirang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, merasa pandangan Law begitu menusuk seakan tengah menelanjanginya. "Aku benar-benar tidak mau meninggalkanmu, tapi ada panggilan dari rumah sakit, pasien kecelakaan."

Sanji menarik ponsel yang diletakkan di atas nakas. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. "Hari ini kantormu libur kan? Tidurlah lagi," Law mendekat untuk mengecup dahi si pirang. Sanji tidak berkutik—lebih seperti membeku—ketika mendapatkan perlakuan kelewat romantis dari Law. Rasanya janggal.

Ia tidak sempat bertanya karena Law sudah pergi meninggalkannya sendirian. Sanji turun dari kasur dan mengambil bajunya yang tersusun rapi di atas meja. Perlahan ia mengenakannya kemudian membuka pintu kamar, pergi keluar meninggalkan kamar tersebut. Tanpa Sanji ketahui, sebuah kamera kecil dalam posisi menyala diletakkan di antara sela rak buku di samping tempat tidur.

Your F***ing Mate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang