Zoro tidak mengerti ia berjalan ke mana ketika malam tiba. Pikirannya melayang, pergi mencari tahu apa yang terjadi pada Sanji di insiden malam kala itu. Cokelatnya memandang jalanan di depan, kakinya melangkah membawanya kembali ke rumah sakit tempat Sanji dirawat. Perlahan ia memasuki lobby yang masih ramai akan pasien. Matanya menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan orang yang lalu lalang. Kemudian ia menginjak elevator, memencet lantai tempat kamar Sanji berada. Ketika sudah sampai, tangannya malah meragu. Kenop tak kunjung ia sentuh. Daun pintu pun tak kunjung ia ketuk. Perutnya terasa bergejolak. Sebuah boneka di tangan kanannya ia pegang erat. Pada akhirnya dengan pelan ia membuka pintu, menemukan tidak hanya si pirang yang berada di sana sedirian.
Dokter berambut hitam yang ia temui siang ini duduk di atas sofa dengan kepala menunduk dan tangan dilipat di depan dada, terlelap. Zoro melempar pandang pada tubuh berselimut di atas ranjang putih rumah sakit. Kemudian ia menyeret langkah mendekati sosok pirang tersebut. Tangan kirinya mulai mengelus lembut wajah di depannya. Senyum terpatri di wajahnya ketika ia lihat Sanji menggosokkan wajahnya ke permukaan telapak tangannya tanpa sadar. "Zoro..." kata itu kemudian terucap dari belah bibirnya. Bisik yang bergema dalam kamar gelap itu mampu membuat Zoro berdebar. Tangannya sekali lagi menyentuh pipi Sanji sementara wajahnya sendiri diwarnai semu kemerahan.
Aku benar-benar ada di bawah kontrolmu.
Sejak bertemu dengan Sanji, Zoro merasa pria itu telah mengontrol kehidupannya. Serpihan mengenai si pirang yang semula mengitari kepalanya mulai membentuk sebuah gambar yang jelas, membawanya menyelam dalam kehidupan yang dijalani sang direktur. Kini bayang mengenai Sanji selalu menghantuinya. Ia merasa kehilangan kontrol tiap manik biru itu menariknya tenggelam ke dasar samudra, menatapnya penuh kasih. Ini bukan tentang Sanji seorang omega dan ia seorang alpha, hubungan mereka lebih dari itu.
Wajah pucat Sanji berpendar kebiruan akibat cahaya rembulan dari jendela. Netranya masih menelusuri dua mata yang memejam, memperhatikan napas teratur dari si pirang. Tanpa Zoro sadari bibirnya semakin mendekati kurva Sanji, menciuminya pelan, lembut, seakan pria itu mudah rapuh. Saat ia mengangkat wajah, air mata lolos dari dua netra tembaganya. Ia meletakkan boneka beruang yang baru saja dibelinya di sisi kasur, memposisikannya senyaman mungkin. "Aku akan jadi lebih kuat, untukmu..." bisiknya kemudian.
Ia berbalik, meninggalkan kamar Sanji. Ketika pintu ditutup, Law menghela napas, menatap lantai dengan pandangan kosong. Tubuh sang dokter kemudian bersandar pada sofa. Sebelah tangan mengusap wajah dan kepalanya menengadah, melihat langit kamar yang diwarnai biru gelap. Lalu ia kembali menutup mata.
.
."Terima kasih," Sanji tersenyum mendapati bunga yang dibawakan beberapa karyawan kantornya. Tangannya memeluk erat boneka beruang yang disenderkan di samping kasur dengan mata biru mengitari seluruh ruangan yang dipenuhi bunga.
"Kau membuat kami khawatir! Kenapa tidak langsung mengabariku hah?!" Nami hampir saja melemparkan sebuket bunga pada tubuh si pirang kalau ia tidak ingat pria itu masih dalam proses penyembuhan. Air menggenang di sudut matanya.
"Aku belum sempat saja," ia tertawa. Kemudian tangannya mengayun, meminta gadis alpha tersebut mendekat. "Nanti aku mau berbicara empat mata denganmu," bisiknya. Nami menatap sebelah iris biru laut yang memandanginya dengan serius. Ia menarik napas dalam sebelum mengangguk, menyetujui.
Setelah Sanji menghabiskan beberapa menit dengan pegawai lainnya, Nami mulai mendorong semua temannya keluar dari kamar pasien. Ia melambaikan tangan di depan pintu sebelum mendorongnya pelan, menciptakan ruang hanya untuk berdua. Haknya menginjak lantai dengan tegas, berjalan ke arah sofa. Ia merapikan roknya sebentar sebelum duduk dan menyilangkan kedua kaki jenjangnya. "Jadi?" tanyanya penasaran. Apa kiranya yang membuat sang direktur ingin melakukan percakapan personal dengan raut seserius itu.
"Masih ingat Austin?"
Alis Nami bertaut. Seingatnya pria itu sudah dipecat beberapa bulan yang lalu. Tidak hanya insiden dengan sang direktur yang memantik api itu, ada pula laporan masuk mengenai pelecehan lainnya yang dilakukan Austin hingga perusahaan mengambil keputusan untuk memecatnya. Bajingan itu pantas mendapatkannya. Alpha sampah yang melakukan sesuatu di luar konsen sepertinya memang sudah sejak awal harus dikeluarkan. Baru-baru ini bahkan ia dengar seorang pegawai yang telah lama keluar pernah mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari Austin. Sayangnya suaranya tak didengar oleh pimpinan perusahaan maupun pihak kepolisian, menyebabkan ia keluar dari pekerjaannya. Posisi Sanji sebagai direktur—walau jelas ia seorang omega— cukup menjadi alasan Austin dikeluarkan dengan tidak hormat dari perusahaan. Pasti pria itu menyimpan dendam...
Tiba-tiba terlintas hal yang kini mulai terdengar masuk akal di kepala pemilik rambut oranye.
"... pelakunya adalah Austin," Nami tersentak dengan suara yang keluar dari bibirnya sendiri. "Apa aku harus melaporkannya pada kepolisian?"
Sanji terdiam sebelum melanjutkan, "Pelakunya bukan hanya dia, ada sekelompok beta..." tangannya semakin mengeratkan pelukan pada boneka beruang, berusaha menutupi wajahnya. Dua bibir Sanji melengkung ketika mengingat pengalaman malam itu. Air matanya mendesak ingin keluar. Dadanya terasa sesak ketika berusaha membuka diri, menceritakan hal tersebut.
"Sanji..."
Tenggorokannya tercekat ketika ia berusaha menyampaikan permintaan tolongnya yang terdengar begitu menyedihkan. Ia belum pernah berada di titik serendah ini dalam hidupnya. Air mata akhirnya lolos juga setelah ia tahan sekuat tenaga. Nami mendekat, mengalungkan lengannya ke tubuh sang omega, menariknya dalam sebuah pelukan hangat. Keduanya terdiam dalam posisi yang sama untuk waktu yang cukup lama.
.
.Tiga hari setelah itu akhirnya Sanji diperbolehkan pulang. Pria pirang tersebut menunggu dengan tenang di kamarnya, tangan masih juga memainkan boneka dalam pelukannya. Ia menggoyangkan kaki, menunggu kedatangan si hijau yang berjanji akan segera menjemput. Senyumnya mengembang ketika dilihatnya pemuda berambut hijau memasuki pintu.
"Sanji ternyata suka boneka, hm?" goda Zoro, mendekati si pirang, memanggil pria itu dengan namanya seakan ia seorang bocah. Sanji menggunakan boneka dalam genggamannya untuk memukul tubuh sang alpha. "Haha maaf maaf," ia mendekap si pirang sebelum menjulurkan tangan.
"Gentleman," Sanji menyambut uluran tangan. Ia turun dari ranjang putih dan berjalan di samping Zoro, di samping kekasihnya.
~•-•~
Maaf aku lupa ngelanjutin, makasih yang ud ngingetin :"
KAMU SEDANG MEMBACA
Your F***ing Mate (HIATUS)
FanfictionSanji berani bersumpah ia hanya mencintai wanita. Hidup bergelimang harta, memiliki jabatan tinggi di perusahaan, tampan dan sempurna di segala hal sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak menyangka semuanya akan berbeda ketika suatu hari ia ban...