XV

622 98 13
                                    

TW! Rape/violance

.
.

Tangannya mengelilingi gelas kecil berisi whiskey sour di depannya. Sesekali kukunya mengetuk pinggiran kaca dari gelas tersebut, memperhatikan pantulan ungu neon dari kacanya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang wajah, bersandar pada counter dengan tampang bosan. Carrot tak kunjung kembali padahal makanan sudah disiapkan di atas meja. Merasa ada yang tidak beres, Sanji berdiri dari posisi duduknya untuk melangkah keluar menyusul kepergian Carrot.

Ia mendekati kamar mandi namun nihil, pintu terbuka dan isi kamar mandi sudah kosong. Tidak ada tanda keberadaan siapapun di sana. Ia melongok, melihat keluar gang di samping kamar mandi, berharap-harap cemas dapat menemukan jejak si gadis pirang. Lirih jerit tersiksa ia dengar dari ujung jalan, di tepi jalanan, kemungkinan besar bersembunyi di balik gang kecil lainnya.

Kaki Sanji berlari menyusuri malam di pesisir pantai. Harapannya masih belum juga pupus untuk menemukan Carrot. Jeritan lirih yang semula ia dengar semakin jelas di telinga. Ia memasuki salah satu gang, memasang wajah dipenuhi amarah ketika melihat seorang gadis berambut ebony dalam keadaan setengah telanjang hanya dengan sebuah bra dan celana dalam. Dia tampak menangis sesenggukan. Darahnya semakin mendidih menyadari ada darah di sela hidung Carrot dan sebelah mata yang membiru.

"Carrot, bawa dia pergi,"

Carrot menatap Sanji dengan air mata yang tumpah begitu saja. Sudah sejak awal ia menahannya demi tetap terlihat kuat untuk menyelamatkan gadis asing yang ditemuinya. Tangannya menyentuh lengan gadis tersebut, memaksanya untuk pergi bersama. Namun sekali lagi sebuah tendangan dilayangkan pada kedua betisnya.

"Mau pergi kemana hah?!"

Manik Sanji berkilat begitu melihatnya. Ia berlari kencang dan melayangkan tendangan telak di perpotongan leher pria tersebut, menjatuhkannya ke atas jalanan beraspal dan mendorong tubuh Carrot. "Menjauh, pergi yang jauh, cari klinik." Tangannya menggamit tangan gadis berambut pirang, menyusupkan dompetnya di antara tangan yang lebih mungil.

Ia kembali menatap kumpulan pria di depannya yang sudah siap dengan senjata dalam genggaman. Sanji menarik napas dalam dan meludah. Ini akan menjadi malam yang panjang.

.
.

Kakinya berputar di langit sementara tangannya menjaga keseimbangan tubuh, menendang dengan cepat dengan gerakan kilat. Tanpa menggunakan tangan maupun senjata sama sekali, ia mampu merobohkan 3 dari 10. Sayangnya napasnya sudah tersengal dan paru-parunya mulai sesak dengan rasa pedih menyengat. Ia jadi ingat, mereka sempat melayangkan pukulan dengan benda tumpul pada dadanya. Sakit.

"Sialan, rasanya sakit sekali tahu!" Sanji semakin kesal dan kembali mendaratkan kakinya pada kepala salah satu orang.

Dalam pertarungan itu, mendadak sebuah tangan berhasil menangkap pergelangan kakinya, menahan pergerakan Sanji dengan cengkraman kuat yang niscaya mampu mematahkan tiap sendi tulangnya. "Kau omega kan?" tanyanya dengan seringai angkuh di wajah.

Ia tidak menjawab. Memilih membisu ketika seluruh pandang tertuju padanya.

Feromon mendadak menguar dari tubuh pria yang menahannya. Sanji menggigit bibir bawahnya, menahan insting omega yang mendesak keluar. Dia tidak sadar seorang alpha tersembunyi di antara sekumpulan beta brengsek ini. Posisi bertahannya akhirnya runtuh juga dengan tubuh jatuh ke atas tanah. Tangannya mengepal di atas aspal, ingin segera melukai diri sendiri dengan menggosokkan kulit pada permukaan kasar.

Rambut cokelat dari pria alpha tersebut berayun ketika angin semilir bertiup dari arah laut. Ia berjongkok, tangannya terulur untuk menyentuh dagu Sanji, memandang wajah omega yang berlutut di depannya. "Pak, rasanya deja vu ya?" senyum tercetak di wajahnya, masih memaksa Sanji untuk kembali melihatnya walau si pirang nampak tak sudi disentuh olehnya, seakan dia hina.

Sanji mengernyit. Di antara gelapnya gang sempit itu ia tidak mampu melihat dengan jelas siapa saja yang menjadi lawan bertarungnya. Namun bulan kini sudah sedikit memberi penerangan, memperlihatkan dengan jelas siapa yang tengah mengontrolnya.

"Business trip?" tanyanya ramah.

"Bukan urusanmu sialan,"

"Tidak bisakah anda lembut sedikit, tidak ada salahnya bersikap berdasarkan kodrat omega kan," tawa rendah keluar begitu saja darinya. "Menjadi penurut, bertutur lembut, tidak memandangku seperti itu.." geramnya kemudian.

Bibir Sanji membentuk seringai mengejek. "Seperti apa? Memandangmu seperti kau di bawahku?"

"Jaga perkataanmu," ia melayangkan tamparan pada permukaan pipi putih Sanji, membuat si pirang terkejut begitu mendapatkan tamparan dari alpha yang mengendalikan tiap insting seksualnya. Ia terkesiap dan pandangannya kosong. "Dengan luka begini pun anda tetap indah."

Si pirang bergidik mendengarnya. Bunyi yang ia keluarkan berubah menjadi rintihan kecil seperti sedang mengalami heat. Tangan alpha di depannya menarik helai pirang Sanji, menjambaknya hingga lehernya terasa seperti mau patah. "Kau menikmatinya kan, dasar jalang," bisik pria itu, tidak membiarkan teman sekelompoknya mendengarkan perbincangan mereka barusan. Ia kembali berdiri dan menendang tubuh Sanji hingga si pirang terkapar di atas aspal. Sebuah tendangan kencang diluncurkan hingga kepala Sanji membentur aspal keras.

Lagi-lagi rasa sakit yang menyengat.

Tanpa banyak bicara, alpha tersebut menginjak kepalanya berkali-kali dengan kekuatan penuh.

Ah hal ini, Sanji jadi teringat akan kekerasan fisik yang kerap dilakukan saudara kandungnya dulu. Mungkin memang beginilah takdirnya. Tersiksa, disiksa.

Tangannya membentuk perisai, berusaha melindungi tempurung kepala. Alpha tersebut berhenti menginjaknya ketika melihat tubuh Sanji sudah bergetar. Adrenalinnya semakin terbakar menatap omega yang tak berdaya di bawahnya, ia melancarkan tendangan kencang ke arah tulang rusuk Sanji. Berkali-kali ia lakukan di tempat yang sama. Hingga beberapa saat kemudian ia berhenti.

"Hei kalian," panggilnya. Ia menoleh dengan senyum keji tersungging di wajah. "Kalian boleh lakukan apapun padanya, omega hanya diciptakan untuk memuaskan kita kan,"

"Kau tidak ikut?"

"Aku sudah puas hanya dengan melihat wajahnya, sangat puas malah."

Rintihan lemah lolos dari bibir Sanji ketika sekumpulan bajingan melucuti pakaiannya. Ia memandang dinding bata di depannya yang mulai memburam karena air mata menggenang di pelupuknya. Harga dirinya jatuh dan diinjak-injak malam ini, menjadi tak berharga bahkan untuk dirinya sendiri. Beberapa doktrin mengenai omega mulai memadamkan api kehidupannya. Doktrin yang diteriakkan atas nama hierarki dan nafsu semata. Kembali, air bergulir dari sudut matanya.

Yang terasa hanya sakit. Ketika mereka menembakkan spermanya di dalam liangnya. Ketika mengoyak anusnya dengan besi berkarat. Ketika menjambak rambutnya dan memaksanya mendongak.

Yang terasa hanya sakit.

Your F***ing Mate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang