X

996 158 16
                                    

Law tidak sejahat itu meninggalkannya sendirian dalam kondisi kotor. Ia mengangkat tubuh Sanji dan membawanya masuk ke kamar mandi lalu mengguyur seluruh tubuhnya dengan air. Tangannya menarik sabun cair dan mulai membersihkan tubuh berkulit pucat dengan bath scrub. Setelah memastikan seluruh tubuh Sanji bersih, Law mulai menggosok rambut pirang dengan shampoo. Perlahan Sanji mengerjap, kesadarannya mulai pulih. Namun ia tetap terdiam tidak bersuara.

"Ada yang sakit?" tanya Law.

"... tenggorokanku."

"Setelah ini berendamlah dulu dengan air hangat, nanti kubawakan minum," Law membasahi rambut Sanji dengan air. Kemudian ia berdiri dan berjalan menuju bathub untuk menyalakan keran air.

"Kau menyebalkan," keluh Sanji. Tapi ia tidak terlihat membencinya.

"Karena mengurusmu?"

"Karena tidak mendengarkanku."

"Hah," tawa kecil lolos dari bibir Law.

Sanji terdiam sejenak. Ia menguap, merasakan kantuk yang menerjang. Matanya berkedip kecil. "Aku mau tidur.." ujarnya. Law mendekati Sanji dan menggendong tubuh yang lebih ramping darinya. Ia meletakkan si pirang ke dalam bathtub yang sudah diisi sabun dengan aroma lavender. Sanji langsung merasa nyaman ketika kulitnya menyentuh permukaan air busa. Senyum tipis tersungging di bibirnya.

Law beranjak pergi meninggalkan si pirang sendirian untuk mengambilkan segelas air. Sanji menatap langit-langit atap. Ia memejamkan mata. Haruskah dia pura-pura tidak tahu kalau Law merekam kegiatan mereka semalam?

Ah biarlah.

.
.

Keesokan harinya Sanji kembali ke kantor, ia tidak banyak menghabiskan waktu di rumah Law. Usai mandi, ia kembali tidur karena waktu masih menunjukkan pukul 11 malam. Pagi harinya ia dibangunkan oleh Law, pria itu berniat berangkat ke rumah sakit sekaligus mengantar Sanji. Jadi Sanji meminjam pakaian Law dan berangkat ke kantor seperti biasa.

"Pagi pak!" sapa Gin. Pria itu biasa datang ke kantor paling pagi. Bahkan ia sering datang saat matahari belum menunjukkan diri.

"Oh pagi," Sanji tersenyum balik menyapa.

"Anda baru datang dengan siapa?"

Sanji menoleh ke belakang, melihat mobil Law masih terparkir di samping gedungnya, menunggu hingga Sanji benar-benar masuk. "Oh hm..." dengan canggung ia segera mengalihkan pandang. "Dokter dari rumah sakit sebelah," jawabnya.

Ia menyegerakan diri masuk ke dalam gedung untuk meninggalkan pandangan yang tertuju padanya. Gin hanya ikut membuntuti sang direktur dari belakang tanpa banyak bertanya lebih lanjut.

Begitu masuk ke dalam ruangannya, Sanji duduk dan memijat rahangnya yang pegal. Ia belum terbiasa melakukan blowjob. Selama ini partner laki-lakinya adalah Zoro dan oh Tuhan, ukuran pria itu bisa membuat rahangnya lepas. Wajah Sanji memanas mengingat hal yang Law lakukan semalam. Kedua tangannya menangkup pipi, cemas kalau bau si alpha menempel juga padanya.

.
.

Seminggu kemudian, setelah penelitian Zoro yang memakan waktu tiga hari berakhir, ia mengajak Sanji untuk kembali ke Art Pottery untuk mengambil tembikar mereka yang sudah mengering. Seperti biasa, Sanji memasuki toko digandeng Zoro. Mereka diantar menuju ruangan terbuka dengan cat-cat khusus dan diberikan kuas.

"Jangan cat bagian bawahnya, nanti bersihkan pakai ini," ujar Zoro, memberikan sponge dan air. Sanji menuruti perkataan Zoro. Dengan tenang ia mulai mewarnai mangkuk di samping si hijau, sesekali melihat cara Zoro mewarnai gelasnya.

"Nanti kita tukar ya, aku buat ini untukmu," Sanji tersenyum puas, memamerkan miliknya. Si hijau tertegun untuk sesaat, merasa bahwa senyum Sanji seakan menerangi seluruh ruangan. Ia memalingkan wajah, tidak tahan untuk ikut tersenyum. "Hei Zoro," panggil Sanji.

"Ya?"

"Melakukan kencan kecil bersamamu terasa menyenangkan," ujarnya sambil tetap fokus mewarnai mangkuk tanah liat. "Aku juga menyukaimu,"

Zoro hampir saja memecahkan cawan gelasnya kalau Sanji tidak spontan menangkap. Wajahnya diwarnai merah terang, bersemu malu. "Jangan berkata apapun dulu, aku belum melanjutkannya..." potong Sanji, kembali menyodorkan gelas milik surai hijau.

"Tapi aku juga berhubungan dengan orang lain," lanjutnya. "Aku melakukannya dengan laki-laki lain, kau masih menyukaiku?" ia berhenti melukis dan menatap Zoro tajam dari sela lensa safirnya, menunggu jawaban dari si hijau.

Zoro tidak segera menjawab pertanyaan itu tapi malah menggambar isi dalam gelas. Dua bibirnya masih terkunci rapat ketika ia berfokus pada dasar gelas. Setelah beberapa menit akhirnya ia menarik napas dalam dan tersenyum simpul.

"Menyukaimu itu bukan sesuatu yang bisa kukontrol, selama kita belum bonding kurasa tak akan ada masalah."

Kini Sanji yang tersipu. Ia memandang Zoro dengan senyum lebar. Kemudian tangannya kembali fokus mewarnai mangkuk dan perutnya dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan.

.
.

Sanji memperhatikan gelas keramik yang Zoro berikan padanya. Ia tersenyum dan memutar gelas itu, memperhatikan tiap detail dari lukisan si pemuda hijau. Kemudian ia melihat isi dalam gelas, ingin tahu apa yang Zoro lukis di dalamnya. Tawa kecil keluar darinya begitu ia sadar sebuah gambar hati kecil terletak di dasar gelas. Ia menolehkan kepalanya, melihat Zoro yang juga sedang sibuk mengagumi hasil karyanya dengan campurna warna biru terang, warna sakura, dan putih bangau.

"Bagaimana?" tanya Sanji.

"Bagus sekali, aku suka."

Sanji meletakkan gelasnya ke atas pangkuan dan tersenyum kecil. Kedua tangannya menangkup gelas dan kepala menunduk. Kemudian ia mengangkat wajahnya dan bersandar pada setir kemudi mobil dengan netra biru memperhatikan hijau. "Mampirlah ke rumahku lagi," ujarnya.

"Kau mau melakukannya?" tanya Zoro.

Mata si pirang menyipit begitu ia tersenyum. "Tapi aku mau coba sesuatu yang baru, malam ini mungkin heat-ku,"

"Ya tentu saja, malam ini aku sedang kosong."

"Aku ingin menggodamu nanti malam, boleh kan?" ia mendekat, menggerakkan jarinya di antara dada yang lebih bidang.

Kemudian sebuah seringai tercetak jelas di wajah yang lebih tegas. Tangannya terulur, meraba pantat sintal Sanji yang terekspos ketika ia bersandar padanya, menyebabkan si pirang terkesiap dan desahan meluncur keluar begitu saja dari belah bibirnya. Ia melayangkan cubitan pada pipi yang lebih muda. "Dasar cabul, aku bilang di rumah! Bukan di mobil!"

"Tapi kau selalu menggodaku, tidak perlu menunggu malam," bisik Zoro tepat di telinganya. Tubuh Sanji gemetar ketika bisikan rendah Zoro membuatnya geli hingga ke tulang. Ia kembali duduk di jok mobil dan menarik seatbelt. Bibirnya mengerucut lucu, menahan rasa malu yang meluap.

Your F***ing Mate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang