XII

1K 152 11
                                    

Sanji selalu suka sensasi hangat tangan Zoro yang melingkari perutnya. Ditambah lagi suasana pagi dalam kondominium privat miliknya. Tidak seasri dan seindah kamar Zoro, tapi setidaknya nyaman dan empuk. Ia berbalik, tetap menahan tangan Zoro agar memeluknya. Pelan, ia menyentuh kerutan yang tercetak di antara dua alis Zoro yang bertaut. Jarinya memijat pelan hingga ekspresi Zoro berubah semakin rileks.

Lalu tangannya bersandar pada dada Zoro, memperhatikan wajah yang menjadi pasangan bercintanya semalam. Ia tahu persis wajah ini banyak menarik perhatian. Rahang tegas, batang hidung tinggi, ditambah lagi dengan luka panjang membentuk vertikal di area mata kirinya. Ia mengusap rambut hijau pendek di depannya. Apa boleh ia berharap suatu hari nanti dapat mengandung bayi dari pria ini?

Membangun keluarga tidak terdengar buruk bila dilakukan bersama Zoro.

Kriing!

Bibirnya mengerucut ketika ia mendengar bel berbunyi nyaring. Zoro yang awalnya tertidur pulas pun akhirnya ikut mengerjap, terbangun akibat suara bel rumah yang Sanji letakkan dalam kamar. Si pirang menarik kain apapun yang sedekat mungkin dengannya untuk menutup pinggang ke bawah. Ia berjalan keluar kamar untuk menghampiri asal suara, agak menggerutu.

Tangannya menarik gagang pintu, ingin segera melihat siapa yang datang bertamu di pagi buta seperti ini.

"Pagi Sanji!"

Sapaan dari gadis berambut oranye di pintu lift membuat jantungnya nyaris tidak berfungsi. Sial, ia lupa sudah memberikan kunci elevator cadangan pada Nami. Tepat di samping gadis itu, Robin berdiri sambil tersenyum halus ketika melihat perawakannya. Bagaimana tidak, Sanji membuka pintu hanya bermodalkan sebuah handuk sebagai pakaiannya. Banyak pula bercak merah menuju ungu di sekitar badannya. Tidak hanya itu, bekas gigi juga tercetak jelas di beberapa bagian tubuhnya.

"Ayo pesta sushi," tanpa membiarkan pemilik rumah memberi penjelasan, Nami melesat masuk ke dapur dengan membawa dua plastik berisi makanan berbahan dasar ikan dan nasi.

Sanji menggaruk belakang kepalanya sebelum berbalik masuk ke dalam kamar untuk mencari pakaian. "Zoro, ayo pakai bajumu, kita makan sushi," ajak si pirang.

"Hah... Sushi?" tampaknya alam bawah sadar Zoro masih berkeliaran di alam mimpi.

Setelah beberapa lama mempersiapkan diri, Sanji keluar dengan tangan menggandeng milik Zoro. Mereka duduk di depan kedua gadis alpha yang masih menyebar senyum curiga. Tapi Sanji tidak memedulikannya. Ia terus menyuap sushi masuk ke dalam mulutnya.

"Siapa ini?" tanya Nami, tertarik dengan sosok baru yang memasuki area rumah Sanji.

Si pirang terdiam sejenak. "Perkenalkan, ini Zoro. Zoro, ini Nami dan Robin,"

Robin tersenyum miring. "Kau tampak familiar, kenal Luffy?"

Zoro tersedak minumannya sendiri ketika mendengar nama sahabatnya diucapkan. "Aku temannya," jawab Zoro pelan. Ia kembali mengunyah sushi di atas meja.

"Luffy yang itu?" tanya Nami.

"Luffy yang itu tentu saja."

"Ah, ya... sejak kapan preferensimu ganti jadi laki-laki?" Nami mengganti topik secepat kilat.

Giliran Sanji yang tersedak.

.
.

Benar juga pertanyaan Nami. Sejak kapan preferensinya berganti menjadi laki-laki? Ditambah lagi ia tertarik pada sosok yang tak mencerminkan perempuan sama sekali. Tubuhnya kasar dan tinggi dengan otot natural yang menyembul dari sela lengan, perut, bahkan kaki. Wajahnya tampan dengan rahang apik menyempurnakan figur maskulinnya. Dan tentu saja pria itu tidak mendesah seperti banyak perempuan yang sering ia ajak tidur sebelumnya. Malahan Sanji yang dibuatnya mendesah.

Tapi tidak ada laki-laki lain yang membuatnya berdebar selain Zoro. Laki-laki lain selain Zoro...

Law?

Ah tidak.

Sanji berhenti menyeruput kotak jusnya. Law tidak lagi menghubunginya. Mereka juga hampir tidak pernah berpapasan. Terakhir kali bertemu itupun saat sang dokter mengantarkannya ke kantor. Paru-parunya meraup napas sebanyak mungkin sebelum ia berdiri dari sofa dan berjalan mendekati kekasih barunya yang masih disibukkan dengan tugas. Tangannya melingkari pundak si hijau dari belakang sebelum memberi kecupan ringan di pipi kanan.

"Kenapa?" tanya Zoro.

"Aku mau pergi ke grocery store, mau titip?"

Zoro berhenti mengetik sebentar seakan berpikir. "Bir saja," jawabnya kemudian. "Tidak perlu kutemani?" ia bertanya dengan gestur cemas. Tangannya sudah maju untuk menutup layar laptop.

"Aku bukan anak kecil, Zoro. Lebih tua darimu malah," Sanji menjulurkan lidahnya, mengejek sang aplha yang kerap khawatir berlebihan padanya. Ia segera mengenakan sepasang sneakers-nya dan pergi meninggalkan si hijau sendirian dalam apartemennya.

Kakinya melangkah ringan menuju area parkiran untuk segera mengendarai mobilnya menuju toko bahan pangan. Ia melewati jalanan yang cukup sepi, mengakibatkan perjalanan menuju toko itu tergolong singkat. Ketika sudah sampai, ia turun dan mengunci mobil kemudian menarik troli yang tersusun rapi di bawah sebuah pohon besar. Sepatunya menginjak paving yang panas akan sinar matahari. Ia menyentuh pipinya yang mulai menghangat karena terlalu lama berjalan di bawah terik matahari. Dengan cepat ia bergegas masuk ke dalam toko, berlindung dari sinar yang kini menusuk kulitnya lewat pakaian hitam yang ia kenakan.

Dingin AC di dalam toko luas itu membuat moodnya naik. Ia berjalan mengitari sekitar tempat daging merah. Matanya memandang etalase freezer, mulai memilih. Baru saja tangannya ingin mengambil salah satu daging, sebuah tangan lain menariknya lebih dulu. Agak terkejut dan tersinggung, Sanji menoleh, hanya untuk mendapati Law berdiri canggung di sampingnya.

"Uhh.. kau mau daging yang ini?" Law bertanya. Tapi Sanji tak menjawab dan masih juga tercengang dengan kehadiran si surai arang yang berdiri tepat di sampingnya. Dokter satu itu menghela napas dan memasukkan daging yang sudah di ambilnya ke dalam troli milik si pirang. "Kau ambil saja kalau begitu."

Baru saja ia mau berlalu pergi, Sanji memegang tangannya erat, tidak membiarkan si dokter pergi begitu saja tanpa penjelasan. "M-mau makan es krim bersamaku?" tawarnya.

.
.

"Sex tape yang kau rekam mau digunakan untuk apa?" tanya Sanji sembari menjilat es krim di tangannya, berusaha mengonfrontasi Law.

Sudut bibir Law tertarik ke atas, hanya membentuk senyum tipis. "Koleksi pribadi, kau dapat bertaruh apapun padaku,"

Tapi Sanji membisu ketika melihat ekspresi yang tergambar di wajah sang dokter. Beberapa saat ia berhenti menjilati es krimnya dan hanya menatap Law, membiarkan tetesan vanilla jatuh ke sela tangannya.

"Kau menyukaiku?"

Pertanyaan yang sama dengan yang ia lontarkan pada pria yang kini berubah status menjadi kekasihnya.

"Suka..." Law menatap jendela kaca besar di samping mereka. Dokter itu menarik napas dalam. "Entahlah, aku tidak tahu rasa suka itu bagaimana. Berdebar ketika bersamanya? Keinginan hanya untuk menatapnya? Harapan egois untuk memonopolinya?"

Kemudian ia memalingkan wajah dari jendela. Kini keduanya bertatapan. Antara biru laut dan amber hangat.

"Ya, aku merasakan semua itu jika melihatmu."

Sanji merasakan jantungnya berpacu lebih cepat.

Your F***ing Mate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang