XVI

625 102 3
                                    

Napas Carrot terengah ketika ia membawa gadis itu dengan kekuatan yang tersisa menuju sebuah puskesmas kecil. Seorang laki-laki muda menyambutnya, rambut cokelat lembut dengan topi pink menutupi area kepalanya. Mata bulatnya membola ketika melihat penampakan kedua gadis di depannya. Tanpa banyak bicara ia memaksa keduanya masuk untuk segera melakukan pengecekan.

"Aku harus pergi setelah ini jadi kumohon, tolong lebih cepat," Carrot menitikkan air mata.

"Tapi sepertinya tulang kakimu–"

"Kakiku tidak apa! Sungguh!"

"Aku harus melihatnya dulu, tolong bersabar,"

Setelah melewati beberapa pengecekan barulah diketahui bahwa Carrot mengalami patah tulang ringan di bagian kaki kanannya. Ia mendesis ketika kompres es diletakkan pada kakinya. "A–aku harus pergi, ini darurat!" Pekiknya kecil.

"Chopper! Kau apakan pasien itu!" Seorang wanita yang lebih tua mendadak keluar dari salah satu bilik kamar. Rambut putihnya ia lempar ke belakang sembari melipat kedua tangan di depan dada, memperhatikan wanita yang terbaring dengan selimut menutupi sekujur tubuh. Ia mendekatinya kemudian meletakkan tangan di atas dahi. "Heat ya, wajahnya lebam... Kau juga," ia beralih menatap Carrot yang tengah duduk di salah satu ranjang.

Carrot memandang takut-takut. "Dokter Kureha, dia dari tadi buru-buru mau pergi, aku belum mengobatinya!" laki-laki yang dipanggil Chopper segera berdiri dan melaporkan. "Tolong bujuk dia."

"... ada luka apa saja?"

"Patah tulang dan lebam,"

Dokter Kureha menghela napas kasar. "Biarkan dia pergi,"

"Hah?!"

"Tapi kau juga harus menemaninya, pergilah dengannya, aku akan mengurus rambut cokelat ini."

.
.

Napas keduanya tercekat menemukan keadaan pria pirang yang tergeletak di sebuah gang kecil. Darah mengalir dari anusnya, merembes di sela kakinya. Bau menyengat akan tembaga seketika masuk indera penciuman. Isak tertahan keluar dari belah bibir Carrot. Tangannya bergetar saat menyentuh rambut pirang Sanji, mencari tanda luka lainnya dengan tergesa-gesa. Chopper ikut memindai seluruh tubuh si pirang, menemukan banyak luka lain di sekujur tubuhnya.

"B–bagaimana ini... ini semua salahku..."

"Tenang! Kita harus segera membawanya ke Dokter Kureha! Kau keluarganya kan?"

Carrot menggeleng. "Aku akan menemui owner Zeff! Aku harus melaporkannya!" tanpa mampu Chopper cegah, ia sudah berlari lebih dulu dengan sebelah kaki agak terpincang. Beberapa lama berlari di pesisir pantai, akhirnya ia tiba di depan sebuah restoran yang nampak masih ramai pengunjung. Dadanya naik turun, memperhatikan celah untuk memasuki tempat makan tanpa harus memperlihatkan keadaannya yang sungguh menyedihkan. Lampu-lampu gantung dalam restoran masih mewarnai suasana hangat tepi pantai sementara iris cokelatnya masih juga mengedarkan pandang, harap-harap cemas menemukan sosok yang ia kenal.

Beruntung, Carrot pikir surga sungguh berpihak padanya. Karena ketika ia memohon dengan sangat, sosok Zeff turun melalui tangga pinggir restoran.

"Owner Zeff!" langkah kecilnya menghampiri sang pemilik restoran. Zeff yang awalnya menyipitkan mata langsung terkejut ketika melihat wajah gadis yang mendatanginya. "Sa–Sanji!" jeritannya tertahan di kerongkongan, lidahnya kelu tak mampu melanjutkan. Dengan cepat ia gunakan punggung tangan untuk mengusap air di sudut mata. "Dia terluka parah!"

Zeff bergegas mengikuti Carrot berlari menuju klinik tempat Sanji berada. Mereka tiba di depan rumah kecil berhiaskan lampu penerang yang bercahaya intens. Carrot menarik pintu dan memasuki area dalam puskesmas. Dilihatnya Dokter Kureha tengah berjalan terburu menuju sebuah bilik kamar. Langkahnya mengikuti, mendekat pada kamar yang hanya dilindungi tirai toska. "Kenapa dia bisa sampai seperti ini?" samar Zeff mampu mendengar suara wanita bertanya cemas.

"Aku menemukannya dalam keadaan seperti ini.."

"Fraktur lengan kanan... anusnya juga robek, wajah lebam... kita masih tidak tahu apa ada trauma kepala tapi setidaknya kita bereskan yang terlihat dulu!"

Zeff terdiam. Sepertinya ia tahu apa yang terjadi pada anak angkatnya. Kepalanya tertunduk, menghela napas dan mengusap wajahnya kasar.

Ia pergi menuju ruang tunggu dan duduk di sofa, matanya memandangi jam dinding, menunggu dengan sabar.

Waktu berputar begitu lambat. Kaki berbalut sepatu milik Zeff berulang kali dihentakkan ke atas lantai, bolak-balik memperhatikan jam di dinding. Tak beberapa lama kemudian Dokter Kureha keluar dari ruangannya dan mendekati Zeff. Ia berkacak pinggang di depan pria tua itu kemudian berkata, "Kami akan menelepon rumah sakit di tengah kota, beberapa luka yang terlihat sudah ditangani tapi kami masih belum tahu apa ada yang lain, sudah tiga jam ia tidak sadarkan diri,"

"Lakukan saja, telepon mereka." jawab Zeff.

Wanita tersebut berjalan ke telepon kabel di atas meja, mulai mencari nomor telepon rumah sakit. Setelah terhubung ia mulai memberikan penjelasan tentang keadaan Sanji mulai dari luka-lukanya hingga bagaimana saat ia ditemukan. Sayangnya ekspresinya berubah menjadi muram setelah tahu rumah sakit tidak bisa menerima pasien lagi diakibatkan terlalu penuh. Namun pihak rumah sakit berjanji akan segera mentransfer Sanji ke rumah sakit lain di Grand Line dan mengirimkan ambulans secepat mungkin.

.
.

Perjalanan yang berlangsung cukup lama itu akhirnya berhenti di depan pintu langsung menuju UGD. Pintu mobil belakang dibuka lebar dan beberapa perawat yang sudah menunggu segera menurunkan ranjang yang berisi pemuda pirang dan membawanya masuk. Zeff ikut turun dari kursi depan dan berlari membuntuti beberapa perawat dalam balutan baju putih. Namun kemudian langkahnya dihentikan oleh seorang pria berbalut jas dokter, memaksanya tenang. "Anda keluarganya pak?" tanya pria tersebut. Zeff mengangguk. "Mohon tunggu dulu ya, akan dilakukan pemeriksaan untuk pasien sebelum memutuskan untuk operasi atau tidak."

Zeff berdecak dan terpaksa mundur. Kedua tangannya ia simpan dalam saku celana. Pikirannya berkecamuk, ketakutan akan kehilangan sosok anak angkatnya menggerogotinya, memenuhi seluruh kepalanya dengan kegelisahan.

Sanji.

Kumohon bertahanlah, nak.

Ia duduk di salah satu bangku dan mengaitkan kedua tangannya, meletakkannya tepat di depan dahi selagi berdoa, memohon pada siapapun yang ia bisa agar doanya tersampaikan pada langit walau ia seorang pendosa. Demi Sanji, apapun untuk menyelamatkan Sanji. Seorang pendosa sepertinya pun akan berdoa.

Your F***ing Mate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang